webnovel

Penglihatan Agustine

Langkah kaki Aditya bergema di sepanjang lorong RS. Ia melangkahkan kaki dengan tegas ke sebuah ruangan di RS tempat dilakukannya tindakan operasi Briptu Agus yang masih berlangsung. Tetapi bukan Briptu Agus yang dicarinya, melainkan Briptu Shinta.

Briptu Shinta segera menoleh begitu Aditya memasuki ruangan dan menghampiri dirinya. "Apa maksud perkataannya di telepon? apakah Raissa dalam bahaya?" tanya Aditya langsung dan tanpa basa-basi. "Aku juga belum jelas, Briptu Agus dan Bripda Anton sedang menyelediki laporan dari seorang ibu pemilik kontrakan yang mencurigai kontrakannya merupakan sarang si topi biru. Entah Apa yang terjadi tempat itu meledak saat mereka sedang berada di dalam. Bripda Anton meninggal dalam tugas. Briptu Agus masih dalam penanganan. Sebelum tidak sadarkan diri, beliau membisikan bahwa rumah ini bukan milik si topi biru dan ia meminta untuk memperingatkan Raissa. Briptu Agus menceritakan sedikit situasi yang dihadapi Raissa, dia berpesan kalau ada apa-apa dengan dirinya, aku diminta untuk menggantikannya. Sudah beberapa hari ini dia diikuti orang tetapi selalu berhasil lepas. Firasatku ini berhubungan." kata Briptu Shinta menjelaskan panjang lebar. "Seperti apa ibu pemilik kontrakannya?" tanya Aditya. "Biasa saja, kami punya rekaman cctv-nya, saat ini sedang dilacak. Tapi aku yakin saat itu ia sedang menyamar, mungkin saja dia bukan ibu-ibu, bisa saja seorang gadis atau pemuda bertubuh kecil. Entahlah." kata Briptu Shinta. "Boleh saya minta fotonya?" tanya Aditya. Briptu Shinta memijit keningnya, sebenarnya dia sudah menyalahi protokol kepolisian tapi dalam hal ini ia merasa bahwa semua ini berkaitan dengan Raissa. "Sebetulnya tidak boleh, tapi akan ku usahakan." kata Briptu Shinta. "Terimakasih atas segala yang telah kau lakukan Briptu Shinta, semoga Briptu Agus segera sembuh. Dan sampaikan ucapan Belasungkawa untuk keluarga Bripda Anton, saya pamit dulu. " kata Aditya. Briptu Shinta mengangguk lalu kembali berjalan mondar mandir di depan ruang operasi. Aditya segera pergi ke ruang tunggu, kali ini ia mencari Agustine. Agustine sedang duduk di ruang tunggu tampak sedang berdoa mendoakan kesembuhan kembarannya. "Maaf aku menganggu." kata Aditya. Agustine membuka matanya. "Kau ingin tahu siapa pelakunya." kata Agustine datar. "Kau melihatnya?" tanya Aditya. " Tidak, ini kejahatan yang dilakukan secara tidak langsung. Tidak seperti si topi biru yang terlibat langsung dengan korban-korbannya, ini seperti orang bayaran. Tidak ada jejak emosi yang bisa kuikuti." kata Agustine. "Baiklah, ini kartu namaku, kabari aku kalau kau melihat sesuatu! Terimakasih, semoga saudaramu cepat pulih. Dulu aku menganggapnya saingan untuk mendapatkan Raissa. Dia Pria terhormat yang baik!" kata Aditya. Agustine tergelak, "Aditya, pria terhormat dan baik itu kamu, kalau Agus itu pria Konyol yang baik. Jangan khawatir, Raissa tidak akan berpaling darimu."Kata Agustine. "Aku tahu itu, makanya aku bilang dulu Briptu Agus sainganku.. bukan sekarang" kata Aditya lalu ia berbalik hendak pergi. "Tunggu!!" kata Agustine. Aditya menghentikan langkahnya. Ia menoleh. "Mengapa kau langsung percaya padaku? padahal banyak orang yang masih skeptis dengan kemampuan yang kumiliki?" tanya Agustine. "Karena Raissa percaya padamu." kata Aditya sambil berbalik dan pergi dari sana. Agustine hanya tersenyum, andai saja semua orang seperti Aditya dan Raissa ia tidak usah repot-repot jadi psikiater segala. "Nah, sekarang aku harus konsentrasi, konsentrasi lah!! aku harus tahu dalang dibalik bom ini!" kata Agustine pada dirinya sendiri, lalu ia kembali memejamkan matanya dan tampak seperti sedang berdoa. Tiba-tiba datang seorang wanita berlari ke ruang tunggu. Wanita itu celingak-celinguk kebingungan. Agustine tidak mengenal wanita ini, tetapi hatinya hangat melihatnya. Wanita itu melihat Agustine dan tersenyum. "Halo, selamat malam, saya Peni temannya Briptu Agus. Mbak ini.. Saudaranya Briptu Agus ya?" kata wanita itu yang tak lain dan tak bukan adalah Peni. Agustine menyambut uluran tangan Peni, dan karena ia tidak memakai sarung tangannya ia langsung bersentuhan dengan kulit tangan Peni, seketika itu juga Agustine mendapat penglihatan, Peni dan adiknya sedang di pelaminan, keduanya sedang tertawa bersama, tampak bahagia, lalu pemandangan berubah, Peni dan Agus keluar dari ruangan seorang dokter, perut Peni membuncit besar sekali tanda ia sedang hamil tua, lalu pemandangan berubah lagi, kali ini bayi mereka sudah lahir, Peni dan Agus dikelilingi oleh Aditya, Raissa dan dua pasangan lain yang Agustine tidak kenal. Lalu Agustine kembali menatap wajah Peni yang sekarang, wajah yang mulai terlihat bingung karena Agustine diam saja.. "oh .. eh... yaa.. saya kembarannya. Kamu temannya Agus? Teman saja atau teman banget?" tanya Agustine mulai jahil. Pipi Peni memerah. "Maunya lebih dari teman sih mbak.. tapi.. ah sudahlah . sekarang teman dulu saya sudah senang, bagaimana keadaan Briptuku?..maksudku keadaan Briptu Agus?" kata Peni. Agustine tersenyum, dia senang sekali menemukan jodoh adiknya. Semoga adiknya itu segera menghapus perasaannya pada Raissa dan memilih Peni saja. "Masih dalam penanganan di meja operasi. Briptu Shinta menunggu di depan ruang operasi mondar-mandir seperti setrikaan. Kalau aku menunggu disini saja. Toh kalau ikut mondar-mandir juga tak akan membuat operasinya cepat selesai" kata Agustine. Peni meringis. "Aku secepatnya kemari begitu mendengar kabar Briptu Agus terkena musibah. Semoga operasinya berjalan lancar, tapi jangan terlalu khawatir, staff medis disini top banget deh!!" kata Peni. "Oh aku tidak khawatir kok, saat ini adikku sudah lepas dari bahaya. Tinggal pemulihannya saja yang mungkin memakan waktu dan menguras kesabaran. Kamu sabar ya Pen.. Adikku itu memang suka ngeyel dan selalu bikin orang emosi, tapi sebenarnya baik. Apalagi dalam masa pemulihan nanti, pasti jadi pasien paling menyusahkan sedunia. Sabar ya Pen, aku mendukungmu loh!" kata Agustine sambil mengedipkan mata. "Oohh.. eh.. nggg.. oke, bagus deh! .. makasih" kata Peni dengan kebingungan. Briptu Shinta datang sambil berlari. "Sudah sadar Tin!! Agus sudah sadar!!sedang dibawa ke ruang pemulihan!! Aku akan bicara dulu dengannya, setelah itu giliran kau ya Tin! eh ada Peni juga, sehabis Agustine ya Pen, soalnya hanya boleh satu orang yang menjenguk." kata Briptu Shinta lalu menghilang lagi. Peni dan Agustine setuju saja, mereka sudah sangat bersyukur Briptu Agus menjalani operasi dengan lancar. Di dalam ruangan pemulihan, Briptu Shinta berharap akan mendapatkan jawaban secepatnya, sayangnya walaupun sudah siuman, tetapi efek obat bius masih terasa sehingga Briptu Agus masih terkantuk-kantuk. Akhirnya Briptu Shinta menyerah, ia mempersilahkan Agustine masuk, sedangkan Briptu Shinta langsung menuju kantor polisi kembali.

Agustine memasuki ruangan. Adiknya sedang tertidur lelap. "Gus.. aku sudah bertemu jodohmu Gus, kamu jangan keras kepala ya, jangan mengharapkan bintang kalau bulan yang selalu ada menemanimu. Bukalah matamu dan hatimu. Cepat pulih adikku. Aku akan berusaha melihat siapa yang melakukan ini padamu." kata Agustine sambil mengecup kening adiknya. Sisa waktu kunjungannya ia gunakan dengan menggenggam jemari adiknya. Berusaha melihat lebih jauh dalang dari peristiwa ini. Kelopak mata Agustine bergerak cepat, tiba-tiba matanya terbuka. "Dapat kau!!" lalu Agustine pergi dari sana tak lupa menyuruh Peni masuk dan menemani Briptu Agus. Peni hanya tersenyum sambil mengangguk, masih bingung dengan tingkah laku Agustine. "Mungkin sebaiknya aku bertanya pada Raissa orang seperti apa Agustine itu. Aneh sekali! sudah ah.. aku mau melihat Briptuku.." Peni bergumam sendiri. Ia pun segera masuk ke ruang pemulihan. Menemani Briptu Agus hingga ia dipindahkan ke ruang perawatan pasca operasi. Peni rela kehilangan waktu istirahatnya demi menjaga Briptu Agus.