webnovel

Curiga

Seminggu berlalu, kejadian hacker cctv sudah dilupakan oleh sebagian besar karyawan. Hanya tim IT yang masih berkutat memperbaiki dan mengamankan sistem sehingga tidak dapat di hack kembali. Hari ini, Raissa dan Mona kembali bertugas jaga malam bersama. Tentu saja tidak ketinggalan dr. Dennis. Malam ini mereka ditemani oleh Yuda, pak Wani dan Barto. Seperti biasa, mengawali jam kerja mereka makan malam bersama. "Dok, dompet sudah diamankan?" tanya Yuda. "Sudah dong..selalu dibawa sekarang!" kata dr. Dennis sambil menepuk saku celana panjangnya. "Kebiasaan sih dokter taruh dompet dimana aja." kata Mona. "Iya, baru kena batunya minggu lalu, selama ini pasien pada baik-baik ya dok, liat dompet dokter tergeletak sembarangan aman-aman saja." kata Raissa. "Abis dulu dompet dokter Dennis buluk, tipis lagi. Sekarang aja udah ganti kulit buaya, lumayan tebel lagi.. makanya kalo duduk susah! Ya kan dok!" kata Barto bercanda. "Bisa aja nih Bang Barto! Dompet Bang Barto sendiri gimana? tipis? tapi isinya? ATMnya aja ada 5" kata dr. Dennis. "Siapa bilang 5.. yang benar 10 dok!" kata Barto. "10 kartu ATM di dompet, dompet gak tipis bang.. tebeelll!! sekalian lah kasih tau password-nya juga?" ejek Yuda. "Gampanggg!! 010101! sudah hapal kau!! kalau uangku hilang kau ya yang kucari!!" kata Barto pada Yuda. Yang lain tertawa. Tiba-tiba ponsel Raissa berbunyi. "Aduh maaf, lupa di silent. Eh Liza yang telpon." kata Raissa sambil mengerutkan kening. Biasanya Liza tak akan menelepon kalau tidak penting, apalagi Liza tahu Raissa bekerja. "Angkat saja Sa, belum ada pasien ini.." kata dr. Dennis. Raissa menurut. Baru mau bilang halo Liza sudah nyerocos duluan. "Raissa!! tolongin mas Bram.. katanya masuk selokan di sebelah gedung, rem nya blong! Sa cepetan Sa!!! dia sendirian ga ada orang!!! huhuhuhuuuuu" tangis Liza. "Hah? mas Bram! selokan mana? Tenang dulu Liz.. aku bingung.. pelan-pelan." kata Raissa menenangkan. "Hiks.. hiks.. Mas Bram kecelakaan barusan, dia mau keluar kantor dari parkiran gedung, tiba tiba ada mobil lewat, dia mau ngerem tapi tidak bisa, remnya blong! lalu dia banting sepeda motornya ke kiri dan dia masuk selokan katanya Sa.. sudah teriak minta tolong tapi tidak ada yang datang! Tolongin Sa!!" jerit Liza. "Siap, kami segera kesana. " kata Raissa lalu secara singkat menjelaskan pada dr. Dennis dan Mona. Semua langsung menyudahi makan malamnya. Pak Wani langsung mengambil strecther, Raissa mengambil tas yang berisi peralatan P3K dan bersama dr. Dennis dan pak Wani langsung menuju ke jalan keluar parkiran gedung, sedang kan Mona, Yuda dan Barto kembali masuk ke klinik untuk bersiap di ruangan masing-masing. Tetapi Barto memutuskan untuk ikut dengan Raissa dan kawan-kawan karena Lab sudah tidak perlu dipersiapkan lagi, selain itu, ia dan Bram sudah lama berkawan. "Tunggu aku, aku ikut kalian!" kata Barto. " Ayo cepat Bang!" kata dr. Dennis. Mereka berjalan hingga pintu keluar parkiran gedung. Penerangan di dalam gedung parkir memang baik, tetapi di luar gedung sangat tidak dapat diandalkan. Akhirnya mereka menggunakan bantuan senter dari ponsel masing-masing, yang menyadarkan Raissa bahwa ia masih memakai ponsel milik Aditya. Untungnya letak aplikasi senternya tidak terlalu sulit diakses sehingga Raissa dapat segera menerangi jalannya. "Lihat, jejak ban motor berbelok tajam." seru Barto setelah menemukan jejak ban kehitaman. "Mas Bram!" panggil Raissa sambil mengarahkan senternya ke sebuah selokan yang tidak jauh dari sana. "Di..siiniii!!" terdengar suara rintihan dari selokan yang lumayan dalam. Keempat orang tersebut mengarahkan senter ponsel mereka ke arah suara rintihan. Lalu terlihatlah Bram yang tertindih sepeda motornya sendiri. Posisi kaki kirinya tertekuk ke arah luar dan kaki kanannya terjepit diantara knalpot dan lantai selokan. Barto dan Wani segera mengangkat sepeda motor yang menjepit Bram, sedangkan Raissa dan dr. Dennis mengamankan Bram. "Sepertinya kakiku yang patah dok" kata Bram ketika dr. Dennis memeriksa kepala dan leher Bram. "prosedur Bram, aku harus periksa dari kepala sampai kaki. tenang yaaa!" kata dr. Dennis sambil meneruskan pemeriksaannya. Bram juga sebenarnya tahu mengenai prosedur ini, hanya saja berbeda kalau kejadiannya terjadi pada diri sendiri, rasanya mau cepat-cepat saja. Raissa memasangkan penyangga leher pada leher Bram hanya untuk berjaga-jaga jikalau ada cedera leher, lalu memasang papan dibawah tubuh Bram dibantu dr. Dennis yang sudah menyelesaikan pemeriksaannya. "Bram, kita langsung pindah ke klinik saja ya, supaya lebih terang, sekilas sepertinya tidak ada cedera kepala ataupun benturan keras di kepala." kata dr. Dennis. "Ya dok, setuju, aduuhhh..kakiku.." rintih Bram kembali. Maaf sedikit sakit ya mas." kata Raissa sambil memasang papan pengaman dikedua sisi kaki kiri Bram. "Aarrgghhh!!" jerit Bram. "Maaf!! Maaf!!" kata Raissa. "Tidak apa-apa Sa! jangan bilang-bilang Liza aku menangis yaa.. aduuhh sakit sekali sumpaaahh!!" kata Bram kesakitan sampai air matanya berlinang. "Tenaaangg!! rahasiamu aman sobat!!" kata Barto. Lalu Raissa memberikan salep untuk mendinginkan luka bakar pada betis kanan Bram, celananya sudah robek sehingga knalpot yang panas langsung mengenai kulit. Setelah selesai, mereka kini mencoba mengangkat Bram dari selokan. Kali ini dibantu beberapa Sekuriti yang sedang patroli dan menghampiri untuk mengecek kejadian tersebut. Beberapa Sekuriti yang lain mengamankan sepeda motor Bram. "Waahh, lupa di servis ya pak motornya." ujar salah seorang sekuriti. "Baru 2 Minggu lalu pak di servis, ganti ban segala karena robek. Adduuhh.." kata Bram sambil masih tetap merintih. "Oh begitu, kok aneh ya.. minyak remnya kering." kata si sekuriti bingung. "Ha? kok bisa? baru di servis kok!" kata Bram. "Sudah, sudah, nanti saja! kita ke klinik dulu ya mas.. sebaiknya mas sambil telepon Liza. Histeris tadi dia telpon aku. Untung dikasih tau Liza, kalau tidak sampai besok pagi baru ketahuan!" kata Raissa. Akhirnya mereka segera melarikan Bram ke klinik. Sesampainya disana, Bram langsung dibawa ke radiografi untuk di Rontgen kakinya. Setelah itu kembali ke UGD untuk perawatan luka-luka yang lain. Tak lama kemudian hasil Rontgen sudah keluar. "Bram ada kabar buruk dan gembira, mau yang mana duluan?" kata dr. Dennis. "Buruk " kata Bram tegang. "Kamu patah tulang Tibia, atau tulang kering!" kata dr. Dennis. "Itu saja? fiuuhh.. kabar gembiranya dok?" tanya Bram. "Patahnya cakep, jadi tidak harus operasi, cukup di gips saja. Kamu juga punya beberapa luka perang seperti luka bakar derajat dua di betis kanan, laserasi di lengan, kaki, pelipis bahu.. besok pagi kamu bakalan.. apa ya istilah orang Jawa bilangnya 'njarem', kalau medisnya sih myalgia!" kata dr. Dennis. "Ooh syukurlah.. adduuh tapi saya akan sulit bergerak dong dok! aduh mana lagi banyak kerjaan lagi! terpaksa tidak bisa Offshore dulu nih.. harus di office terus." kata Bram bingung. "Oiya mau ditelponkan dr. Aldi?" tanya Raissa. "Iya boleh Sa, sepertinya Irvan akan mengambil alih dulu tugasku Offshore sementara, haduuhh habis aku dimarahi istrinya Irvan! istrinya tidak suka Irvan Offshore!" seru Bram ngeri. "Ya ampun mas ini kan kecelakaan. Sudah ayo kabari Liza.. dia pasti sudah ketakutan sekali. Aku akan mengabari dr. Aldi." kata Raissa. "Baiklah, terimakasih ya Sa!" kata Bram. Raissa mengabari dr. Aldi sambil memperhatikan Mona mempersiapkan gips untuk dr. Dennis agar ia bisa menggips kaki Bram. Lalu Raissa berpikir, Aditya pasti ingin mengetahui kejadian ini juga, ia meraih ponselnya dan mengabari Aditya lewat pesan ke ponsel Aditya. Setelah itu Raissa membantu dr. Dennis dan Mona. Tak lama kemudian Dr. Aldi dan Irvan datang ke UGD.

"Bro, kenapa? K.O sama sepeda motor?" kata Irvan sambil menertawakan Bram. "Rem blong bro!" kata Bram sambil ikut tertawa. "Laah bukannya baru di servis?" tanya dr. Aldi. "Itulah!! aku juga bingung!" kata Bram. "Kemarin robek ban, skrg r blong! artinya minta diganti motornya bro!" kata Irvan. "Beli mobil sekalian aja! biar bisa ajak Liza jalan-jalan!" kata dr. Aldi sambil memainkan alisnya. Dari situ pembicaraan mulai beralih ke motor dan mobil. Dr Dennis sampai ikut nimbrung. Sedangkan Mona dan Raissa tidak tertarik, memilih menunggu di luar ruangan. "Untung sepi pasien ya kak." kata Mona. "Hus, pamali! jangan pernah bilang kata 'sepi' saat bertugas ya!!" kata Raissa. Benar saja tak lama kemudian datang dua orang ekspatriat yang kelihatannya mabuk, salah satunya kepalanya bocor, sepertinya jatuh. "Ya ampun, padahal baru jam 9.30 malam, masa sudah teler!!" kata Mona. Setelah ekspatriat itu selesai, Bram pamit pulang, ia akan diantar pulang oleh dr. Aldi dan Irvan. "Terimakasih semuanya sudah menemukan anak kami yang hilang, mainnya kejauhan sih, makanya masuk keselokan!" kata dr. Aldi. "Makanya mainnya hati-hati nak! Kalau belum punya SIM jangan mengendari kendaraan bermotor!" kata Irvan meniru bapak-bapak menasehati anaknya. "Sialan kau!" kata Bram sambil berjalan menggunakan bantuan tongkat yang dipinjamkan dari klinik. Sepulangnya Bram, klinik kembali sepi. Mona dan Raissa menggunakan waktu sepi ini untuk membereskan peralatan yang sudah dipakai untuk tindakan dua pasien tadi. Sesudahnya kedua gadis tersebut sibuk dengan ponsel masing-masing, tentu saja Raissa mengecek pesan dari Aditya. Kalau jaga malam di klinik mereka terpaksa melewatkan sesi bertelepon sebelum tidur. "Bagaimana Bram? kok aneh remnya blong, padahal kan baru di servis saat ban motornya robek malam itu? ada yang aneh. Aku akan meminta rekaman cctv parkiran motor besok pada keamanan gedung. Sepertinya ada yang mengerjai Bram." tulis Aditya. "Iya juga ya, siapa ya yang dendam sama Mas Bram?" tulis Raissa. Baru saja Rissa mengklik tanda kirim, Barto datang ke UGD. "Ada yang melihat dompetku?" tanyanya. "Serius Bang?" tanya Raissa tidak yakin Barto bercanda atau tidak. "serius aku!" kata Barto lalu mengetuk pintu kamar dr. Dennis. "Lihat dompetku tidak dok?" tanya Barto. "Yang ada 10 kartu ATMnya?" kata dr. Dennis sambil tertawa. "Bukan dok, dompetku yang asli, cuma ada satu ATMnya, tapi ada kartu BPJS, KTP, SIM, STNK. Untungnya uangnya tak ada, baru besok pagi aku mau ke ATM ambil uang, eh sudah hilang, masalahnya banyak kartu kartunya penting." kata Barto. "Eh serius! Beneran hilang?" seru Raissa tidak percaya. "Bang, jangan bercanda bang! Gak lucu tau!" kata dr. Dennis. "Bettuulll!! haduh kalau tidak ada yang percaya padaku! Si Yuda dan pak Wani pun sama reaksinya dengan kalian!" kata Barto mulai kesal. "Habis Abang suka bercanda sih, ya sudah ayo kita cari mumpung tidak ada pasien. Mungkin terjatuh. Abang yakin tidak lupa taruh dimana? Yakin bawa dompet dari rumah kan?" tanya Raissa. "Yakin Sa, Tidak mungkin jatuh, orang aku taruh di dalam tas ranselku! tadi waktu aku kembali tasku agak terbuka. curiga aku periksa, ternyata hilang dompetku." kata Barto lesu. "Tapi tidak ada orang yang datang ke lab kan? Mas Bram hanya ke radiografi, si ekspatriat malah tidak keluar dari ruangan UGD!" kata Raissa. Otak Raissa berputar, kalau tidak orang lagi yang ada di klinik, berarti pelakunya ada diantara mereka. Tapi siapa? "Ya sudah, ayo kita cari dulu dompetnya, siapa tahu terjatuh." kata Mona. "Iyaa, gitu dong, bantu aku laahh!" seru Barto. Akhirnya semua berpencar mencari dompet Barto. Yuda dan Wani pun akhirnya ikut mencari. Tapi tak ditemukan. "Duh dimana ya?" kata Raissa. "Kak, aku coba periksa ke bagian front office yaa!" kata Mona sambil berjalan ke arah depan klinik. "Tapi aku tidak kesana dari tadi Mon!" ujar Barto tetapi Mona sudah terlanjur berjalan kearah depan dan tidak mendengarnya. Tak lama kemudian, Mona kembali, "Nihil Bang!" katanya. "Iyalahh.. aku gak kesana!" kata Barto. Lalu pencarian dihentikan karena ada pasien datang. "Bang, kami layani pasien dulunya, nanti kalau ada waktu lagi kami akan bantu cari." kata Raissa. "Makasih ya Sa!" kata Barto. Akhirnya sampai pagi dompet Barto tak kunjung ditemukan. Sambil membereskan ruangan, Raissa berpikir. Raissa semakin curiga, karena sudah dua kali kejadian. Apakah yang pertama itu bukan pasien yang mengambil, tetapi salah satu karyawan? Tapi siapa? Raissa teringat pagi ketika Petty cash mereka hilang 100.000 dan tiba-tiba Mona menemukannya di bawah meja, padahal jelas-jelas Raissa sudah memeriksa tempat itu sebelumnya. Apakah itu bukan suatu kebetulan? Tapi semua kejadian kehilangan terjadi saat ada Mona. Raissa penasaran apakah rekaman cctv saat ini juga ada yang meretas kembali. "Mas, ada yang kehilangan uang lagi, kali ini Bang Barto kehilangan dompet. Mas boleh tolong cek ke pak Rizal apakah cctv ada yang meretas lagi?" ketik Raissa lalu ia mengirimkan pesannya pada Aditya. Sambil menunggu balasan Aditya, Raissa kembali melanjutkan tugasnya. Ia pergi ke Kasir untuk melaporkan pendapatan semalam. Disana Raissa melihat Barto dan Rotua berbincang. Barto menoleh dan melihat Raissa. "Sa, dompetku ketemu Sa, ada diujung meja ka Rotua!" seru Barto. "Hah? kok bisa ada disini? katanya Abang gak kesini kemarin?" tanya Raissa. "Itulah yang aku heran, Kak Rotua juga. Ya kan kak? Waktu dia pulang kemarin, tidak ada dompetku disini." kata Barto. "Hmmm.. Beneran Abang gak kesini? masa dompetnya Abang bisa jalan-jalan sendiri sih?" kata Raissa. "Iya nih dompetku butuh liburan sepertinya, maunya ke tempat yang banyak duitnya Sa.. Biasanya kosong sih isinya!" kata Barto mencoba membuat lelucon. "Eh kak, ini laporan semalam ya. Pada bayar pakai kartu semua, jadi Petty cashnya utuh." kata Raissa. "Siap makasih Sa! Selamat istirahat ya?" kata Kak Rotua. "Makasih kak.. iya nih, kalau sama dr. Dennis, tidak ada yang namanya malam tenang! aku kangen jaga dengan dr. Deasy!!!" seru Raissa yang disambut tawa Rotua.

"Raissa!! Kita dipanggil pak Aditya!" tiba-tiba Kak Mira muncul dan menarik Raissa. "Eh tunggu!!" kata Rotua. "Ada apa?" tanya kak Mira tak sabar. "Itu Raissa kucel begitu masa mau ngadep pak CEO! hayoo cuci muka dulu!" kata Rotua. "Wah iya bener.. kucel amat Sa.. sibuk ya semalem? sudah ayo kita ke toilet dulu." kata Kak Mira tetap menyeret Raissa diiringi tatapan bingung Barto dan Rotua.

Sesampainya di toilet, Raissa langsung buka suara. "Ada apa kak? kenapa buru-buru? kenapa aku dipanggil? Cuma kita saja yang dipanggil kak?" seribu pertanyaan terlontar dari mulut Raissa. "Adduuhh, aku juga tidak tahu, yang kutahu kalau dipanggil Pak Aditya ya harus cepat datang, biasanya bukan hal bagus kalau pagi-pagi buta begini dia sudah datang dan memanggil kita. Ini baru jam tujuh kurang, kamu kan tahu biasanya pak Aditya datang jam 9 ke atas, ngapain coba dia datang pagi trus manggil kita? aku juga deg-degan nih. Kamu abis ngapain Sa?" tanya kak Mira. "Ya abis kerja kak, walaupun aku punya firasat apa yang mau diomongin pak Aditya sama kita. Tenaaang... tarik nafas kak!"kata Raissa. "Hadduuhh, kamu sih belum pernah dimarahi pak Aditya, sereeemm!! Sudah selesai cuci mukanya? ayo kita keatas. Nanti kelamaan beliau nunggu!" seru kak Mira. Raissa hanya tersenyum melihat kak Mira gugup. Pasti yang ingin dibicarakan Aditya menyangkut pesan yang dikirimnya semalam dan tadi pagi. Walaupun Raissa bingung kenapa harus membawa kak Mira. Dipikir-pikir lagi, memang kak Mira harus tahu karena kak Mira adalah atasan langsung Raissa, pasti mencurigakan kalau hanya Raissa saja yang dipanggil. Akhirnya merekapun bergegas ke ruangan Pak Aditya. Meja Bu Ade masih kosong, tetapi komputernya menyala, berarti Bu Ade sudah datang. "Mungkin Bu Ade di dalam, kita masuk saja ya?" kata kak Mira dengan tidak yakin, terlihat jelas bahwa ia berusaha menutupi kegugupannya. Raissa mengangguk. Kak Mira mengetuk pintu tiga kali lalu membuka pintu. Benar saja Bu Ade ada di dalam, dan ada Pak Rizal juga.

"Selamat Pagi, kami sudah datang." sapa Kak Mira. Aditya hanya memberikan tanda menyuruh Kak Mira dan Raissa masuk dengan jarinya. "Silahkan duduk disini Mira, Raissa." kata Bu Ade ramah. Sedangkan pak Rizal seperti biasa diam saja. Kedua perawat itupun duduk. "Baiklah, aku memanggil kalian berdua karena adanya laporan dari orang yang tak bisa saya sebutkan namanya, yang mencurigai kalau cctv ada yang kembali meretas. Dan kita akan lihat kebenarannya, silahkan pak Rizal. " kata Aditya. Kak Mira melirik Raissa. "Baiklah , mari kita lihat ini!" kata Pak Rizal sambil menyalakan layar monitor yang dibawanya, sedangkan jarinya sibuk menari di laptop. " Pada pukul 7.30 semalam hingga pukul 8.30 cctv kita kembali diretas. Bukan hanya sekali, lihat ini pukul 9.20 hingga pukul 10 malam, kembali diretas. Dua kali dalam semalam. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin dan memakai perangkat canggih untuk mencegah peretas. Tetapi seperti yang kita lihat, tidak berhasil, hal ini berarti satu hal, peretasnya orang dalam, dan dugaan saya adalah ia memakai semacam jammer untuk mengacak sinyal. cctv." kata Pak Rizal. "Mmm lalu apa hubungannya dengan kami pak?" tanya Mira bingung. "Dari kesimpulan pak Rizal, saya memanggilmu dan Raissa karena kejadiannya selalu pada saat Raissa jaga malam, dan kamu adalah atasannya jadi tentu saja kamu harus tahu Mira, tetapi saya yakin bukan Raissa pelakunya karena sejak awal dia tidak terlihat gugup atau takut saat mengecek cctv. Jadi saya memanggil kalian untuk melihat apakah kalian mempunyai kecurigaan siapa pelakunya?" tanya Aditya. "Wah terimakasih atas kepercayaannya pak!" kata Raissa sedikit ketus. Agak sakit hati juga ketika Aditya mengatakan kalau kejadiannya hanya setiap Raissa jaga malam. "Sumpah saya tidak ada hubungannya dan saya juga gaptek soal jammer-jammeran kayak gitu pak! Ya ampun pak kalau saya mau nyuri saya nyurinya yang elitan dikit pak.. masa dompet Bang Barto saya curi! Dompet bapak sekalian saja yang saya curi! sudah pasti menang banyak saya!!" kata Raissa sewot. "Tenang.. tenang Sa.." kata Kak Mira sambil memegangi lengan Raissa. "Tidak ada yang menuduhmu mencuri Raissa,.. tapi memang faktanya selalu terjadi saat kau sedang bertugas. Bukan berarti kamu yang mencuri." Aditya menjelaskan dengan tenang. "Lalu, kenapa saya dipanggil kesini?" kata Raissa masih sedikit emosi dan bingung, karena Raissa berpikir seharusnya Aditya tau ia tidak mungkin mencuri. "Kamu pasti punya dugaan pelakunya kan?" tanya Aditya. Raissa menoleh pada Kak Mira. "Ada tersangka Sa?" tanyanya. "Ada sih kak, tapi saya tidak punya bukti."kata Raissa ragu. "Siapa Sa?" tanya kak Mira. Raissa terlihat ragu. "Mmm.. saya benar-benar tidak punya bukti, hany kecurigaan saja. Saya tidak ingin mencoreng nama baik seseorang hanya karena kecurigaan saya. Bagaimana kalau kita memasang jebakan saja? kalau memang benar terjadi selalu pada saat saya bertugas jaga malam, tiga hari lagi saya akan bertugas jaga malam kembali. Kebetulan formatnya juga sama, setidaknya format perawat dan dokter. saya tidak tahu apakah dari departemen lain masih sama atau tidak." kata Raissa. "Menurut saya usul Raissa bagus pak, saya bisa memasang cctv yang hanya berupa perekam gambar saja, tetapi tidak bisa dipancarkan saat itu juga seperti yang saat ini kita dapat lakukan. Jadi rekamannya hanya dapat kita lihat keesokan paginya. Alatnya bisa saya samarkan sehingga tidak terlihat seperti cctv. " kata Pak Rizal. "Setuju, silakan dilanjutkan prosesnya. Raissa, siapa yang kamu curigai?" tanya Aditya. Raissa terlihat ragu menjawab. "Baiklah semuanya, tinggalkan ruangan ini kecuali Raissa." kata Aditya tenang, Raissa tersedak. "Nanti kalau sudah selesai dari Pak Aditya, ceritakan ke aku juga ya, kutunggu dibawah, semangaat!!" bisik kak Mira sambil beranjak keluar ruangan. "Saya segera memproses rencana ini pak, Raissa mungkin besok pagi bisa ketemu dengan tim saya ya." kata Pak Rizal yang kali ini akhirnya memandang dan berbicara langsung pada Raissa. Raissa hanya mengangguk saja. Kak Mira dan Bu Ade sudah duluan keluar, diikuti pak Rizal. Pintu pun ditutup rapat. "Mas, apa-apaan sih mas! aku bukan pencuri tahu! walaupun aku bukan orang kaya tapi seumur-umur belum pernah mencuri!" seru Raissa kesal. "Eh, disini ada cctvnya tidak?" tanya Raissa kembali beberapa detik kemudian. Aditya hanya menggeleng sambil tersenyum. " Tenang sayang, disini tidak ada cctv, dan aku tidak menuduhmu! Aku tahu pasti bukan kamu yang mencuri." kata Aditya tenang. Kening Raissa berkerut, jangan-jangan..

"Mas sengaja ya? heeeemmm.. bilang aja kangen!" kata Raissa mulai jahil. Aditya hanya tersenyum. "Kangen sih tiap hari! pagi ini lagi kepingin ditemani olehmu saja. Nih..aku baru terima rekaman cctv parkiran gedung. Kita periksa sama-sama yuuk! Bosan kalau nonton sendirian.. temani yah Yang?" kata Aditya. "Astagaaa.. pasangan lain itu kalau kangen sama Yayangnya, ngajak nonton ke bioskop! masa ngajak nonton cctv!" kata Raissa sambil menahan tawa. "Yah mau gimana lagi Yang, bisa aja sih kita nonton film di laptopku, tapi nanti semuanya bertanya-tanya, ngapain kita disini dua jam berduaaan." kata Aditya. "Hehehehe... Curhat! namanya juga orang lagi curhat, sejam juga belum tentu kelar!" kata Raissa. "Kamu gitu emangnya? kalau lagi curhat? ngobrol berjam-jam?" tanya Aditya penasaran. "Mas gak pernah curhat memangnya?" Raissa malah balik bertanya, ia penasaran. "Pernah, tapi tidak pernah berjam-jam." kata Aditya. "Dasar cowok!!! Ya sudah ayo kita lihat cctv, supaya nanti kalau hubungan kita sudah resmi dan diketahui publik, minimal kita bisa bilang kalau kita pernah nonton bersama." kata Raissa. Aditya hanya tertawa lalu mencubit pipi Raissa gemas. "Aduuhh!!" Raissa menepuk tangan Aditya yang mencubit pipinya. Aditya menangkap tangan Raissa dan menarik gadis itu hingga terduduk dipangkuannya. "Aku suka cara berpikirmu, nanti kalau kita sudah resmi dan hubungan kita diketahui publik, kita bisa bilang kalau kita pernah menonton bersama dengan kau ada di pangkuanku." kata Aditya tersenyum senang. Pipi Raissa memerah, sudah dari tadi ia ingin berdiri, tetapi ditahan oleh lengan kuat Aditya. Sebenarnya dalam hatinya Raissa juga merasa senang bukan kepalang. "Ehhm.. kenapa kita harus menonton cctv mas Bram? Mas curiga apa?" tanya Raissa. "Kurasa ada yang menargetkan agar Bram celaka. Tapi aku tidak tahu siapa, semoga cctv bisa mendukung pendapatku. Kita percepat saja waktunya ya?"kata Aditya sambil menekan beberapa tombol di laptopnya. Terlihat gambar motor Bram yang baik-baik saja, lalu sekitar pukul 12.30 siang, terlihat seorang pria memakai Hoodie dan Jeans berjalan mendekati motor Bram. Ia menyayat kedua kabel rem motor Bram dan meninggalkan minyaknya menetes sendiri hingga kering. "Mas..itu bukannya.." kata Raissa sambil menutup mulutnya dengan tangan karena kaget. "Ya,.. buronan kita. Si topi biru kenalan lamamu. Ternyata belum selesai dia mengincar anak buahku." kata Aditya geram. Raissa melongo. "Mengapa ia menargetkan Bram?" kata Raissa bingung. "Aku juga tidak tahu, aku harus melaporkan ini pada Briptu Agus." kata Aditya dengan enggan. Walaupun Raissa talah memilih Aditya, ia tetap tidak suka kalau Briptu Agus tetap gigih mendekati Raissa. "Aku tidak perlu ikut kan? Aku malas bertemu dia " kata Raissa. Aditya tersenyum sambil membelai rambut Raissa. "Tidak masalah. Sebaiknya kamu pulang dulu dan istirahat sayang.." kata Aditya. " Baiklah kalau begitu, terimakasih atas ajakan nontonnya. Terlalu horror filmya!" kata Raissa bercanda. Aditya hanya tertawa sambil menyandarkan kepalanya pada punggung Raissa. "Ada-ada saja kamu Yang! Eh sebelum kamu sayang, ceritakan dulu siapa yang kau curigai mencuri?" tanya Aditya. "Oh iya, aku curiga pada Mona, hanya dia yang mempunyai kesempatan itu untuk melakukannya. Tapi aku tidak punya bukti Mas! Bagaimana kalau ternyata aku salah" rengek Raissa. "Tenang, waktu kau bertugas lagi nanti, pak Rizal pasti punya rencana yang bagus." kata Aditya. "Baiklah, aku pulang dahulu kalau begitu Mas!"kata Raissa sambil meremas tangan Aditya yang melingkari perutnya."Hati-hati dijalan sayang." kata Aditya dan memeluk Raissa dari belakang. Raissa kaget, tetapi tidak memberontak, ia hanya menenggelamkan dirinya dalam pelukan Aditya. "Mas juga ya, jaga dirimu, jaga kesehatan." bisik Raissa. Aditya melepaskan pelukannya. "Pulanglah, kamu harus ke kak Mira dulu kan sayang?" tanya Aditya. "Iya Mas, sampai ketemu ya, jangan lupa nanti malam telepon." kata Raissa. Aditya mengangguk. Raissa melambai lalu keluar dari ruangan. Dengan hati berbunga-bunga ia turun dan mencari kak Mira.