webnovel

RAJA HARIMAU MENUNGGANG NAGA

Roby_Satria · Fantasy
Not enough ratings
7 Chs

1. ch-1 Pedang Tanpa Tanding

1. ch.1- Pedang Tanpa Tanding

Rantau Limau Purut mendadak jadi kota mati. Tidak ada aktifitas jual-beli, karena sang Pedang Tanpa Tanding telah berdiri ditengah pusat kota. Tatapan matanya yang Semerah darah mampu membuat pedagang mengemasi barang dan penduduk menutup pintu rumah mereka.

"Ia akan menunggu dengan sia-sia." Terdengar bisikan gemetar dari mulut orang yang mengintip dari dalam rumah.

Kawannya mengangguk tercekat. Dengan reputasi Pedang Tanpa Tanding yang belum pernah terkalahkan, siapa orangnya yang mau mengantar nyawa melawan tokoh mengerikan itu untuk menjaga kota.

"Apabila Pedang Tanpa Tanding membangun kekuatannya di kota ini, bukankah kita semua yang akan diperasnya?" Terdengar bisik gelisah dari rumah lain.

"Sudah pasti," jawab kawannya tak kalah gelisah. "Orang sekuat Pedang Tanpa Tanding mana mau susah payah mengumpulkan uang, ia pasti mencekik kita."

Terdengar lagi bisikan dari rumah lain. Tapi bisik-bisik itu sirap, berganti teriakan tertahan. Karena dari sosok Pedang Tanpa Tanding mendadak merebak hawa mengerikan setajam bilah pedang.

"Apakah kalian bisa diam?!" Menggelegar bentakan itu, seolah ada halilintar besar yang berdentum menggetarkan dinding-dinding bangunan.

"Diamlah," desis Pedang Tanpa Tanding. "Diam, atau pedangku yang akan mengajarkan kalian cara mengunci mulut selamanya."

Desisan itu laksana belaian maut di sisi telinga semua orang.

'Bagaimana gelombang suaranya bisa sedahsyat itu?' Gigil lelaki usia pertengahan di dalam rumah. Ia terpaksa berpegangan pada kusen jendela, karena kupingnya berdenging hebat.

"Semua yang bersembunyi keluar. Kalau tidak jasad dan rumah kalian akan kupendam di dalam tanah."

Berkeriutan suara pintu. Hanya butuh hitungan detik ketika semua orang berlari nyaris tersungkur di depan Pedang Tanpa Tanding. Jantung mereka berdebar. Padahal setelah memanggil, tak sedikit pun Pedang Tanpa Tanding mengacuhkan mereka. Tapi, hal itu pun sudah cukup untuk membuat tubuh semua orang bagai dipendam dalam es.

Sementara dua puluh jagoan jubah merah, pengikut Pedang Tanpa Tanding tegak bagai patung, seolah tidak ada kejadian apapun di depan mata mereka.

Wajah Pedang Tanpa Tanding mengeras, pandangannya segera tertuju pada satu titik di sebelah utara. Angin berhembus kencang dan hembusan itu membawa sesosok tubuh yang melayang ringan dari atas gerbang kota lalu hinggap di atas tanah.

"Tuan Pedang Tanpa Tanding." Orang itu menjura hormat.

Kerumunan warga kota segera mundur. Sosok pendatang ini memberi harapan bagi mereka.

Pedang Tanpa Tanding mendengus. "Pedang Halilintar untuk apa kau datang?"

Pedang Halilintar menghela napas. "Maafkan kelancangan ini tuan. Saya hanya mengharapkan kemurahan hati Tuan Pedang Tanpa Tanding untuk mengasihani kota ini."

"Kau belum pantas!" Geram Pedang Tanpa Tanding.

Pedang Halilintar menelan ludah. Walau bagaimanapun, sosok di depannya ini masih terlalu besar bukan hanya bagi dirinya, bahkan bagi gurunya sekalipun.

"Saya hanya meminta kemurahan hati tuan saja. Kasihan warga kota ini, mereka belum siap untuk menjadikan wilayah mereka sebagai bagian dari dunia kesaktian."

"Aku hanya ingin mendirikan markas bagi aliran beladiriku. Salahnya di mana?"

Walau masih diucapkan dengan pelan. Tapi setiap penekanan kalimatnya bagai setajam pisau, merobek keberanian semua orang.

"Dunia kesaktian penuh darah. Apabila naga bertempur, walau tiada niat, tapi mampu merusak sarang pelanduk, tuan."

Berkilat mata Pedang Tanpa Tanding. Mendadak jubahnya berkibar. Hawa petarung kelas tinggi terpancar dari tubuhnya, membuat Pedang Halilintar tersurut mundur. Sementara warga kota meleleh nyali mereka. Sungguh, wujud Pedang Tanpa Tanding laksana sebilah pedang yang pada setiap inci tubuhnya bagai memiliki ketajaman tak terlawan.

"Hentikan aku dengan kekuatan. Berikan perlawanan terbaikmu, agar bisa kusebarkan darahmu di kota ini dengan puas." Tanpa terlihat, sebilah pedang telah tergenggam di tangannya.

Apa boleh buat, pedang halilintar pun menarik keluar pedangnya yang telah mengangkat namanya selama puluhan tahun. Bersama itu dari kerumunan warga kota meloncat keluar tiga sosok tubuh. Begitu berdiri di samping Pedang Halilintar, tangan mereka sudah memegang senjata masing-masing.

Pedang Tanpa Tanding mendengus. Ia sudah mengetahui ada jagoan yang menyusup, dan baginya itu sangat pantas. Karena Pedang Halilintar akan sangat menghina kebesaran namanya apabila berani bertarung satu lawan satu.

"Maaf tuan, izinkan kami memulai!"

Pedang Halilintar melayang secepat elang, sementara pedang raksasanya bagai lengkungan pelangi ia kibaskan dari bawah, menuju titik serang di ketiak lawan.

Hampir bersamaan, tiga sosok di samping Pedang Halilintar ikut menerjang, senjata mereka berubah jadi gulungan cahaya, melibat tubuh Pedang Tanpa Tanding.

Sambil tertawa dingin, tokoh mengerikan itu menggerakkan pedangnya. Suara beradu senjata memenuhi udara memekakkan telinga.

Sekejap saja semua serangan itu tertangkis, bahkan Pedang Tanpa Tanding telah berada di luar kepungan. Lalu tawanya menggelegar penuh kepuasan.

"Raja empat senjata, bahkan kemampuan kalian tidak berlaku di depanku!" Kembali tawanya menggelegar.

Wajah Pedang Halilintar dan tiga orang rekannya memutih. Walau baru satu gerakan, tapi serangan mereka tadi merupakan jurus inti. Empat ekor gajah yang pernah mengamuk dekat pintu kota pun dalam sekejap mati tercincang, tapi di hadapan Pedang Tanpa Tanding, jangankan merobek bajunya, permainan senjata mereka malah tertindih, tidak bisa dikembangkan.

"Kami baru mulai," desis Pedang Halilintar. "Terjangan senjata delapan meteor!" Pekiknya mengguntur.

Angin mencicit keras ketika pedang, kapak, tombak dan parang mereka sambitkan pada lawan. Belum lagi Pedang Tanpa Tanding menangkis, mereka telah meloncat ke udara, menendang senjata masing-masing sehingga kecepatannya berlipat ganda, lalu disusul pukulan dan terjangan penuh kekuatan. Sekilas serangan ini bagai taburan meteor dari langit.

Berubah juga wajah Pedang Tanpa Tanding. Harus ia akui gabungan serangan itu sangat menyeramkan. Kehebatan Pedang Halilintar dan rekannya yang setara jagoan puncak di kota masing-masing, berubah setara kemampuan seorang tokoh yang mampu menjagoi sebuah pulau.

Pedang Tanpa Tanding tersurut mundur. Ia membentuk benteng pedang berlapis-lapis. Ketika empat senjata beradu dengan tembok itu, cahaya pedang sang Pedang Tanpa Tanding sempat guncang dan meredup. Ia mengumpat dalam hati, bahkan kekuatannya tak mampu menjatuhkan senjata itu, belum lagi ia disibukkan dengan hujan pukulan.

Ketika pedangnya menyabet tangan Pedang Halilintar, lelaki itu menarik serangan, menjangkau pedangnya sendiri sebelum sampai ke tanah. Sementara tiga lainnya melindungi dengan kekuatan gabungan.

"Luar biasa!" Geram Pedang Tanpa Tanding. Ia memainkan ilmu pedang benteng naga dipadukan serangan pedang taburan hujan. Maka menggelegarlah suara benturan. Angin menghempas kencang, lobang besar mulai tercipta, radius beberapa ratus meter pun mulai porak-poranda, hawa panas meluap cepat. Sementara dalam kepulan debu yang laksana awan turun dari langit, kilatan senjata menyambar bagai halilintar.

Gemparlah semua orang. Ini bukan pertandingan manusia lagi. Mereka serabutan menjauh. Bahkan ada yang meleletkan lidah saat bangunan rumah mereka yang berada di dekat arena ambruk serata tanah. Tak ada yang sempat memikirkan kerugian, karena nyawa sendiri pun mungkin hari ini bukan milik mereka lagi.

Hanya satu harapan yang tak berani mereka ucapkan, semua berharap kemenangan Pedang Halilintar dan kawan-kawan. Karena andai Pedang Tanpa Tanding yang menang, dengan reputasinya sebagai jagoan hitam, ia hanya akan mengubah kota mereka jadi tempat kediaman iblis.

"Mati!" Pekik Pedang Halilintar. Dari ketinggian dua meter ia ayunkan pedang membelah kepala Pedang Tanpa Tanding. Sementara sang tokoh menggiriskan itu sedang sibuk menangkis serangan tiga kawan Pedang Halilintar yang menyerang tiga penjuru.

Pedang Tanpa Tanding perdengarkan teriakan mengguntur. Tiga orang lawannya terpental. Sementara pedang dari Pedang Halilintar telah menyentuh rambutnya. Hujan darah pun bertaburan di udara disertai jeritan tinggi merobek langit.

Pertarungan terhenti. Tiga rekan Pedang Halilintar masih terpuruk di tanah. Warga kota terpana dikejauhan.

Di hadapan mereka sekarang terlihat pemandangan yang tak mampu diterjemahkan oleh nalar.

Pedang Halilintar berdiri mencekal pedang, sementara Pedang Tanpa Tanding berlutut dengan ujung pedang terhunjam ke tanah.

Banyak yang sangsi akan kemenangan itu. Begitu Pedang Tanpa Tanding mencabut pedang dari tanah, tubuh Pedang Halilintar pun tumbang. Satu garis dalam membentuk luka panjang dari mulai dada sampai selangkangannya. Ia mati, mati setelah mengerahkan kemampuan terbaiknya.

"Tangkap tiga orang itu," perintah Pedang Tanpa Tanding dingin.

Segera tiga orang pengikutnya maju, mengangkat tiga sosok tubuh yang pingsan dan meletakkan di tempat mereka berdiri. Sementara sang tokoh, bagai tidak pernah mengalami kejadian apapun menyeka pedangnya dari darah dan menyarungkannya.

Masih ketegangan menggantung di udara, mendadak terdengar suara keluhan.

"Agaknya aku orang tua harus memaksakan tubuh lemah ini menghadapi Pedang Tanpa Tanding."

Dari kerumunan orang berjalan keluar sesosok tubuh ringkih.

"Hah, bukankah itu kakek yang memiliki restoran di ujung jalan sana?"

Tak ada yang tak mengenal orang tua itu, tapi tak sedikit juga yang menyangsikan pandangan mereka. Apakah putihnya uban, keriput kulit dan usia yang semakin mendekati liang lahat membuat sang kakek tak sabar lagi menjumpai maut. Pedang Tanpa Tanding terlalu besar, kota ini mampu diluluh lantakkan dengan kekuatannya sendiri. Sementara sang kakek, semua orang yakin, mereka pun mampu menghentikan napasnya dengan satu cekikan tangan kiri sambil tangan kanan menyuapkan cemilan ke dalam mulut.

Tapi, lain warga kota, lain pula tanggapan Pedang Tanpa Tanding. Ia mengerutkan kening. Bahkan, naluri yang telah terasah ribuan pertempuran, membuatnya mencekal pedang lebih teguh. 'Agaknya tempat ini menyembunyikan naga dalam kota,' batinnya.

"Siapa kau orang tua?"