webnovel

Lama Tak Berjumpa

Avatar, merupakan makhluk manifestasi dari hati manusia, berbentuk humanoid seukuran lebih besar dari pemiliknya, begitulah yang selama ini diketahui. Hingga pria itu muncul, Ignas si investigator. Ia telah mengubah pemikiran yang telah memenuhi akan itu, avatar yang ia miliki berukuran tak lebih besar dari gantungan kunci. Ini baru kali pertama Jean dan Doktor Z melihat avatar dengan proporsi yang unik, "Sepertinya kita harus mendefinisikan ulang apa itu Avatar." Doktor Z lebih ingin tahu kebenaran tentang Avatar, pun evolusi avatar yang dialami Jean, ketimbang identitas lain dari Jean yang baru saja ia ketahui.

"Butuh tiga orang untukku membangkitkan Agnimodra?" gumamnya, masih berdiri di balik etalase toko, "dia juga berulangkali menyebut-sebut akan takdir." Kedatangan Ignas membuatnya menyadari sisi lain dari apa yang pernah ia alami, memainkan kembali memori masa lampau yang pernah membayanginya.

"nar skumringen svelger tid, tristhet tar opp soylen, et glimt av en rekke skinner bak den, gjor det til en straff for universet." Jean masih mengingat betul perkataan pria bertudung merah itu, walau ia sendiri sebetulnya tak tahu makna akan itu. Ketika padang rumput terbakar api biru dan menerangi malam pada masa itu. Pria bertudung itu kemudianmenghilang di balik bayang-bayang pepohonan, pergi tanpa jejak, tanpa suara ada yang mengetahuinya.

"Sebenarnya darimana asalnya Avatar? Siapa orang yang pertama kali membangkitkannya? Apa Avatar memang mungkin untuk berevolusi? Tapi sampai batas mana?" Pertanyaan-pertanyaan itu telah dari lama menyesaki pikiran Doktor Z. Tak ada yang tahu pasti apakah Avatar memang bisa berevolusi, kondisi yang langka, selama ini hanya mantan agen independen itulah satu-satunya yang mengalami.

Mereka berdua pun kembali ke ruang tengah, menghampiri teman-teman Aaron yang masih duduk berjajar di sofa kecil, dengan raut muka berbeda dari sebelumnya.

"Maaf kami tadi mendengar beberapa percakapan kalian, walau samar-samar." Peter meminta maaf kepada Jean dan Doktor Z, meremas kaleng soda di genggamannya karena ketakutan. James, Peter, dan Astrid kemudian berpamitan, segeralah mereka berkemas dan pulang.

Sampai di belakang pintu masuk, James terdiam. Ia mengingat kembali cerita tentang ayahnya yang pernah bertemu pengguna Avatar, pengalaman yang pernah ia ceritakan ke kedua temannya, "Apa itu kau, Jean? Apa seseorang pernah memergokimu di lorong gang buntu?".

Jean yang berdiri di perbatasan pintu ke ruang tengah, terdiam sejenak setelah James menanyakan hal itu, "Ya, itulah saat aku menghabisi Adam. Sekitar 3 tahun yang lalu."

"Kalau begitu, takkan kami biarkan Aaron hidup bersama denganmu, Jean." Ucap tegas James sambil mendorong gagang pintu toko, "Jika dia sudah siuman nanti, ia bisa tinggal bersamaku." Mereka bertiga pun pulang, terdengar bisik-bisik dari luar, tetapi samar di telinga. Sepertinya menggunjingi Jean.

Jean tampak sekali lagi menyesali apa yang ia telah perbuat, ia menyadari akan efek kupu-kupu yang menerus berkesinambungan, "Apa yang telah ku lakukan?", gumamnya, yang pernah dibutakan oleh kebencian.

Ia pun kembali ke sofa dan melanjutkan tidur, sembari menenggak lagi sekaleng soda, untuk kesekian kalinya.

Bel pemberhentian berbunyi, bus kota itu berhenti di depan sebuah halte, dalam perjalanan, Ignas harus berjalan kaki lumayan jauh dari pemberhentian terdekat ke kediaman ayah angkatnya, "Dari dulu, transportasi umum di kota ini selalu yang terburuk. Yah, ku harap walikota yang selanjutnya nanti bisa memperbaiki kota ini." Ujarnya, menenteng tas koper hitam yang selalu ia bawa kemanapun.

Sekitar tiga bulan ke depan, kota Arcmont akan menyelenggarakan pesta pemilihan wali kota. Calon-calon sudah sangat gencar berkampanye di tiap ruas-ruas jalanan, sudut-sudut kota dihiasi poster-poster yang mengganggu kenyamanan visual. Hiruk pikuk politik membisingi seluruh penjuru Arcmont, saling berlomba menjanjikan program kerja yang terbaik, walaupun lebih terdengar layaknya bualan belaka.

Letih menyusuri trotoar tepi jalan, pandangan Ignas tertuju pada sebuah minimarket kecil berwarna merah-biru di hadapannya. Intuisi tajamnya menggiring ia masuk ke dalam, membeli jajanan ringan selagi mengisi ulang energinya. Minimarket itu kecil, sedikit lebih besar dari toko milik Doktor Z. Etalase-etalase produk berjejeran, menawarkan berbagai macam produk makanan ringan hingga kebutuhan sehari-hari, di ujung dinding berhadapan pintu masuk, tersemat kulkas-kulkas berisikan bermacam minuman ringan menyegarkan. Ignas memilih-milih makanan dan minuman yang hendak ia beli, masih menenteng tas kopernya, serta keranjang belanja.

"Tunggu sebentar, ya? Kasirnya lagi keluar." Ucap karyawan wanita minimarket yang menata produk-produk di etalase ketika Ignas hendak membayar, "Kenapa tidak kau saja yang jadi kasir?" Sahutnya sinis sekaligus heran.

Mereka berdua akhirnya terlibat adu mulut, suasana jadi ricuh, untung saja tidak ada pelanggan lain yang menyaksikannya. Di tempat itu hanya ada mereka berdua, hanya dari jendela tampak jelas orang-orang berlalu-lalang. Mengingat daerah itu merupakan daerah urban berpenduduk padat. Karyawan wanita itu ngotot menjelaskan kalau sekarang bukan shift-nya menjaga kasir, begitu pun Ignas yang hanya ingin cepat-cepat membayar dan segera pergi.

Tak lama berselang, suara hantaman keras terdengar nyaring dari ujung pendengaran, seseorang tampak berkelahi dengan para tahanan yang kabur, "Apa mau mu? Beraninya sama anak-anak!" Teriak seorang pria berseragam karyawan minimarket. Otot lengan kanannya berkontraksi hebat, dipenuhi asap.

Geng tahanan itu tertangkap memalaki anak kecil, bertiga. Melihat satu rekannya tersungkur, ketua geng itu menghunuskan pisau yang ia bawa di pinggangnya, "Jangan ikut campur kau!" Dengan sekuat tenaga dia mencoba menusuk karyawan berotot itu. Pisau ditangkis mentah-mentah dengan lengan kirinya, bahkan mata pisau tajam itu tak sedikitpun menembus lapisan kulitnya. Ketua geng yang sempoyongan lantas dihantam oleh pukulan keras pada ulu hatinya seperti yang diterima rekannya. Tubuhnya terpental, menghamburkan bak sampah. Hampir tak sadarkan diri. Tersisa satu orang, kakinya gemetaran karena merasa terpojokkan. Aura pemalak mereka surut, hanya tersisa muka orang-orang remeh. Sehabis dua dari mereka mencicipi secara langsung pukulan dari karyawan itu.

Perkelahian di gang buntu berapit dua bangunan masih belum berakhir, Pria berotot sesisi lengan itu menghampirinya, satu orang pemalak yang tertinggal. Mencengkeram kerah kaos oranye tahanan yang telah dirangkap kemeja putih lusuh, guna menyamarkan identitas dari polisi. Pemalak itu berteriak karena panik pun ketakutan, tetapi ia tak bisa melakukan apa-apa. Tubuhnya terangkat hingga kedua telapak kakinya tak menyentuh tanah, sedangkan kedua tangannya tak sanggup melepaskan cengkeraman kuat karyawan itu. Tubuhnya hanya bisa membuncang, mencoba melepaskan diri bak ikan yang tersangkut mata pancing.

"Aku datang untuk membantu kalian." Ujar seseorang datang dari balik tubuh si pria berotot. Dia memandangi orang itu, detail dari ujung kaki hingga wajahnya. Seorang gadis berpakaian montir, rambut terkuncir, bermahkotakan sepasang kacamata goggles. Dia gadis yang centil, bahkan datang dengan senyuman sumringah. Pemalak dalam cengkeraman pria itu terpana, bukan karena jatuh hati, tetapi karena menganggap dewi pertolongan telah tiba, nyawanya sedikit lebih aman. Meski ia tak tahu siapa yang gadis itu akan bantu, pria berotot? atau dia dan rekan-rekannya?

"Skye, namaku!" nada bicaranya lantang, dan lucu, "Aku bisa ciptakan robot-robot canggih dari peralatanku ini!" Gadis itu menunjukkan sebuah kunci nepel, yaitu alat untuk mengencangkan baut, ke hadapan pria berotot yang menoleh ke belakang. Pria itu tidak memahaminya, sampai si gadis itu mulai mengaktifkan kunci nepel di genggamannya, terus memutar-mutar ibarat tongkat sihir bermantra. Skye juga merapalkan, lebih tepatnya menggumamkan mantra, karena memang mantra itu benar-benar tak terdengar. Bingkahan besi, kerangka-kerangka, serta baut-baut bermunculan dari kilau cahaya-cahaya kecil merah jambu di ujung kunci nepelnya. Tersusun sendiri membentuk wujud robot kecil imut berlengan mortar. Mirip seperti avatar Edward, tetapi ini di lengan.

Seketika robot kecil itu menembakkan bola laser dari lengan mortarnya ke arah pria berotot. Dalam kecepatan reflek sepersekian detik,ia dapat menghindari tembakan bola laser itu. Daya ledaknya sangat kuat, sampai menghancurkan dinding di ujung gang buntu saat bola laser itu mengenainya. Skye melompat-lompat kegirangan.

Pria berotot kemudian menggapai robot itu dan menghancurkannya dalam sekali hantam. Namun, Skye kembali menciptakan robot yang berbeda dari sebelumnya. Kini kerangka-kerangka yang muncul tersusun menjadi tiga mobil mainan berkecepatan tinggi, dengan moncong berupa susunan belati yang tajam maksimal. Setelah fase penciptaan usai, mobil-mobil itu langsung melaju kencang. Ke arahnya. Ia menghindarinya. Berputar balik, melaju dari tiga penjuru arah belakang. Ia masih dapat menghindarinya. Mobil mainan itu berdaya cengkram kuat, mampu berjalan bahkan di dinding. Ini tentu menyulitkan dan merepotkan si pria berotot.

Ia mencoba melindungi anak kecil yang dipalak dari terjangan belati mobil mainan, mendekapnya dan menyuruhnya pergi keluar dari tempat itu. Salah satu mobil itu meluncur dari sisi yang tak terlihat si pria. Sekali lagi, reflek tingginya berhasil menghempaskan mobil itu ke dinding dan rusak berkeping-keping. Begitu pula dindingnya, retak terkena pukulan. Skye semakin terpukau, tak bisa menyembunyikan ekspresi bahagianya. Tersisa dua mobil. Pria berotot itu hilang kesabaran. Ia malah mendekati ke arah berlawanan mobil-mobil yang melesat bersamaan. Kedua telapak tangannya terbuka ke arah belati mobil-mobil itu, serta memasang kuda-kuda kuat. Seperti yang disangka, belati super tajam hampir menembus telapak tangannya sebelum akhirnya ia meremasnya, dan rusak. Berkeping-keping.

"Tolong jangan main-main!" teriak si pria berotot, "dan katakan benda apa yang ada di tanganmu?" Karyawan minimarket itu menghampiri Skye, hampir saja ia memukulnya sebelum Ignas datang tanpa membawa barang belanjaannya, meninggalkannya di meja kasir minimarket. Tetapi masih menenteng koper hitamnya.

"Lama tak berjumpa, Hideaki."