webnovel

Hampir ketahuan

"Raissa!" teriak Peni. Peni menghampiri Raissa dan mengguncang tubuhnya, sambil terus memanggil nama Raissa. Ia memeriksa nadi dan pernafasannya. "Masih ada nadi dan nafas, syukurlah.." kata Peni pada dirinya sendiri. Namun ia bingung karena tidak dapat mengangkat Raissa sendirian. Peni berusaha mengangkatnya tetapi Peni bertubuh lebih kecil dari Raissa. Untungnya saat itu dr. Dennis, dr. Satya, dr. Alex yang ternyata juga datang pagi ini, juga Mira dan Aditya sedang menuju IGD setelah memeriksa ruangan, Peni berteriak memanggil mereka. "Tolong!! Raissa pingsan!!" teriak Peni. Aditya langsung melesat dan menggendong Raissa sambil memanggil namanya. "Bawa ke ruang tindakan Pak!" kata Mira memberi instruksi. Aditya menurutinya dan meletakkan Raissa di tempat tidur. "Ayo kita tunggu di luar Dit! Biarkan dr. Dennis bekerja." kata Alex sambil menarik lengan Aditya. "Tapi Lex.." Aditya ingin membantah tapi tatapan Alex menghujam dan kepalanya menggeleng. Aditya tidak punya pilihan selain menurut, kecuali ia ingin membongkar rahasia hubungannya dengan Raissa. "Baiklah" kata Aditya pelan dan mengikuti Alex. Satya mengikuti tak lama kemudian di belakang mereka. Mukanya terlihat bingung.Mira melihat kepergian mereka dengan kening berkerut, tetapi tetap melanjutkan pekerjaannya. Aditya, Alex dan Satya masuk ke ruang kerja Alex dan Satya. Aditya dan Alex tetap diam, Aditya terlihat kalut. Satya tahu kapan ia tidak diinginkan, kedua kakak sepupunya memang sudah dari dulu seperti itu, sangat dekat dan memiliki banyak rahasia yang hanya mereka berdua yang tahu. Kadang ia merasa seperti orang luar yang menganggu. Akhirnya Satya beralasan ingin keluar untuk mencari sarapan sebentar.

"Jangan perlihatkan dulu perasaanmu pada orang lain Dit, apalagi membongkar rahasia hubunganmu dengan Raissa. Sebentar lagi tujuanmu tercapai, bersabarlah." kata Alex. "Ya aku tahu Lex, kalau tidak aku tidak akan ikut denganmu kemari. Tapi aku khawatir sekali. Raissa habis dipukuli orang gila, terus dia harus jaga malam yang tidak bisa digantikan siapapun karena kita sudah punya rencana menjebak pencuri! Seharusnya dia bisa istirahat! Barusan dr. Dennis cerita bahwa hampir sepanjang malam Raissa bekerja sendirian karena Mona pura-pura ngambek padahal ternyata ia merampok klinik! Raissa sudah bilang padaku katanya ia butuh cuti.. kurasa ia kelelahan, seharusnya aku lebih memperhatikan dia! Aku seharusnya lebih memperhatikan dirinya!" kata Aditya menumpahkan kekhawatirannya pada Alex. "Aku akan minta Peni mengabariku dan langsung mengabarimu begitu tahu perkembangannya. Raissa gadis yang kuat, tak lama lagi pasti dia akan kembali normal." kata Alex. Aditya hanya mengangguk. "Aku akan ke kantorku. Kabari aku, dan laporkan Mona ke polisi. Anak itu harus bertanggung jawab!" kata Aditya geram. Sebelum membuka pintu Aditya kembali berbalik. "Katakan pada Mira, Beri Raissa cuti seminggu untuk memulihkan diri."

Lalu Aditya pergi dari ruangan Alex menuju kantornya.

Sementara itu di IGD Mira dan dr. Dennis kaget melihat kondisi Raissa yang penuh memar. Awalnya Mira menaikkan lengan baju Raissa untuk memasukan cairan ke dalam pembuluh darahnya, dan bingung melihat lengannya yang memar. Lalu Peni menceritakan kejadian Raissa yang dipukuli oleh Asih. Akhirnya Mira dan dr. Dennis melakukan pemeriksaan menyeluruh dan membuat perintah untuk melakukan X-ray pada Raissa. "Kenapa dia tidak cerita padaku! aduh pasti sakit menahannya semalaman!" kata Mira cemas. "Mana semalaman dia praktis bekerja sendirian karena Mona tidak membantu sama sekali. Dia juga tidak cerita padaku." kata dr. Dennis. Peni hanya diam saja. "Aku akan bicara dengan dr. Satya dan dr. Alex mengenai Asih. Meresahkan sekali tindakannya." kata Mira. "Iya kak, kalau siang banyak orang yang bisa menolong dan melerai, tapi kalau sore tidak ada." kata Peni. Mira mengangguk. Saat itu Raissa mulai bergerak, "Peni, jaga Raissa ya, sepertinya mulai sadar. Aku akan mencari dr. Satya." kata Mira. " Oke kak." kata Peni. Raissa mendesah lalu membuka matanya, tetapi menutupnya kembali karena silau lalu membukanya lagi, keningnya berkerut. "Apa.." desahnya bingung. Raissa berusaha bangkit tetapi tidak bisa. "Istirahat dulu Sa." kata Peni. "Apa yang terjadi Pen, tubuhku lemas sekali." kata Raissa. "Kamu pingsan Sa! kenapa kamu tidak bilang kalau habis dipukuli Asih, semalam kamu kerja rodi sendirian lagi! untung pingsannya sudah diakhir shift. Hehehe.." kata dr. Dennis. "Kamu X-ray dulu ya! Nanti Peni akan membantumu." lanjut dr. Dennis. "A..aku tidak apa-apa dok!" kata Raissa terbata-bata. "Sshh.. sudah jangan membantah, Pen ayo bawa ke X-ray."kata dr. Dennis. Dibantu dr. Dennis, Peni memindahkan Raissa ke kursi roda. "Ayo semangat Sa, tadi kamu digendong pak Aditya loh..!Bisa jadi cerita niihh.." kata dr. Dennis jahil. "Apa sih dok! orang lagi sakit!" kata Raissa agak sewot tapi mukanya memerah. "Ahh.. udah mulai sadar kalau udah bisa marah, heheheh.." kata dr. Dennis. Peni hanya tertawa dan mendorong kursi roda Raissa ke ruang radiologi dimana Yuda sudah menunggu. "Loh belum pulang Yud?" tanya Peni. "Belum Pen, Sini Sa, biar aku yang Rontgen, kalau semalam aku tidak meladeni si Mona, kamu pasti tidak ditinggal kerja sendirian, mana katanya Asih abis mukulin kamu ya? maaf ya Sa.." kata Yuda yang ternyata merasa bersalah dan memutuskan tidak pulang sebelum melakukan Rontgen pada Raissa sebagai permintaan maaf. "Ya ampun Yud, aku gapapa kok!" kata Raissa. "Ya kalo gapapa kok sampai pingsan segala Sa, sudah yuk kita rontgen, semoga ga ada yg patah." kata Yuda. "Kurasa tidak ada, cuma nyeri saja, namanya juga habis digebukin hehehe." kata Raissa lalu masuk ke ruangan dengan di dorong oleh Peni.

Sementara Raissa di rontgen, Aditya mencari pak Rizal. "Bagaimana?" tanyanya singkat. "Benar Mona yang mengambil uang bapak, sepertinya ia sudah menghafal letak cctv yang sudah terpasang selama ini, dari cctv itu tidak terlihat sama sekali pergerakannya, tetapi dari cctv yang baru saja dipasang kemarin terlihat jelas sekali. Tetapi ketika mengambil barang-barang di klinik sepertinya ia sudah tidak peduli, yang ini dilakukan tanpa bersembunyi dari kamera. Entah apa yang membuatnya nekat. Ia tidak bersembunyi dari cctv tetapi berusaha tidak terlihat para karyawan yang jaga malam. " kata Pak Rizal. "Supaya ia bisa kabur." kata Aditya geram. "Alex sudah melapor polisi, mungkin akan ada yang datang sebentar lagi, tunjukan videonya, lalu lacak uangku yang sudah ada microchipnya." kata Aditya. "Baik pak. sedang dilakukan" kata Pak Rizal sambil menunjuk laptopnya. Aditya memperhatikan laptop pak Rizal, terlihat titiknya berada disebuah perumahan disalah satu tempat di Jakarta, " sampaikan pada polisi." kata Aditya. "Baik pak." kata pak Rizal. Aditya keluar dari ruangan Pak Rizal, masuk ke kantornya. "Bu Ade, kemari!" panggil Aditya dari ruangannya. Bu Ade segera masuk. "Bu Ade, tolong sampaikan keluhan pada Satpol PP, mengapa ada wanita dengan gangguan jiwa berkeliaran di jalan. Kemarin Raissa dipukuli hingga memar dan pingsan pagi ini! Wanita itu harus segera diamankan." kata Aditya. "Ya Pak, sudah saya laksanakan begitu mendengar kabarnya barusan. Info dari Satpol PP yang bersangkutan selalu kabur dan kembali kesini lagi." kata Bu Ade. "Seharusnya itu bukan alasan, tetapi terimakasih Bu Ade karena selalu tahu apa yang kuinginkan. " kata Aditya . "Sama-sama Pak, sudah tugas saya."kata Bu Ade sambil melangkah keluar, tetapi belum keluar Bu Ade berhenti dan menutup pintunya supaya tidak ada orang yang masuk. Biasanya kalau sudah begini, Bu Ade ingin berbicara secara pribadi dengan Aditya dan tidak ingin didengar orang lain, walaupun hari masih pagi dan baru beberapa orang yang datang di area kantor tetapi Bu Ade adalah orang yang sangat menjaga privasi. "Adit, Tante mau bicara." kata Bu Ade. "Ya Tante, ada apa? ada yang bisa saya bantu?" tanya Aditya yang selalu menghormati Bu Ade. "Kamu ada hubungan apa dengan Raissa?" tanya Bu Ade tanpa basa-basi. "Mengapa Tante berpikir kami berhubungan?" tanya Aditya mengelak. "Adit, Tante mengenalmu dari kecil, kamu pikir Tante buta tidak melihat ketertarikannya padanya sejak pertama kalian bertemu? Ayo jangan berdalih dengan Tante, ada hubungan apa kamu dengan Raissa?" tanya Bu Ade kedua kalinya. "Kalau memang kami berhubungan dekat, lebih dari sekedar teman, apakah Tante keberatan?" tanya Aditya hati-hati. "Ya." kata Bu Ade tegas. Aditya terkejut. "Mengapa?" tanya Aditya. Lalu Bu Ade tertawa, "Adit, Adit... Tante bukannya keberatan karena Raissa tidak pantas untukmu, sebaliknya malahan, anak itu terlalu baik untukmu, Raissa itu peduli, rajin, bertanggung jawab, perawat yang baik, tegas, disiplin, selain itu fisiknya juga rupawan. Hanya saja satu kekurangannya.. dia bukan anak direktur perusahaan ternama! Sama seperti Tante Dit! Tante tidak mau ada Bu Ade kedua dalam perusahaan ini. kalau Tante lihat hubungan kalian akan langgeng karena kalian cocok, Raissa dapat melengkapimu Dit. Pertanyaannya sejauh mana kamu mau melangkah untuk mendapatkan Raissa. Apa hanya disimpan terus disisimu sebagai perawat di klinik ini, sama seperti ayahmu dulu menyimpan Tante sebagai sekretarisnya disini? Kasihan Raissa Dit! Anak itu masih muda. Masih bisa mendapatkan kebahagiaan di tangan orang yang tepat." kata Bu Ade dengan bibir bergetar. "Orang yang tepat itu adalah saya Tante! Tolong jangan membandingkan hubungan Saya dan Raissa dengan hubungan Ayah dan Tante. Tidak sama!" kata Aditya sambil mengepalkan tangan. "Kalau begitu mengapa kamu merahasiakan hubunganmu dengan Raissa? Bagaimana kalau keluarga besar Bhagaskara memutuskan akan menjodohkan mu dengan putri seorang CEO perusahaan Staples,atau perusahaan susu, atau perusahaan bir, hmmm? Kamu selama ini selalu menurut dengan dewan direksi.Mengapa sekarang harus berbeda?" tantang Bu Ade. "Karena saya punya rencana Tante, saya tidak akan selamanya menyembunyikan hubungan kami." kata Aditya. "Tahukah kamu Dit? Ayahmu selalu punya rencana untuk kami, sampai akhirnya ia menikah dengan wanita serakah yang hanya mengejar harta, aku tahu dia ibumu tapi ayahmu sendiri yang bilang begitu, dan ia masih punya rencana untukku, sampai ayahmu mempunyai dua orang anak yang lucu dan menggemaskan, ia masih punya rencana untukku, dan sampai ayahmu akhirnya meninggal Dit, aku masih mengikuti rencananya untukku Dit. Kamu mau Raissa menjadi sepertiku? Mengikuti rencana seorang Bhagaskara yang sampai akhir hayatnya saja tidak bisa merampungkan rencananya!!" kata Bu Ade kali ini dengan bercucuran air mata. Aditya mendesah, ia mengambil sekotak tissue dan menghampiri Bu Ade, menuntunnya untuk duduk di kursi sementara Aditya duduk disebelahnya dan memeluknya seperti memeluk ibunya sendiri. "Tante, saya tidak tahu harus bilang apa selain berterimakasih. Tante selalu menjadi jangkar buat Ayah, tahu tidak Tante? Bukan hanya untuk Ayah, tetapi untuk saya juga, bahkan mungkin Karina juga. Sikap Ayah tentu saja salah menurutku, Ayah Egois. Tapi demi Tuhan Tante, saya tidak ingin mengikuti jejak ayah dalam hal ini! Percayalah sama Adit Tante, sebentar lagi saya dan Karina terbebas dari belenggu keluarga Bhagaskara. Tapi tolong rahasiakan dahulu ya Tante.. Untuk sekarang. Termasuk hubungan saya dengan Raissa. Adit hanya ingin berhati-hati supaya Raissa tetap aman Tante." kata Aditya. Bu Ade membersit hidungnya dengan tissue dari Aditya. "Maafkan Tante jadi mengungkit masa lalu, Tante ga mau pengalaman Tante terulang, bersikap bijaklah pada Raissa. Anak itu baik." kata Bu Ade sambil merapikan dirinya. "Jangan khawatir Tante." kata Aditya sambil menepuk bahu Bu Ade. "Baguslah kalau begitu, sekarang Tante mau melanjutkan pekerjaan Tante dulu. Tapi Tante mau ke toilet dulu merapikan diri." kata Bu Ade sambil berdiri. "Silahkan Tante, Terimakasih sekali lagi." kata Aditya. Lalu Bu Ade beranjak pergi keluar. Aditya menghembuskan nafas. Dalam hati ia berjanji tak akan mengulang kesalahan ayahnya, Tak ada yang dapat mengatur masa depannya selain dirinya sendiri. Persetan dengan Paman dan bibinya. Mereka semua sudah cukup kaya, kalau mereka tidak malas mereka malah bisa melipatgandakan kekayaan mereka dengan usaha mereka sendiri, bukannya mengawinkan anak-anak mereka dan menganggap anak mereka adalah asset. Aditya menengok ke arah meja Bu Ade yang masih kosong, sekali lagi ia membuat janji, kelak bila Bu Ade pensiun nanti, ia yang akan menjamin hari tuanya. Bahkan Bu Ade boleh tinggal di rumahnya kalau ia mau. Lalu Aditya memutar nomor IGD dan mencari Peni , ia ingin mencari kabar mengenai Raissa.

Sementara itu, Mira bertemu Satya yang baru saja masuk ke klinik sesudah sarapan. "dr. Satya, ada waktu sebentar?" tanya Mira. "Ya kak Mira, ada apa?" tanyanya. " Mengenai Raissa yang baru saja dipukuli oleh Asih. Apakah ada yang dapat kita perbuat? saya takutnya dia menjadi ancaman bagi karyawati yang lain." kata Mira. "Ah ya tentu saja, mengenai itu sebaiknya kita lapor Satpol PP, tadinya saya mau menelepon Bu Ade, biasanya beliau punya banyak relasi. Sebentar saya telepon sekarang." kata Satya sambil mengeluarkan ponselnya. Ia menelepon Bu Ade, tak lama kemudian ia menutup kembali. "Ternyata sudah ditangani Bu Ade, Aditya juga sudah memintanya melakukan hal yang sama. Tak lama lagi kita akan mendapat laporan dari satpol PP." kata Satya dengan kening berkerut. "Kak Mira, ada apa Antara Aditya dengan Raissa?" tanya Satya ragu-ragu. "Hah? ada apa ya? awalnya saya pikir juga tidak ada apa-apa. Mereka tidak pernah dekat. Tapi pagi ini Pak Aditya terlihat kalut sekali ketika Raissa pingsan. Memangnya dokter berpikir ada apa-apa ya?" bisik kak Mira. "Kak Mira, tolong laporkan padaku ya kalau memang ada apa-apa." pinta Satya. "Baik dok." kata Mira dengan bingung, apalagi Satya langsung meninggalkannya sendirian, membuat Mira bertanya-tanya, bila ia menemukan sesuatu apakah ia akan bilang pada Satya atau tidak. "Ah, nanti kalau ada apa-apa aku ceritanya ke dr. Alex saja ah! curiga aku sama dr. Satya!" kata Mira sambil menggeleng dan beranjak masuk ke IGD.

Peni baru saja meletakkan telepon setelah berbicara dengan Aditya ketika Mira masuk. "Pak Aditya?" tanya Mira. "Iya kak." jawab Peni pendek. "Tumben Pak Aditya perhatian sekali, ada apa ya?" pancing Mira. "Mmm.. memang beliau selalu perhatian dengan kita anak buahnya kan kak?" elak Peni. "Sejak kapan kamu menganggap pak Aditya baik? " kata Mira heran. "Euuhh.. dari dulu juga baik kak, cuma ada beberapa kebijakannya saja yang saya tidak setuju!" kata Peni lagi sambil cengengesan berharap sandiwaranya tidak terbongkar. Mira pun semakin curiga tetapi tidak memburu Peni untuk bicara. Dr. Dennis datang sambil membawa hasil X-ray Raissa. "Sudah ada hasilnya, retak di rusuk kanan, tapi tidak membahayakan. Harus istirahat minimal seminggu ni kak, siap-siap kak, 2 perawat absen." kata dr. Dennis. "Ya sudah mau diapakan lagi dok, memang harus istirahat si Raissa. Sedangkan Mona, ntah ada dimana dia." kata Mira. "Tadi Pak Aditya bilang kak Mira disuruh siap-siap karena ada polisi yang akan datang melihat TKP. Mona sepertinya langsung diperkarakan oleh Pak Aditya." kata Peni. "Sudah sepantasnya!" kata dr. Dennis geram. "Hmmm, nanti aku juga akan komunikasikan dengan bagian HRD." kata Mira. Dr. Dennis dan Peni menyampaikan berita itu pada Raissa. "Wah aku dirumahkan seminggu? ngapain aku ya?" tanya Raissa. "Jangan melakukan tindakan yang berat!" kata dr. Dennis. "Hmm, apa aku pulang saja ke Bandung ya?" kata Raissa. "Ide bagus tuh Sa, istirahat dulu di rumah, daripada di rusun tidak ada yang menemani." kata Peni. "Baiklah aku pulang saja kalau begitu" kata Raissa lalu menoleh ke arah dr. Dennis. "Pulang dok! mau jaga 24 jam?" kata Raissa. "Iya iya, ini aku juga mau pulang. Lega aku kalau kamu sudah tidak apa-apa. Ngomong-ngomong kamu butuh tumpangan tidak?" tanya dr. Dennis. "Nggg...Tadi kata Pak Aditya, Raissa akan diantar mobil kantor untuk pulang." kata Peni lemah. "Wah, baik banget pak Aditya." kata dr. Dennis. Sedangkan Mira terkejut dan makin bertanya-tanya, tetapi ia tetap diam saja. "Wahh terimakasih pak Aditya, padahal aku naik ojek juga bisa loh!" kata Raissa memecahkan kecanggungan. "Jangan!! sudah pakai mobil kantor saja, mumpung pak Aditya lagi baik!" kata Mira. Peni dan dr. Dennis juga menyetujuinya. Akhirnya Raissa pulang diantar Pak Faisal, supir Aditya. Tentu saja hal ini makin menimbulkan pertanyaan di benak Mira dan Satya. Tetapi keduanya tetap diam dan tidak mengatakan apa-apa sampai mendapatkan bukti lebih banyak lagi.