webnovel

Takdir yang Sama

Pukul 2 Dini Hari. Elysian Residence. Bertempat di rumah Owen. Pagi-pagi sekali, Ia memanggil polisi datang ke rumahnya.

"Benarkah ada orang yang mencurigakan mengintai rumahmu?"

Beberapa petugas datang dan meminta keterangan pada Owen sebagai pelapor. Tentunya, Owen menjelaskan keseluruhan namun juga terbenam beberapa helai kebohongan.

"Iya. Saya rasa dia adalah seorang pria. Tubuhnya sedikit lebih tinggi dari saya. Tapi wajahnya tak terlihat jelas karena Ia memakai penutup."

"Lalu? Pada jam berapa?"

"Itu ... Kalau tidak salah, malam."

"Hm, apakah saat kau dalam perjalanan pulang ke rumah setelah bekerja?"

"Iya, tepat sekali."

"Apakah ada orang yang dendam padamu?"

"Eh, sepertinya tidak."

Tris dan Mia bahkan terpaksa terbangun. Mereka berdua tampak letih namun apa boleh buat, karena Owen memanggil polisi karena keluhannya.

"Maaf, Bu. Menganggu di malam ini. Tampaknya suamimu telah dikuntit oleh seseorang. Kemungkinan besar, karena ada seseorang yang dendam atau semacamnya. Bolehkah aku bertanya sesuatu?"

"Ya, silahkan."

Salah satu polisi menanyakan keterangan pada Istri Owen. Tris setuju dengan anggukan.

"Apakah suamimu selalu pulang malam?"

"Ya. benar. Tapi hari ini libur, jadi tidak tahu pasti karena sepertinya suami saya mendapat panggilan desakan dari kantor kemarin."

"Rupanya begitu. Apakah sebelumnya suamimu mengatakan sesuatu tentang ini?"

"Tidak pernah. Setahu saya dia baik-baik saja. Tapi mungkin karena dia tidak ingin dikhawatirkan. Dari dulu memang begitu."

"Oh, begitu. Lalu, apakah mungkin salah satu pegawai yang bekerja di tempat yang sama seperti suamimu ada hubungannya?"

"Tidak!"

Owen mendengar pertanyaan dari polisi itu lalu menyangkalnya kalau itu bukan.

"Kenapa kau berkata begitu?" Inspektur kembali bertanya.

"Tempatmu bekerja mungkin tidak terlalu besar. Tapi seseorang akan memiliki dendam terhadapmu jika kau memiliki bakat tertentu sehingga membuat orang iri. Ataukah mungkin, kau tidak ingin melibatkan orang lain?"

"Bukan. Bukan seperti itu."

Sebelumnya, setelah pengulangan waktu terjadi terakhir kalinya, Owen berbaring di ranjang kasur seperti biasa dengan tangan yang menjulur ke atas. Tetapi, tidak ada Mia di sampingnya. Lekas, Ia menatap jam dinding di kamar dan itu menunjukkan pukul 00.00, pas sekali waktunya di tengah malam.

Tris terbangun pada saat Owen menyalakan lampu untuk mencari kertas itu yang pada akhirnya tetap tidak ditemukan.

"Tanggal 23 yang terlalu awal. Kenapa waktunya justru lebih cepat? Tidak, ini terlalu cepat bagiku." Itulah yang saat itu Owen pikirkan begitu setelah sadar Ia mengulangi waktunya.

Lalu saat ini Ia membatin, "Aku masih mengingat nomornya dan tanpa pikir panjang aku menelponnya dengan telepon rumah. Dan tentu saja tidak akan ada jawaban. Dan setelahnya aku memanggil polisi dengan dalih seperti ini, benar-benar tak menyenangkan."

"Pak Owen? Apakah kau mendengarku?"

"A-ah ... Maaf. Karena terlalu mengantuk, saya jadi tidak fokus."

"Kami akan memeriksa setiap orang yang telah mengenalmu di tempatmu bekerja. Mengerti?"

"Tunggu sebentar pak polisi. Saya ... Saya ingin mengatakan sesuatu. Sebenarnya saya hanya ... Berbo–"

Ketika, Owen berniat membongkar kebohongannya. Telepon rumah berdering saat itu juga. Ketiga polisi yang berada di dalam rumahnya hari ini pun sontak mengalihkan pandangannya ke arah telepon.

"Ah, itu pasti Pak Direktur. Biarkan saya yang ...,"

"Tidak."

Inspektur yang menangani tentang keluhan Owen hari ini pun sedikit melirik sinis padanya. Telepon itu berdering, dari gelagat Owen yang terlihat panik mungkin Ia mencoba untuk melindungi seseorang. Itulah yang dipikirkan inspektur polisi itu.

"Biarkan aku yang mengangkatnya."

Tapi yang sebenarnya Owen pikirkan saat itu adalah, "Gawat. Kalau itu adalah dia. Maka dia pasti akan bersembunyi dan kejadian yang seharusnya terjadi pun akan hilang." Dalam benaknya, Owen panik.

"Halo? Dengan siapa?"

Inspektur polisi yang mengangkatnya langsung. Tentu saja Ia melihat bahwa nomor itu tidak tercatat di memori telepon sehingga nomor yang menelpon rumah Owen adalah nomor asing.

"Apakah benar ada orang yang menguntitmu?" tanya Tris pada Owen yang kini tertunduk lesu.

"Tris, sebenarnya aku berbohong mengenai hal itu. Dan sebaliknya, apakah ada seseorang yang membenci bahkan sampai menaruh dendam terhadapmu?"

"Tentu saja tidak. Aku rasa."

Mia saat itu tidak mendengar apa-apa, sebab dirinya sudah tertidur pulas karena Ibunya menggendong Ia. Dan saat ini ketiga polisi itu sibuk dengan telepon rumahnya.

"Jawablah dengan jujur."

"Yang terpenting, kenapa kau berbohong? Apakah ada sesuatu yang lain?"

"Ya, ada sesuatu yang lain. Tapi aku tak bisa mengatakan ini padamu. Setidaknya untuk saat ini."

"Kenapa?"

"Tris. Katakan sesuatu apakah ada seseorang yang membencimu?"

"Ada. Tapi bukankah seharusnya kau tahu itu siapa?"

"Siapa? Jangan bilang kau mengatakan bahwa itu adalah dia. Tetangga dengan mulut besar?"

"Hei, jangan berkata seperti itu. Memang dia selalu menyakitiku dengan setiap perkataannya. Namun, dia tak mungkin melakukan sesuatu yang sampai kelewat batas."

"Oh, benarkah? Terkadang orang akan gelap mata setelah dibutakan oleh kebencian. Mereka akan melakukan apa saja bahkan sampai membunuh. Jadi, jangan terlalu diabaikan."

"Aku tidak yakin kalau dia akan melakukan sesuatu terhadap keluarga ini. Dan sekarang, tolong katakan apa maksud dari semua ini? Kenapa kau membohongi mereka?"

"Sejujurnya ini bukanlah sekedar kebohongan belaka."

Sepertinya Owen menolak untuk menjelaskan yang sebenarnya. Sebab Owen tak ingin jika resikonya bertambah, apalagi taruhannya adalah Tris dan juga Mia.

"Tolong katakan sesuatu."

"Tidak."

"Ah, orang ini sama sekali tak menjawab."

"Kenapa? Siapa yang menelpon? Apakah itu nomor asing?"

"Oh, kau menebaknya dengan benar. Apakah sebelumnya ada telepon seperti ini? Mungkin ini hanya sekedar iseng. Tapi kalau dilihat dari reaksimu yang khawatir, aku yakin ini berhubungan dengan orang yang menguntitmu, Pak."

Inspektur itu sedikit menunjukkan senyum lantaran Ia membaca wajah Owen dengan benar.

"Haha, lalu kenapa tidak dilacak saja?" Owen pun juga tertawa namun hambar.

"Aku bisa saja melakukan hal itu. Tapi aku masih butuh keterangan darimu. Ada yang mengganjal dari setiap kalimat bapak."

"Misalkan Pak Polisi hendak melacak nomor telepon itu, pastikan hanya ketiga asisten mu yang tahu."

"Kenapa begitu? Aku tidak bisa melakukan ini sendirian."

"Ya, benar. Tapi akan berbahaya jika orang itu tahu kalau sedang dilacak. Karena dia pasti akan meledakkan rumah ini."

Tepat setelah Owen menyelesaikan kalimatnya. Telepon rumah itu kembali berdering sekali lagi. Polisi pun segera mengangkat telepon sembari mencatat nomor itu di buku kecil.

"Halo, bisa bicara sebentar?"

"Ayo kita bertemu."

Setelah mengangkatnya, mendengar kalimat dari si penelpon. Benar-benar sama persis seperti saat itu. Lalu, Owen pun kembali ke awal lagi.

Di pagi hari, Mia membangunkan Owen yang seolah tak tertidur.