webnovel

Serangan Peni

Pagi itu Raissa berharap dapat pulang cepat supaya ia bisa beristirahat. Malangnya kenyataan jauh berbeda dengan harapan. Disaat Mona pulang tanpa beban, Raissa masih harus menghadap kak Mira, tentu saja menceritakan kecurigaannya pada Mona, walaupun saat ini Raissa masih belum punya bukti. Mira berpikir keras, sudah puluhan tahun ia menjadi kepala perawat. Sudah banyak pengalaman yang didapatkan Mira dalam hal anak buah yang suka mencuri, ada yang memang punya kelainan seperti kleptomania, atau yang mencuri karena kebutuhan atau memang sudah punya niat jahat dari awal. Kali ini diluar pengalamannya, mencuri dengan menggunakan teknologi. Sebelumnya,pencurian yang dilakukan mantan anak buahnya selalu beraksi seperti pencopet atau mengandalkan keahlian dan kelihaian dalam mencuri. Dan sejak adanya CCTV, kasus pencurian turun drastis menjadi nihil. Selain itu setiap calon karyawan baru sudah ditest psikotest dengan hasil yang direview oleh psikolog handal. "Raissa, aku akan berbicara dengan bagian lab dan radiografi supaya Barto dan Yuda bertugas kembali bersama denganmu, Mona dan dr. Dennis. Oya Pak Wani juga.. kita akan lihat 3 hari lagi. Dalam hal ini aku harus netral ya Sa, supaya bisa menilai dengan adil, jangan sakit hati ya? Kamu termasuk karyawan baru yang cemerlang, mudah disukai dan cekatan, dilain pihak, Mona juga sangat rajin meski masih banyak membutuhkan banyak bimbingan, kalian sama-sama disukai orang karena sifat kalian yang supel. Saat ini hanya rekaman yang dapat membuktikan siapa pelakunya.." kata Mira. "Mengerti kak, sekarang saya boleh pulang kak?" tanya Raissa sambil dalam hati mengomel pada Aditya yang sandiwaranya barusan turut membuat Raissa dicurigai oleh Mira walaupun Mira sudah berkata akan bersikap netral. "Tadi bicara apa lagi Sa, kok lama sekali baru kemari?" tanya Mira. "Lama ya kak? Rasanya tidak selama itu kok, pak Aditya hanya mengorek keterangan saja. Sama lah seperti kakak!" kata Raissa. Mira hanya menganggukkan kepalanya. "Baiklah, kalau tidak ada lagi kamu boleh pulang, istirahatlah." kata Mira. "Baik, terimakasih kak, sampai jumpa besok." kata Raissa pamit. Belum sempat keluar klinik, Raissa bertemu dengan Asya dan Peni. Jadi Raissa menceritakan dengan singkat kejadian semalam mengenai kecelakaan Bram, pencurian dompet Barto, panggilan Aditya pagi ini beserta rencana jebakan pencuri uang sampai ke si topi biru yang ternyata mencelakai Bram. Asya dan Peni terkejut. "Tapi kenapa? si topi biru sekarang makin random ya?" tanya Peni. "Sepertinya bukan itu Pen, Bram baru saja jadian dengan Liza. Walaupun sampai sekarang mereka belum terlihat bersama di klinik tetapi Bram tidak pernah merahasiakan hubungan mereka, bahkan cenderung membanggakan hubungan itu dan terkesan seperti ingin semua orang mengetahuinya. Apakah si topi biru tanpa sengaja mengetahuinya dari pembicaraan Bram sendiri?" kata Asya. "Wah betul juga Sya! Kenapa tidak terpikirkan olehku? Aku akan memberitahu Aditya. Hmm, tulis pesan saja deh, aku sudah tak ada alasan lagi untuk bertemu langsung dengannya hari ini. Huhuhu.. kadang aku iri dengan Liza dan Bram, mereka bisa saling menegur tanpa harus memperhatikan keadaan sekitar." gerutu Raissa. "Sabaarr, semua ada waktunya." kata Peni. "Tumben Pen, kesambet? biasanya kata-kata seperti itu keluarnya dari Asya." kata Raissa. Peni hanya meninju lengan Raissa. "Eh, itu yang bersama pak Aditya, Bukannya Briptu Agus? kenapa Brewokan begitu?" kata Asya. Raissa dan Peni menoleh. "Oh tidak, aku sudah tidak bisa kabur lagi, Briptu itu sudah melihatku!" bisik Raissa panik sambil menari jalan kabur dari koridor itu. "Sudah hadapi saja Sa, lihat Polisi itu sampai menarik Pak Aditya padahal sepertinya Pak Aditya berusaha menahannya agar tidak bertemu denganmu." kata Peni sambil tertawa kecil, Asya juga ikut cekikikan disamping Raissa, ia geli melihat usaha Aditya menahan gigihnya Briptu Agus yang ingin bertemu Raissa.

"Dek Raissa!!" teriak Briptu Agus dari kejauhan sambil menyeret Aditya bersamanya. Raissa tidak punya pilihan selain menghadapi Briptu Agus.

"Eh ada Briptu Agus!" kata Raissa tanpa semangat lalu melanjutkan menyapa Aditya sambil menggertakkan giginya, "Selamat pagi Pak Aditya." Aditya hanya menganggukkan kepala tanpa berkomentar, ia kesal tak berhasil menahan Briptu Agus menemui Raissa. "Pagi Briptu dan Pak Aditya, tumben kemari? sudah ada perkembangan kasus penyerangan Liza?" kata Asya mencairkan suasana. "Justru itu, saya kemari karena ada petunjuk baru dari Pak Aditya." Briptu Agus menjelaskan sambil menunjuk Aditya, lalu matanya berpaling pada Raissa, "Dek Raissa, nanti pulang jam berapa? Abang antar ya?"

"oohhh.. tidak perlu repot-repot pak, saya harus pulang sekarang, lelah habis shift malam. Saya permisi duluan ya? Asya, Peni sampai ketemu di rumah, Pak Aditya saya permisi ya.. Mari Briptu saya duluan!" seru Raissa dan langsung mengambil langkah seribu keluar dari sana. "Yah Dek.. tunggu.. yaahh kok pergi.." Briptu Agus menurunkan bahu kecewa. "Ehem.. Briptu, mari ikuti saya, masih ada pekerjaan menanti." kata Aditya sambil berdeham. Keduanya pun meninggalkan Asya dan Peni yang masih tersenyum-senyum simpul. "Ya ampun Babang Briptu.. brewokan gitu makin ganteng deh! sayang matanya ngikutin Raissa terus!" gerutu Peni sambil menatap kepergian Briptu Agus. "kejar Pen!!! Semangaat!!" kata Asya. "Semangaat!!!" kata Peni sambil cekikikan dan keduanya melanjutkan pekerjaan mereka kembali.

Sementara itu Aditya dan Briptu Agus melihat rekaman cctv yang diterima Aditya dari gedung parkir. "Benar itu buronan kita!" seru Briptu Agus, lalu ia mengerutkan kening, "Mengapa korban menjadi target? menurut tim kami saat ini tersangka sangat terobsesi dengan korban pertama yaitu Liza. Ini melenceng dari pola!"

"Tidak juga Briptu, Baru-baru ini Bram baru saja meresmikan hubungannya dengan Liza dan tidak pernah menyembunyikannya. Saya juga heran bagaimana si topi biru bisa tahu, dugaan saya adalah ia tidak sengaja mendengar beritanya dan marah pada Bram." kata Aditya. Briptu Agus tidak menjawab, keningnya makin berkerut. "Firasat saya mengatakan bukan itu alasannya, tapi saya akan mencoba bicara dengan korban. Boleh saya minta alamat dan nomor teleponnya?" tanya Briptu Agus. Aditya yang sudah menyiapkan informasi tersebut di selembar kertas langsung memberikannya pada polisi yang berdiri dihadapannya. Briptu Agus mengamatinya. "Baiklah, aku akan mengunjunginya sekarang. Tolong beritahukan seluruh karyawan Bapak, agar berhati-hati mulai dari sekarang, Apalagi kalau membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Liza." kata Briptu Agus lalu ia pun pamit dan beranjak keluar ruangan Aditya. Aditya melipat tangan di depan dada. Otaknya ikut berpikir, firasatnya juga mengatakan kalau ada yang salah. Aditya mengeluarkan ponselnya dan mencari nomor Bram lalu meneleponnya. "Ya pak Aditya" sahut Bram. "Hai Bram, bagaimana kondisimu?" tanya Aditya. "Ya begitulah pak, pegel linu sana sini pak, njarem!!" kata Bram. "Semoga cepat sembuh ya!" kata Aditya. "Terimakasih pak, repot-repot ni pak sampai menelepon segala." kata Bram yang sebenarnya bingung juga, tumben tumbenan Aditya menelepon segala. "Ya aku meneleponmu untuk memberitahu bahwa Briptu Agus sedang menuju rumahmu, apa dia sudah menelepon?" tanya Aditya. "Briptu Agus? belum pak, ada apa ya? kenapa polisi itu mau ke rumah saya? apa terjadi sesuatu pada Liza?" tanya Bram agak panik. "Tenang, Liza aman, sekarang kamu yang sedang tidak aman Bram, semalam aku meminta rekaman cctv gedung parkir, ternyata yang menyabotase motormu sehingga kau kecelakaan adalah si topi biru. Pura pura kaget saja kalau Briptu Agus memberitahumu yah!" kata Aditya. Bram terhenyak. "Si topi biru??!! Mengapa?" tanya Bram bingung, lalu ia menepuk jidatnya. "Hubunganku dengan Liza!! Ini salahku sendiri!!" ujarnya kemudian. "Bukan! Tidak usah merasa bersalah! orang itu yang gila. Masalahnya, aku heran bagaimana si topi biru bisa mengetahui hubunganmu? Kamu saja belum pernah terlihat bersama Liza di klinik, selain itu si topi biru tidak pernah terlihat di sekitar klinik, penampakan pertamanya di sekitar gedung adalah ketika sedang menyabotase motormu. Di RS pun begitu ketat pengamanannya. Dimana lagi kamu membicarakan mengenai hubunganmu dengan Liza?" selidik Aditya. "Tidak dimana-mana lagi pak, hanya pada teman teman di klinik saja, yang mengenal kami berdua." kata Bram sambil berpikir. "Sebentar,.. beberapa hari lalu,.. Seharusnya saya makan siang bersama Raissa, Peni dan Asya, tetapi hanya Raissa saja yang akhirnya makan siang bersama karena Asya dan Peni sedang ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Kami makan di warung gado-gado, disitu saya bercerita pada Raissa. Tapi seingat saya warungnya sepi. Hanya disana saja saya membicarakan mengenai hubungan saya dengan Liza diluar gedung pak. Menurut bapak apakah si topi biru mendengar disana?" tanya Bram. "Hmm, kemungkinan besar iya, coba kamu ingat-ingat lagi sekeliling mu Bram, aku juga akan bertanya pada Raissa, ceritakan pada Briptu Agus juga. Sementara itu, jaga mulutmu dulu, si topi biru masih bebas berkeliaran, jangan menyinggung Liza di tempat umum. Saya juga akan memberitahu karyawan lain." kata Aditya. "Baik pak, terimakasih banyak sudah memberitahu saya, setidaknya saya nanti tidak terlalu kaget dengan kedatangan Briptu Agus." kata Bram. Lalu Aditya mengakhiri pembicaraan. Bram makan siang bersama Raissa? Ada sedikit rasa cemburu dalam hati Aditya,tetapi ditepisnya, mereka hanya berteman, lagipula tadinya mereka akan makan berempat, bukan direncanakan hanya berdua saja. Sepertinya ia mempunyai alasan lagi untuk menelepon Raissa. Apakah gadis itu sudah sampai di rumah? sudah tidur kah? Ditekannya nomor telepon Raissa. Teleponnya berdering tetapi tidak diangkat. "Mungkin sudah tidur, kelihatannya semalam sangat melelahkan, belum lagi pagi ini ia jadi pulang telat karena kasus uang hilang." pikir Aditya. Akhirnya Aditya memutuskan akan menelepon kembali siang nanti. Aditya segera memanggil Bu Ade, menceritakan versi singkat temuannya dan memintanya membuat pengumuman untuk seluruh kepala departemen. Lalu mereka yang akan meneruskan kepada anak buah masing masing-masing. Bu Ade segera mengerjakan tugasnya, siang itu klinik kembali gempar. Semuanya membicarakan insiden Bram dan hubungannya dengan Liza. Pada saat makan siang semua karyawan memilih makan di dalam gedung daripada keluar. Mereka hanya membeli dan membungkusnya lalu memakan pesanan mereka di departemen masing-masing. Dengan begitu mereka yakin apapun yang mereka bicarakan tidak akan sampai ke telinga orang luar.

Raissa terbangun dari tidurnya pukul 4 sore, itupun matanya masih terasa berat. Urusan jaga malam ini sepertinya menguras tenaganya, mungkin ia harus mengurangi jadwal jaga malamnya, keseringan jaga malam sepertinya tidak baik untuk kesehatan. Raissa ingat ketika masih berkuliah dulu beberapa almamater mereka datang untuk berbagi pengalaman kepada adik-adik kelas. Salah satunya mengatakan, "Jaga malam itu uangnya besar, tapi jangan senang dulu, itu tabungan, untuk berbagai macam penyakit yang akan muncul kemudian." Dulu Raissa tidak mengerti, sekarang Raissa mulai paham. "Tapi aku kan masih muda, waktunya mencari uang hehehehe!" kata Raissa pada dirinya sendiri. Diliriknya ponsel pinjaman dari Aditya. Ia melihat ada beberapa panggilan tak terjawab dan beberapa pesan. Panggilan tersebut berasal dari Aditya dan Briptu Agus. Raissa mengerutkan kening. Dilihatnya pesan yang masuk. Tentu saja yang dibacanya dari Aditya terlebih dahulu, walaupun Aditya hanya menuliskan satu pesan dibandingkan Briptu Agus yang sepertinya mengirimkan pesan dan menelepon tiap jam. "Hei putri tidur kesayangan, masih tidur ya? Mau dikecup supaya bangun tidak? hehehehe.. bercanda. Kabari aku kalau sudah bangun ya? selamat istirahat sayangku." tulis Aditya. Raissa tersenyum lalu membalas. "Mau.. mana? hehehe.. baru bangun ni mas! cuapeeekk banget semalam. Bulan depan aku mau kurangi jadwal jaga malam ku ah.. capek juga kebanyakan jaga." lalu Raissa menekan tombol kirim. Setelah itu ia melihat pesan dari Briptu Agus yang intinya menanyakan kapan ia bisa di telepon. Ternyata Briptu Agus datang dan mengetuk rumahnya sekitar pukul tiga tadi. Untungnya Raissa tertidur lelap sehingga tidak terbangun. Raissa heran biasanya Briptu Agus tidak persisten seperti itu. Pasti ada sesuatu. Tiba-tiba ponselnya berdering kembali, kali ini Aditya yang menelepon. " Mmmuuaah!! tuh sudah.." kata Aditya begitu Raissa tersambung. "Hahahaha..Wah, gak kerasa mas!" kata Raissa sambil tertawa. "Eh Mas, Briptu Agus nelponin aku terus tiap jam ternyata, lalu jam 3 tadi ternyata datang ke rumah, tapi akunya ketiduran dan tidak dengar hihihih.. ada apa ya? kayak buronan aja aku dicari-cari." kata Raissa. "Iya pasti karena laporan Bram pagi ini, singkatnya begini sayang, sepertinya terakhir kali kau makan siang dengan Bram di warung gado-gado itu, si topi biru mendengar percakapan kalian. Karena hanya waktu itu saja Bram bercerita tentang hubungannya dengan Liza di luar lingkungan klinik." kata Aditya menjelaskan. "Hmmm tapi waktu itu warungnya sepi, hanya ada pemilik warung dan kami, kami juga bicaranya tidak teriak-teriak juga loh Mas, tapi tidak bisik-bisik juga sih.. hmm kemungkinan yang mendengar adalah si mbak pemilik warung gado-gado. Jangan-jangan dia kaki tangan si topi biru Mas!" seru Raissa. "Entahlah, aku merasa ada yang janggal, tetapi tidak tahu apa. Coba kamu bicara dulu dengan penggemarmu dari kepolisian itu." kata Aditya. "Ih apa sih mas, cemburu yaa? aku kirim pesan saja deh sama Briptu, kalau aku telpon balik nanti besar kepala dia." kata Raissa. "Hahaha, aku malah lebih cemburu sama Bram yang bisa makan siang berdua denganmu tanpa takut harus terlihat orang lain, apesnya saja pembicaraan kalian didengar si topi biru disana." kata Aditya sambil tertawa. "Wah ide bagus tuh, kita makan sama-sama lagi yuk mas, tidak usah ke restoran mewah. Piknik yuukk? cari tempat yang sepi. Gimana?" tanya Raissa. "Boleh juga, mau kemana memangnya?" tanya Aditya. "Belum tahu, nanti aku cari-cari dulu ya mas." kata Raissa. "Oke sayang, sudah kabari dulu si Briptu, biar segera selesai urusan si topi biru." kata Aditya. "Siap Bos!" seru Raissa. "Aku ada rapat lagi, sudahan dulu ya sayang, jangan terlalu dipikirkan masalah si topi biru. aku Sayang kamu, bye!" kata Aditya. "Oke Mas, aku juga sayang Mas! Bye!" kata Raissa lalu menutup sambungan telepon mereka. Belum sempat Raissa membalas pesan Briptu Agus, orangnya sudah menelepon duluan. "Selamat sore dek Raissa, baru bangun ya? maaf Abang ganggu ya dek. Tadi Abang kesana tapi tidak ada yang menjawab." cerocos Briptu Agus. "Oiya Briptu, saya masih tidur tadi, baru bangun, ada apa Briptu?" tanya Raissa. " Ya, Abang mau menindaklanjuti laporan mengenai kecelakaan yang disebabkan oleh buronan kita pada Pak Bram. Menurutnya terakhir kali ia membicarakan hubungannya dengan Nona Liza adalah saat sedang makan siang bersama Dek Raissa. Karena itu saya ingin meminta keterangan dari Dek Rissa, bisa bertemu sebentar? kebetulan Abang sedang ada di lantai bawah ini." kata Briptu Agus. "Hah? sekarang? adduhh.. saya lagi sendirian Briptu, apa tidak ada tempat lain yang lebih ramai begitu?" kata Raissa agak enggan. "Oh Abang lihat dua teman adek sedang akan naik, Abang bersama mereka saja ya? jadi adek nanti tidak perlu sendirian." kata Briptu Agus sambil nyengir menang. " oh begitu, ya baiklah kalau begitu, lebih cepat selesai lebih baik bukan, daripada ditunda-tunda?" kata Raissa agak kesal dan merasa terjebak. "Betul dek, sampai ketemu diatas ya." kata Briptu Agus lalu memutuskan hubungan telepon mereka. Raissa menggerutu tidak jelas dan sambil menghentakkan kaki berjalan ke arah dispenser untuk mengambil segelas air untuk melegakan tenggorokannya yang tiba-tiba tercekat. Raissa malas repot repot cuci muka menyambut Briptu Agus, ia hanya mengganti pakaian tidurnya yang tipis dengan kaos polo dan celana panjang, lalu mengikat rambutnya ke belakang supaya tidak berantakan. Pintu ruang tamu terbuka dan tampaklah Peni dan Asya masuk dengan muka bingung. "Sa, ada tamu. Eh kamu sudah tahu" tanya Asya melihat Raissa sudah rapi walaupun mukanya masih muka bantal. "Iya barusan Briptu telepon ada yang mau ditanyakan. Tadinya mau ku usulkan di tempat lain saja, tidak enak hanya berdua disini, tapi katanya kalian juga datang, ya sudahlah tak apa, biar cepat selesai. Temani aku ya?" pinta Raissa. "Baiklah, Pen.. temani Raissa dulu ya, aku akan buatkan minuman dan camilan." kata Asya, dan memang sudah khas Asya yang selalu menjamu tamu, walaupun tamu yang tidak diinginkan. Peni langsung duduk di samping Raissa sambil tersenyum manis ke arah Briptu Agus. Berbanding terbalik dengan Raissa yang muka bantal dan agak cemberut. "Apa kabar Briptu? lama tidak bertemu, semoga sudah ada titik terang untuk menemukan si topi biru." kata Peni. "Yah begitulah Bu Peni, makanya saya kesini salah satu alasannya adalah mencari bukti dan petunjuk." kata Briptu Agus. "Aduuh jangan panggil ibu ahhh.. saya ini umurnya cuma dua tahun diatas Raissa looh, masa Raissa dipanggil adek kalau saya ibu. Saya kan masih tetap lebih muda dari Briptu, jadi dipanggil adek juga dong.." protes Peni. "Ah iya maaf Dek Peni." kata Briptu Agus. "Naahhh gitu dong! kalau begitu kan saya bisa panggil Briptu Abang.. ya kan Bang?" lanjut Peni. Briptu Agus mulai salah tingkah, "Ah. iya Dek Peni, panggil Abang saja, boleh.. boleh."

"Asyiikk, makasih ya Bang, Peni tidak punya Abang soalnya, senangnya sekarang Peni punya Abang, di kepolisian pula, pasti senang kalau dijaga Abang ya?" kata Peni dengan tatapan penuh arti. Tak disangka muka Briptu Agus mulai bersemi merah. "Ah.. iya Dek.." ucapnya pelan dan salah tingkah. Raissa ingin tertawa tetapi ditahannya. Sedangkan Peni makin mempercepat jarak kursi yang ditempatinya dengan Briptu Agus. Pujian dan kata-kata manis mengalir keluar dari mulut Peni yang membuat Briptu Agus semakin terpojok dan makin salah tingkah. Raissa mulai merasa seperti nyamuk atau lalat penganggu, ia sedang berdebat dengan dirinya apakah sebaiknya ditinggalkan saja Peni dan Briptu Agus berdua atau tidak, belum sempat beranjak dari kursinya, Asya sudah datang membawa nampan berisi es Teh lemon dan pisang bakar coklat keju. Raissa kagum akan kecepatan Asya membuatkan kudapan sedap hanya dalam waktu 10-15 menit saja. Harusnya Asya ikut lomba masak, pikir Raissa. "Silahkan dicicipi." kata Asya. Peni langsung gerak cepat mengambilkan makanan dan minuman untuk Briptu Agus bahkan sebelum Briptu Agus mengucapkan terimakasih. Raissa dan Asya hanya bisa menahan tawa. "Jadi apa yang ingin Briptu tanyakan?" tanya Raissa setelah Briptu Agus mencicipi kudapan yang disediakan Asya. Briptu Agus memulai ceritanya dari insiden Bram yang tertangkap cctv hingga kesaksian Bram yang menyatakan hanya pernah membicarakan mengenai hubungannya dengan Liza saat bersama dengan Raissa saja di warung gado-gado. "Ooh aku ingat!! seharusnya kita bertiga makan bersama ya Sa? tapi Asya pergi ke kedukaan, aku sedang ada pasien sehingga aku nitip ke kamu gado-gado dan es podeng ya Sa?" kata Peni. "Benar Pen." jawab Raissa. "Wah coba aku ikut waktu itu, pasti langsung kulihat si topi biru, mustahil aku bisa melupakan wajahnya!" seru Peni. "Saat ini wajahnya sudah bukan rahasia lagi, tetapi identitasnya. Kami berharap kalau Dek Raissa dapat mengingat posisinya dimana, sedang apa, mungkin kita bisa menelusuri dimana ia tinggal. Selama ini dia seperti hantu, datang dan pergi tanpa ada yang tahu. Tiba-tiba sudah berulah." kata Briptu Agus. Raissa mengerutkan kening, menutup mata dan mencoba mengingat-ingat. Sekeras apapun ia mencoba tetap saja tidak teringat ada yang janggal. "Aduh maaf Briptu, saya tidak melihat apa-apa saat itu.. saya hanya makan siang di warung gado-gado yang sepi, bercanda dengan Mas Bram, lalu setelah itu berpisah karena harus membeli es podeng untuk Peni.Seingat saya tidak ada yang salah. Orang-orang berlalu lalang seperti biasa saja. Tidak ada yang aneh. Bagaimana dengan si mbak gado-gado? hanya dia yang berada dalam jarak pendengaran pembicaraan kami saat itu. Mungkin si mbaknya punya hubungan dengan si topi biru." kata Raissa. " Ya, kemungkinan itu juga ada dek, Abang akan mewawancarainya besok pagi." kata Briptu Agus. "Perlu ditemani tidak Bang? Abang sudah tahu tukang gado-gadonya yang mana?" tanya Peni. "Ehm.. tidak usah dek Peni, Abang sudah tahu kok.. Abang permisi dulu ya, masih ada pekerjaan di kantor. Terimakasih jamuannya Bu Asya, Dek Raissa, Dek Peni.. permisi." kata Briptu Agus lalu segera kabur dari sana sebelum dirinya dipepet Peni lagi. Setelah Briptu Agus menghilang, ketiga gadis itu tertawa terbahak-bahak. "Gimana? mantap kan seranganku?" kata Peni sambil berkacak pinggang. "Mantap banget Pen, Briptu Agus sampai salah tingkah begitu wahahahhaha!!!" seru Raissa sambil terus tertawa. "Terus dia kabur lagi, bisanya kita susah banget ngusir dia!!" kata Asya sambil geleng-geleng kepala. "Yang aku lebih suka lagi, tidak sekalipun Briptu mencoba mengajakku makan, pergi kerja bareng atau apalah.. dia sibuk menangkis serangan Peni!! hebat Pen!!" kata Raissa sambil mengacungkan jempolnya. "Hehehhe, itu belum seberapa! tunggu kejutan berikutnya! Briptu Agus, bersiaplah! Tak lama lagi kau akan takluk padaku mwahahahahah!" seru Peni. "Waduh serem juga Peni kalau sudah bertekad ya Sya?" bisik Raissa pada Asya. Asya hanya mengangguk sambil tertawa geli. "Ngomong-ngomong, kita video call Liza yuk, sudah lama tidak bicara, pasti dia sedang sangat khawatir dan merasa bersalah sekarang." kata Raissa. "Setuju!" kata Peni dan Asya. Dan merekapun mengobrol dengan Liza melalui video call hingga larut malam.