webnovel

RAJA HARIMAU MENUNGGANG NAGA

Roby_Satria · Fantasy
Not enough ratings
7 Chs

2. ch-2 Cahaya Tiga Penjuru

Kakek itu menghela napas letih, "Aku yang tua bernama Punian Abang."

pedang Tanpa Tanding tersentak, "Apakah kau yang bergelar Cahaya Tiga Penjuru!"

Sang kakek terkekeh, "suatu kehormatan kau mengenal gelar kosong itu."

Gemparlah semua orang, bahkan Pengikut Berjubah Merah pun tanpa sadar bergerak mendekati tuannya. Nama Cahaya Tiga Penjuru adalah legenda. Keperkasaannya mampu menggetarkan dunia kesaktian. Ia telah mengukir namanya dengan tombak, menimbun mayat musuh lewat banyak pertarungan, serta memberi perlindungan bagi banyak manusia yang kehilangan harapan.

Warga kota pun merasakan gemuruh kebanggaan yang meluap-luap, sungguh tidak sedikit pun terlintas dalam benak mereka, bahwa di dalam kota ini, hidup bersama mereka, seorang legenda yang kesaktiannya hanya terlintas dalam mimpi.

Kini mereka memiliki harapan.

Mendadak terdengar suara dari balik kerumunan, "Kek, bukankah hari ini Kakek akan mengajariku cara memasak daging asap kuah kental? Mari kita pulang, Kek, aku sudah tidak sabar ingin belajar."

Punian Abang menoleh. Sesosok anak lelaki kecil melangkah tergesa, wajahnya menyiratkan kecemasan, begitu sampai, tangan kecilnya memeluk lengan sang kakek, "Mari Kek, daging rusa sudah kurendam dalam air kelapa, tinggal bumbunya yang masih butuh petunjuk."

Punian Abang tersenyum getir. Ia paham maksud cucunya dan ia pun menangkap tatapan takut di mata sang cucu. Jangankan cucunya, ia pun tidak memiliki keyakinan bisa mengalahkan Pedang Tanpa Tanding, tapi apabila ia diam, kota ini akan segera berubah jadi sarang iblis, ada banyak kematian dan kengerian yang tak terjelaskan bisa terjadi sepanjang waktu.

Ia usap kepala cucunya dengan lembut. "Ya, Kakek akan pulang mengajarimu memasak, sekarang pulanglah duluan."

Anak lelaki itu bertambah cemas. Ia tidak paham makna gelar Cahaya Tiga Penjuru, ia tak mengerti arti legenda hidup, yang ia tahu, sosok seteguh gunung di hadapan kakeknya itu benar-benar menakutkan. Sosok itu mampu membelah orang tanpa perasaan, mampu meluluh lantakkan gelanggang pertarungan, itu sudah cukup memberi pemahaman, bahwa siapa pun yang menantang Pedang Tanpa Tanding berarti siap berjumpa dengan maut!

"Kek, mari kita pulang." Wajah anak lelaki itu semakin getir.

Punian Abang tercekat. Satu firasat ganjil menyentuh benaknya. Mendadak hatinya perih. Ia rindu pada cucunya, rindu, di saat mereka malah masih tegak bersisian. Apakah ini sebuah perpisahan? Apakah ini pertarungan yang mengantar kematiannya? Ah, anak malang itu akan tinggal sendirian, sendiri di usia yang baru menginjak sembilan tahun.

"Kakek!" Hindra berteriak kencang saat tubuhnya terlontar menuju kerumunan orang banyak.

"Warga kota!" Teriak Punian Abang mengguntur, "hari ini kupersembahkan tulang tua ini untuk mempertahankan tanah kalian, andai aku mati jaga cucuku!"

Ledakan suaranya menggema, menggetarkan tanah, membuat berkeriutan atap bangunan rumah penduduk dan melemparkan perasaan agung di hati orang-orang. Tanpa sadar sebuah penghormatan telah mereka berikan untuk kakek renta itu dan apabila kemungkinan terburuk yang terjadi, mereka berjanji dalam diam, akan menjaga cucu Punian Abang sebaik-baiknya.

Punian Abang menyentakkan tangannya, hempasan angin melemparkan tanah dan bebatuan ke udara, kini di tangannya tergenggam dua bilah pedang kembar. Bersama dengan tatapan mata mencorong bagaikan naga, ia menerjang secepat petir, sepasang pedang hilang bentuk, mengunci dua titik di bahu kanan kiri lawan.

Pedang Tanpa Tanding mendengus saat merasakan sebentuk tenaga seberat gunung menuju ke arahnya. Segera ia membuat pertahanan Pedang Benteng Naga. Lapisan pedang bersusun-susun pun terbentuk. Ketika senjata mereka beradu, suara menggelegar pun tercipta. Beberapa rumah lagi rubuh terkena hempasan angin pedang, sementara muncratan tanah dan batu berubah jadi ribuan senjata rahasia yang bisa melukai siapa pun penonton yang terkena.

Punian Abang memainkan pedang secepat air bah, tubuh rentanya berubah menjadi iblis yang menggelinjang memutari lawan, menusuk, membabat, menetak dari segenap penjuru.

Mereka berkejaran disepanjang gelanggang, bahkan beterbangan hingga beberapa meter di atas tanah. Satu rumah lagi rubuh dihantam senjata Punian Abang saat Pedang Tanpa Tanding melenting bersembunyi dibelakangnya. Benar-benar menakutkan, bahkan pertarungan Pedang Tanpa Tanding melawan Pedang Halilintar tadi tidak sedahsyat ini. Dari sini terlihat betapa tangguhnya Punian Abang.

"Pedang Cahaya Langit!" Pekik Punian Abang. Sontak cahaya besar yang membutakan terbentuk. Punian Abang bergulung dalam senjata kembali menerjang lawan, kakinya pun tidak tinggal diam, menendang titik-titik kosong pertahanan Pedang Tanpa Tanding.

"Luar biasa, hari ini aku merasa bangga dapat bertarung dengan tokoh sehebat Cahaya Tiga Penjuru!"

Sambil bicara, Pedang Tanpa Tanding mengibaskan pedangnya dalam gerakan Pedang Menyapu Benua, membuat cahaya pedang Punian Abang tergetar. Cepat Punian Abang menarik senjata, lalu menghunjam lurus ke arah lambung yang disambut Pedang Tanpa Tanding dengan kibasan Pedang Menyapu Benua yang luar biasa.

Kekuatan kibasan itu luar biasa, kekuatannya setara dengan kekuatan dua puluh ekor gajah mengamuk. Tapi di mata Punian Abang, hal itu belum menyulitkan dirinya. Begitu senjata beradu ia tersurut satu langkah, tapi Pedang Tanpa Tanding juga tergetar mundur.

Sesaat pertarungan terhenti. Mereka bertatapan dalam kepulan debu dan luruhan batu yang kembali ke bumi. Begitu gagah. Tampilan mereka laksana dua dewa perang yang saling berhadapan.

Punian Abang melempar pandang ke belakang dan ia menarik napas lega, saat melihat tidak ada lagi kerumunan warga kota. Semua lari bersembunyi karena terlalu gentar pada efek pertarungan yang bisa membunuh siapa pun dalam radius tiga kilometer. Bahkan Pengikut Jubah Merah-nya Pedang Tanpa Tanding pun menghindar ke tempat aman, di atas atap rumah warga dikejauhan sana.

Akhirnya setelah lama tersimpan, kini Punian Abang terpaksa membangunkan kembali kekuatan pamungkasnya yang telah lama tertidur.

"Bersiaplah Pedang Tanpa Tanding. Kali ini kalau bukan kau berarti aku yang mati." Desisnya menggiriskan.

Punian Abang menyatukan sepasang pedang, meludahi bilahnya lalu menyapu dengan telunjuk. Seketika suara raungan dari alam lain memenuhi arena. Sesosok naga putih dari cahaya merambat keluar, bergerak melilit tubuh Punian Abang. Begitu kepalanya yang berukuran selebar lima meter tertegak, sekali lagi raungan mengerikan terdengar.

Naga itu menatap Pedang Tanpa Tanding dengan tatapan buas. Aura bertarungnya bahkan mampu menekan segenap penjuru sejauh lima kilometer.

"Apakah ini Naga Pedang Cahaya Tiga Penjuru?" Seru Pedang Tanpa Tanding. Wajahnya pucat saat ia melenting jauh dan memanggil pengikutnya, "kemari kalian semuanya, aktifkan Tameng Gunung Tanpa Tanding!"

Dua puluh Jagoan Jubah Merah melayang datang sambil tangan mereka membuat formasi tertentu. Begitu menginjak tanah sebuah tameng cahaya berwarna merah tebal telah terbentuk di arena.

Pedang Tanpa Tanding melenting ke atas tameng. Pakaian putihnya berkibar. Ia acungkan pedang ke langit, lalu berteriak mengguntur, "Pedang Pemutus Rantai Singa!"

Api besar mendadak terbit menjilat langit. Hawa panasnya meretakkan tanah dengan cepat. Seiring suara berkereketan seribu pintu batu, sesosok mahluk sebesar rumah meloncat keluar dari balik alam kekosongan.

Betapa mengerikan mahluk itu. Aumannya mengguncang alam, bahkan sepasang matanya bagai memancarkan petir.

Pedang Tanpa Tanding melayang naik dan berdiri di atas punggung singa putih. Lalu binatang perkasa itu menghentakkan kakinya, tanah terbongkar, sebuah lubang dalam tercipta.

Naga cahaya menggeram. Tubuhnya berkelebat di udara, lalu dari atas bagai gelombang, ia menghempaskan tsunami pada benteng Tameng Gunung Tanpa Tanding.

Apabila singa putih tidak menghentakkan halilintar dari pukulan tangannya, maka tameng pedang itu pasti akan runtuh sebagian.

Naga cahaya mengaum, Punian Abang yang berdiri di atas punggungnya memutar pedang laksana baling-baling, semakin keras putaran itu, semakin ganas terjangan naga.

Lima orang Jagoan Jubah Merah terpental saat Naga Cahaya menyabet tubuhnya, bahkan singa putih pun tergetar mundur. Auman kemurkaannya menggelegar, segenap Surai berdiri, ia hendak maju menerjang, tapi sabetan ekor naga kembali menghentak tubuhnya kebelakang.

"Kami tidak sanggup lagi guru!" Pekik Jagoan Jubah Merah. Tameng Gunung Tanpa Tanding terbongkar, puluhan sosok jubah merah terseret gelombang angin, beterbangan muntah darah. Betapa mengerikannya. Pedang Tanpa Tanding yang perkasa pun akhirnya menemui tandingan.