webnovel

RAJA HARIMAU MENUNGGANG NAGA

Roby_Satria · Fantasy
Not enough ratings
7 Chs

ch-5 Siasat Lintang

"Untuk menjadi besar seseorang tidak bisa hanya mengandalkan nyali. Bila kalian baru mulai belajar memegang tangkai pedang, lalu disuruh terjun menghadapi seribu pedang, apa kalian mau?"

Riam terdiam. Adik seperguruan termuda juga diam, hanya pemuda ceking berwajah manis memberi alasan dengan ragu, "Tergantung penyebabnya, Kak."

"Penyebabnya misalkan di belakang seribu pedang itu ada kekasihmu."

"Aku akan terjun. Akan kuhancurkan seribu pedang itu!" Teriak pemuda itu sambil setengah tersentak.

"Benarkah, Ranji?"

"Benar!"

Riam dan lelaki termuda mengangguk setuju. Terlalu sensitif hal yang kakak seperguruan mereka katakan itu. Seolah Lintang lupa bahwa Ranji baru dua hari ini bisa mendapatkan hati perempuan idamannya setelah berjuang selama lima tahun.

"Kau mati dan kekasihmu menjadi milik orang lain," ujar Lintang sambil terkekeh kecil.

"Apa maksud kakak seperguruan?" Suara Ranji terdengar agak gemetar. "Aku lebih baik mati dari pada jadi pengecut."

"Siapa yang menyuruhmu jadi pengecut?"

Riam dan lain-lain mulai melihat Lintang menjadi sosok yang plin-plan. Ini bukan Lintang yang mereka kenal.

"Kau baru bisa memegang pedang dan senjata itu belum bisa kau gerakkan untuk melancarkan meski hanya satu jurus pun. Lalu kau hendak melawan seribu pedang ... mati konyol itu jawabannya." Kekeh Lintang kembali terdengar.

"Siasat, itu yang dilakukan oleh orang-orang berani panjang akal. Kalau pedangmu belum mampu menyelamatkanmu, kau punya cara lain. Bukankah kau bisa membuat api, bakar seribu pedang itu. Atau jika kau punya batu, lempari seribu pedang itu, bila ada jalan air, banjiri pedang itu. Kekasihmu selamat, kau selamat dan orang-orang pun memuji kejeniusanmu."

Semua orang termasuk Rimpa mendadak menemukan pencerahan. Pengajaran Lintang malam ini banyak mendobrak makna kata 'jantan' yang menjadi prinsip hidup mereka selama ini.

"Ingat kata-kataku. Jika suatu saat nanti kalian bertemu lawan setara baik dalam ketangkasan beladiri dan kesaktian, kemenangan kalian hanya bisa ditentukan oleh mereka dang pintar bersiasat."

"Terima kasih, Kak," kata Ranji, "sekarang baru terbuka pemahamanku. Lalu apa hubungannya dengan berapa banyak nama orang sakti yang kami ketahui?"

Lintang menatap Rimpa, "Saudara Rimpa, kau bisa membantuku untuk menjelaskan? Walau bagaimanapun, memandang kedekatan guru kita sekarang, maka aku dan adik seperguruanku ini sudah sama seperti saudara seperguruanmu sendiri."

Rimpa melengak sebentar, lalu tawanya pecah berderai. Sambil menepuk pundak Lintang ia berkata, "Hebat, hebat. Kalian akan tumbuh menjadi besar dibawah bimbingan kakak seperguruan kalian ini."

Pembicaraan mereka terputus karena mereka telah sampai pada tempat guru mereka menunggu. Sementara sebagian warga yang rumah mereka tidak jauh dari rumah penguasa negeri telah terlebih dahulu berangkat.

Hanya para orang-orang tua dan sebagian pemuda yang ingin berjalan bersama rombongan Guru Sintuh dan Guru Tiga Jarang saja yang sabar menanti kedatangan Lintang dan kawan-kawan.

"Guru, tuan hulubalang mengatakan, yang mulia penguasa negeri mengundang kita untuk membahas kejadian kemarin serta ingin menambah susunan keamanan negeri." Kata Lintang.

Guru Sintuh dan Guru Tiga Jarang mengangguk, "Mari kita berangkat," katanya.

Cukup besar juga jumlah rombongan itu. Langkah kaki mereka diselingi obrolan ringan. Tawa kecil dan seruan kagum kerap terdengar. Topik mereka masih tidak jauh dari Punian Abang, Sle Lintang Sembilan, Pedang Tanpa Tanding, Pedang Halilintar dan kawan-kawan.

Seumur hidup memang baru kali ini mereka menyaksikan adu kesaktian yang sangat mustahil. Selama ini mereka menyangka hal itu hanya ada di dalam dongeng, tapi kenyataan berkata lain.

"Lanjutkan lagi pembahasannya Kak Rimpa," pinta Riam. Pernyataannya segera disetujui oleh yang lain.

Dengan senang hati Rimpa menjelaskan, karena bagaimanapun juga sedikit banyaknya ia malam ini mendapatkan pencerahan dari Lintang.

Dalam hal ketangkasan dan kekuatan mereka mungkin setara, tapi dari segi kematangan jiwa, ketegasan dan kesabaran, Lintang memang sudah melampauinya.

Rimpa membuat pengandaian, seperti seekor babi terluka. Bagi pemburu biasa, babi itu sangat menakutkan. Karena bila telah terluka binatang itu buasnya melebihi harimau sang raja hutan.

Babi akan menyeruduk siapa pun yang berada dalam lintasan penyerangannya, karena bila telah terluka, babi hanya akan mencari kawan mati.

Bayangkan, andai di depan babi ada kawanan singa. Satu ekor singa mungkin bisa dihajarnya, tapi singa-singa yang lain akan mengeroyok dan mencabik tubuh babi tersebut. Tamat, cerita hidup babi hilang selamanya ditelan mulut singa, ditelan peredaran zaman.

Lalu ia buat lagi pengandaian tentang seekor harimau. Kemampuan membunuhnya sangat lengkap. Tapi sang raja hutan itu saat menentukan target buruannya ia akan datang dengan mengendap-endap, begitu menemukan momentumnya, ia akan menerkam secepat kilat, berusaha melumpuhkan titik lemah musuh dalam satu kali serangan, sehingga ia bisa menghemat tenaga dan kekuatan pertarungan.

"Maka, jika kau nekat tanpa perhitungan, kemampuanmu hanya sekelas babi, tapi jika kau bersiasat, engkaulah raja hutan yang perkasa, penguasa di antara ribuan binatang."

Adik seperguruan Lintang dan Rimpa sama menganggukkan kepala. Pemahaman mereka semakin bertambah.

"Awalnya, kita, guru kita dan tokoh puncak alam sakti berawal dari titik nol semua. Apabila semua tokoh itu nekat seperti Riam terjun ke hutan pedang, mereka akan mati muda semua, tidak ada tokoh puncak, tidak ada manusia yang bisa dikenang mampu mengguncang dunia dengan kekuatannya, karena segenap kehebatan masa depan, telah tumpas di masa muda."

"Wah, sebuah penggambaran yang luar biasa, salut!" Tanpa sadar Riam berseru takjub.

"Akhirnya kau mengerti." Lintang menepuk pundak Riam. "Maka, jikalau engkau anak elang yang baru tumbuh sayap, jangan sesumbar menantang angin, diamlah di sarangmu, tunggu makanan yang di bawa ibu. Tapi, jika engkau telah dewasa, jelajahilah bentang angkasa, ikutilah naluri pemburumu, karena elang telah ditakdirkan menjadi raja udara."

Meletup semangat semua pemuda. Akhirnya, banyak dari mereka yang selama ini menyadari kurang tekun, kurang bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu. Bahkan, mereka malu mengingat betapa seringnya mereka sesumbar seolah bisa meratakan dunia, padahal kepandaian sendiri saja masih berada dipinggiran dunia alam sakti.

"Kita hidup dalam negeri yang memiliki penguasa dan aturan tersendiri. Apabila ada yang bertentangan dengan semangat kejantananmu, kau bisa datang dan bertanya baik-baik, mungkin penguasa punya alasan yang bertolak belakang dari pemikiran kita dan itu belum tentu buruk. Apabila persoalan bisa selesai dengan damai, untuk apa kita memancing amarah penguasa, karena bila penguasa murka, bukan hanya kamu, bahkan keluargamu pun bisa terbawa dalam masalah."

"Hei, muridku sudah dewasa."

Gumaman itu membuat semua orang terkejut. Saat mereka menoleh, entah kapan Guru Sintuh serta Guru Tiga Jarang telah berada di antara mereka.

Guru Tiga Jarang terbahak, "Setelah melihat bagaimana cara muridmu mendidik adik-adiknya, agaknya mati pun kau tak akan menyesal, Guru Sintuh."

Guru Sintuh tersenyum, "Rimpa juga memiliki pemikiran yang hebat. Kita patut bangga pada mereka."

Lintang dan Rimpa tersipu sekaligus bangga karena apa yang menjadi pendapat mereka dibenarkan oleh guru masing-masing.

"Selamanya, orang kuat akan disegani, tapi orang berakal ia mampu mengumpulkan semua orang kuat itu untuk menjadi pelindung dirinya." Ujar Guru Sintuh.

"Aku bahkan telah kena akal dari Lintang tadi Guru Sintuh."

"He, akal apa itu?" Tanya Guru Sintuh berminat.

"Saat ia memintaku menjelaskan cara pandangnya pada Riam dan lain-lain, ia memulai dengan perkataan, 'melihat kedekatan guru kita, maka, seperti apa kau memandang adik seperguruanmu, seperti itu juga kalian memandangku dan adik seperguruanku'."

"Benarkah?"

"Benar. Bukankah, cukup dengan satu kalimat itu saja, maka sebahaya apapun keadaan mereka aku akan datang menolong, meski untuk itu aku akan kehilangan nyawa!"

Semua orang terkekeh. Mereka kagum dengan cara berpikir Lintang. Bahkan kedua guru besar itu saking gembiranya tertawa terbahak-bahak. Mereka menyadari, tanpa keduanya susah payah membuat kata sepakat, para murid mereka sendiri telah membuat komitmen untuk saling bahu-membahu di masa depan.