webnovel

Pertemuan Pertama

Dua belas tahun yang lalu.

Taman belakang istana. Taman itu hanya ditumbuhi bunga mawar putih yang sangat terawat dan beberapa pohon pelindung. Saat itu adalah bulan April, di mana setiap tanaman yang memiliki bunga akan mekar sempurna tanpa terkecuali.

Begitu juga dengan pohon angsana, tempat Sultan Mahmud Syah ll dan Madi istirahat siang di bawahnya. Kelopak bunga berwarna kuning itu gugur satu persatu. Sultan Mahmud Syah ll menangkap sebuah kelopak bunga yang jatuh, melayang tepat padanya.

"Madi." Panggil Sultan Mahmud Syah ll sambil mempermainkan kelopak bunga di ujung jarinya.

"Ya, Tuanku."

"Kamu ingat tanggal kapan kamu lahir?"

"Saya sama sekali tidak tahu Tuanku. Bukan tidak ingat. Yang saya tahu hanya umur saja dari almarhum orang tua saya."

"Kalau begitu berapa umurmu sekarang?"

"Sudah enam belas tahun, Tuanku."

"Hum... bagaimana ya...? Saya sudah menyiapkan sesuatu untuk memperingati hari lahirmu. Kalau tidak tahu akan merepotkan juga. Oh iya... bagaimana kalau saat hari pertemuan kita enam tahun lalu dijadikan hari kelahiranmu? Bagaimana? Apa kamu mau?"

"Saya setuju saja..."

"Setuju saja?!" Sultan Mahmud Syah ll duduk dengan cepat, memperhatikan Madi yang tiduran di kirinya. "Bersemangatlah sedikit!"

Madi ikut duduk. "Baik Tuanku!" jawabnya tegas selayaknya prajurit.

Sultan Mahmud Syah ll tersenyum lebar. Menepuk-nepuk pundak Madi yang enam tahun lalu tubuhnya sangat kurus dan pendek.

Sekarang, Madi sudah jauh lebih tinggi. Selain karena pertumbuhan alami juga berkat perawatan eksklusif Sultan Mahmud Syah ll.

Meskipun sibuk tetapi Sultan Mahmud Syah ll selalu menyempatkan diri memperhatikan perkembangan Madi. Bahkan Sultan Mahmud Syah ll juga sering mengetes langsung setiap hasil latihan apa saja yang sudah di terima Madi dari para gurunya.

Karena Madi harus sempurna sebagai orang kepercayaan dan calon Panglima Perang yang dapat dibanggakan sekaligus ditakuti setiap lawan.

Dulunya Madi sering kelelahan dan hampir jenuh dengan semuanya. Namun saat melihat Sultan Mahmud Syah ll yang sangat sibuk tetapi masih menyempatkan diri memberi semangat dan juga mengetesnya di jam yang harusnya digunakan untuk istirahat Sultan muda itu.

Menyadari hal itu barulah Madi termotivasi. Dirinya harus bisa mengimbangi kemampuan Sultan Mahmud Syah ll agar bisa melindungi, menjaga dan menjadi orang yang dapat diandalkan.

"Kalau begitu ikut dengan saya mengambil hadiahmu."

"Tapi itu tidak perlu..."

"Tidak ada alasan!" bantah Sultan Mahmud Syah ll tetap santai lalu melanjutkan. "Kamu harus patuh! Selain sebagai Sultan, kamu juga harus patuh pada saudara yang lebih tua! Kamu ingat? Saya lebih tua tiga tahun dari kamu!"

Madi memberi hormat. Berlutut dengan tangan kanan di dada dan menundukkan kepala. "Daulat Tuanku!"

Sultan Mahmud Syah ll tersenyum lebar dan kembali berbaring di rumput, melanjutkan tidur siangnya.

***

Dari atas anjungan kapal perangnya Datuk Laksamana dan Nahkoda Hamid memperhatikan Sultan Mahmud Syah ll yang tidur di lantai haluan di temani Madi setelah melakukan subuh berjamaah hingga menjelang jam sembilan tanpa terbangun.

"Hari sudah mulai panas. Apa sebaiknya kita suruh pindah tidur ke dalam Datuk?"

"Tidak perlu. Madi akan menjalankan tugasnya dengan baik. Biarkan saja istirahat. Sudah lama Sultan tidak mengambil libur. Dia terlalu sibuk selama ini, jadi biarkan saja istirahat."

Tidak berselang lama setelah pembicaraan Datuk Laksamana dan Nahkoda Hamid, matahari semakin terasa panas. Madi yang sedari awal duduk menyandari pagar lengan kapal, menjaga Sultan Mahmud Syah ll istirahat akhirnya bergerak untuk membangunkan sang junjungan.

"Tuanku... Matahari sudah sangat tinggi. Baiknya berpindah ke dalam untuk tidur."

Sultan Mahmud Syah ll membuka mata perlahan. Menemukan Madi berlutut di sisi kirinya. "Ah... Madi."

"Ya, Tuanku."

Sultan Mahmud Syah ll duduk perlahan sambil mengusap rambutnya kebelakang sebelum memakai tanjak. "Saya tadi bermimpi. Entah ini baik atau buruk."

"Mimpi tentang apa Tuanku?"

Sultan Mahmud Syah ll menatap Madi. "Saya bermimpi kamu menggendong seorang anak kecil yang wajahnya sangat mirip dengan saya ketika kecil."

"Sepertinya itu pertanda untuk Tuanku segera memiliki seorang anak dari istri-istri, Tuanku."

"Tidak ada dari mereka yang sesungguhnya benar-benar saya cinta. Tidak mungkin saya mau memiliki anak dari orang yang tidak saya cintai!"

"Kalau begitu kenapa Tuanku menikahi mereka?"

Sultan Mahmud Syah ll tersenyum. "Hanya untuk kepentingan politik dan perluasan wilayah kekuasaan!"

Madi tentu saja paham tentang pernikahan keluarga kerajaan dan tujuannya. Hanya saja baru diketahuinya sang junjungan ternyata begitu pemilih.

***

Kapal perang Datuk Laksamana akhirnya memasuki wilayah kekuasaan Datuk Ghani. Wilayah yang terkenal dengan hasil biji besi dan timah.

Selain itu di wilayah Datuk Ghani juga ada seorang pengrajin senjata, yang turun temurun pekerjaannya di percaya oleh keluarga Sultan untuk menciptakan senjata berkualitas.

Di kastil Datuk Ghani yang dikelilingi kolam yang sangat luas, pengrajin senjata yang sudah tua itu menunggu kedatangan sang Sultan bersama Datuk Ghani dan anak pertamanya, Tan serta pejabat pemerintahan daerah.

Selain itu juga ada istri Datuk Laksamana yang kebetulan berkunjung sejak seminggu yang lalu karena istri Datuk Ghani baru saja melahirkan.

"Terimakasih atas kunjungannya Tu..." sambut Datuk Ghani namun terhenti ketika Sultan Mahmud Syah ll melihat ke arah jembatan penghubung paviliun dengan kastil, terlihat seorang gadis kecil memberi salam hormat dari kejauhan.

"Ada apa Tuanku?" bisik Madi.

Sultan Mahmud Syah ll kembali memperhatikan sambutan di hadapannya. Setelah basa-basi penyambutan, Sultan Mahmud Syah ll berbisik pada Datuk Ghani.

"Siapa gadis yang ada di jembatan tadi, Datuk? Anak gadis Datukkah?"

"Maaf Tuanku. Bukan. Anak perempuan saya baru saja lahir beberapa hari ini. Mungkin maksud Tuanku adalah anak gadis Datuk Laksamana yang kebetulan datang berkunjung menjenguk kelahiran istri saya."

Sultan Mahmud Syah ll segera melihat Datuk Laksamana, menuntut penjelasan kenapa dirinya tidak tahun sama sekali. "Datuk punya anak gadis?"

"Benar Tuanku. Ada apa gerangan Tuanku?"

Sultan Mahmud Syah ll diam, menahan senyum yang membuat wajahnya bersemu merah.

Datuk Ghani, Datuk Laksamana dan istrinya saling pandang. Ke tiga orang itu dapat membaca ekspresi Sultan Mahmud Syah ll mereka yang wajahnya menjadi merah. Jika tebakan mereka benar, sepertinya sang Sultan mengalami masa jatuh cinta pada pandangan pertama.

***

Di salah satu ruangan di dalam kastil yang luas. Si pengrajin senjata meletakkan sebuah kotak kecil, tapi sedikit panjang ke hadapan Sultan Mahmud Syah ll. Membuka tutup, memperlihatkan isi di dalamnya yang masih terbungkus kain sutra berwarna merah.

Si pengrajin senjata mengangkat bungkusan kain sutra yang kecil, membuka perlahan lalu menyodorkan ke hadapan Sultan. Sebuah keris dengan gagang dan sarung berwarna putih.

"Indah sekali!" Sultan Mahmud Syah ll mengambil keris putih itu. Memperhatikan setiap ukiran keris. Membuka sarungnya dan terlihatlah bahwa keris itu berwarna hitam pekat sama seperti keris miliknya. "Warna hitam ini?"

"Keris itu bisa dikatakan pasangan atau adik dari keris milik Yang Mulia Sultan yang pernah di buat leluhur hamba. Karena terbuat dari material logam yang sama."

"Baguslah kalau begitu. Madi." Panggilnya dengan tetap memperhatikan keris.

"Ya, Tuanku."

"Kemarilah dan terima kerismu."

Madi yang duduk di belakang Sultan Mahmud Syah ll mendekat perlahan.

Sultan Mahmud Syah ll berpaling menghadap Madi yang bersimpuh di sampingnya. "Madi..." Sultan Mahmud Syah ll memulai perkataannya sambil meletakkan keris hitam itu pada ke dua bahu Madi bergantian. "Di hadapan Datuk Laksamana, Panglima Besar Angkatan Laut. Datuk Ghani dan orang yang ada di ruangan ini menjadi saksi! Dengan ini saya angkat kamu menjadi Panglima Perang Angkatan Darat dari Kesultanan Johor-Riau!" Sultan Mahmud Syah ll mengangkat keris, memasang sarungnya dan memberikannya kepada Madi yang menerima keris itu dengan ke dua tangannya.

Madi mencium keris pemberian Sultan Mahmud Syah ll begitu berada di ke dua tangannya lalu berkata. "Daulat Tuanku, Sultan Mahmud Syah! Dengan ini hamba bersumpah setia mengabdikan seluruh jiwa raga hamba pada Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Syah!"

***

Beberapa saat kemudian. Di ruangan itu hanya tinggal Sultan Mahmud Syah, Madi, Datuk Laksamana, Nahkoda Hamid dan Datuk Ghani.

Pintu ruangan itu di ketuk perlahan, Datuk Ghani memberi izin masuk. Tan, anak tertua Datuk Ghani masuk ke dalam ruangan bersama seorang gadis kecil. Putri Datuk Laksamana yang sangat cantik, yang berhasil membuat sang Sultan terpesona pada pandangan pertama.

Tan dan putri Datuk Laksamana duduk bersama orang tua masing-masing.

"Tuanku." Datuk Laksamana mulai berbicara. "Izinkan saya memperkenalkan Tan, anak Datuk Ghani yang akan menjadi Panglima perang saya kelak. Mungkin Tuanku sudah mengenalnya, tetapi saya juga ingin memperkenalkan Tan pada Panglima Madi agar mereka berdua kelak bisa saling melengkapi dalam menjaga kedaulatan Tuanku!"

Madi dan Tan saling memberi hormat dengan menundukkan kepala.

"Lalu..." Datuk Laksamana memberi isyarat pada putri bungsunya untuk sedikit maju duduknya. "Ini Pong, putri bungsu saya. Umurnya sudah menginjak dua belas tahun."

"Cantik sekali!" pujian tulus Sultan Mahmud Syah ll di sertai senyuman.

"Terimakasih, Tuanku." Jawab Pong menunduk malu. Wajahnya merona merah.

"Datuk Laksamana, bolehkah saya mengajak adinda Pong jalan-jalan di sekitar kastil ini?"

"Silahkan Tuanku."

"Terimakasih Datuk." Ucapnya penuh senyuman lalu berkata pada dua Panglima muda. "Madi, Tan, kalian juga ikut saya. Kalian berdua harus saling mengenal. Jika bisa juga menjadi sahabat."

"Baik Tuanku!" jawab Madi dan Tan bersamaan.

Catatan: Sultan Mahmud Syah ll, 19 tahun.

Madi, 16 tahun.

Tan, 15 tahun.

Puan Pong, 12 tahun.

Next chapter