webnovel

Rache

Puncak dari rasa sakit adalah kehilangan. Namun, Puncak dari kehilangan itu sendiri adalah mengikhlaskan. Tuhan sudah merencanakan takdir manusia. Siapapun tidak bisa lepas darinya sejauh apa ia pergi dan sejauh apa dia berlari. Aksara tau, tuhan sudah melukiskan sebuah takdir dengan apiknya jauh sebelum ia lahir. Tapi bisakah ia mengeluh? Bisakah ia berkeluh kesah pada tuhan. Aksara tau, banyak orang yang lebih buruk keadaannya dibandingkan dirinya. Tapi untuk saat ini, tolong biarkan Aksara mengeluh sekali saja. Tuhan memang maha baik, jadi tolong ijinkan ia mengeluh. Meratapi apa yang sudah terjadi. Hidupnya yang sudah mulai tertata, bak bangunan megah dengan pilar pilar tinggi menjulang, roboh dalam satu kedipan mata. Semuanya pergi satu persatu. Meninggalkan Aksara dalam sendu sembiru badai gelombang kehidupan yang mungkin tak berkesudahan.

Eshaa_ · Realistic
Not enough ratings
312 Chs

kilas balik

Aksara malas bersosialisasi. Atau sebenarnya anak itu mempunyai kepribadian introvert. Tidak nyaman jika berada diantara banyak orang. Bukan, Aksara bukan anti sosial seperti yang kebanyakan orang katakan.

Aksara hanya malas, dan tidak terlalu suka basa basi. Maka dari itu ia reflek aja menjawab ketus ketika seseorang berbasa basi dengannya.

Bahkan ketika menginjak usia remaja. Sikap acuh tak acuh Aksara masih melekat membuatnya tidak mempunyai teman. Tidak apa toh teman juga tidak berpengaruh banyak dalam hidupnya—adalah pemikiran Aksara saat itu.

Hingga seorang siswa bernama Agam Maheswara, berkulit pucat dengan tubuh semampai dan senyum lebar menawan meyapa Aksara dengan riang.

Saat itu hari pertama mereka menduduki bangku sekolah menengah atas. Aksara memang sejak awal tidak peduli, pemuda itu duduk sendirian di sudut kelas dengan wajahnya yang datar nan masam. Siapa yang tidak takut bukan? Tapi Agam berbeda.

Pemuda itu menyapa Aksara dengan riang. Meminta ijin untuk duduk di samping Aksara. Si Adyatma hanya mengangguk acuh tak acuh, wajahnya datar tak tersentuh namun Agam seakan tidak terganggu akan hal tersebut.

"Lo orang sini?"

"Iya,"

"Wah gue pindahan dari Surabaya. Ikut bokap sih pindah dinas. Padahal udah enak di sana," jelas Agam antusias.

Aksara menoleh sejenak sebelum mengangguk tidak berminat, "Oh,"

"Mau jadi temen gue nggak?"

"Nggak butuh temen,"

Agam menaikkan sebelas alisnya bingung, "Nih lo gue kasih tau. Temen itu perlu. Temen itu tempat di mana kita butuh bantuan. Kalo kita kepepet kan minta tolongnya sama temen. Ngutang misalnya,"

"Oh gitu,"

"Iya. Oh kenalin gue Agam Maheswara,"

"Nggak tanya,"

"Nama lo siapa?"

"Aksara,"

"Kaya nama cewek," gumam Agam namun masih dapat di dengar oleh sosok di sampingnya.

Aksara mendengus, "Gue cowok dan Aksara bukan nama cewek,"

"Aksara itu umum bisa buat cowok atau cewek. Tapi kalo pertama kali denger pasti ngiranya cewek sih,"

"Serah,"

"Lo emang senewen gitu ya Sa?"

Aksara berdehem, lebih memilih memainkan ponselnya tanpa perlu mendengarkan ocehan kawan sebangkunya itu. Terlebih masih pukul tujuh kurang, guru pembimbing yang bertugas untuk memberikan informasi lebih lanjut mengenai kelas tetap mereka belum tiba.

"Tapi gue liat liat muka lo mirip Dilan,"

Aksara menoleh lalu mengangguk, "Gue emang mirip Dilan,"

"Jago ngardus lo?"

"Nggak,"

"Nggak mungkin juga sih. Soalnya lo sad boy vibes banget,"

***

Aksara tersenyum kecil kala sekelebat bayangan tentang pertemuan pertamanya dengan Agam terlintas. Belum lama, kira kira setahun yang lalu. Sungguh tidak terasa. Dan sekarang, Agam terlah bergi. Menjemput kebahagiaan yang abadi.

Nathalie menggenggam jemari Aksara. Tersenyum menenangkan dalam wajahnya yang sembab. Pemuda itu balas tersenyum simpul. Tatapannya berubah lurus pada sosok yang terbaring di tengah ruangan, di kelilingi orang orang yang membacakan ayat suci al-qur'an berpadukan isakan dan raungan beberapa pihak.

Aksara menoleh menatap ke sudut ruangan, ibu Agam tampak paling terpukul akan kepergian putra semata wayangnya. Mungkin merasa bersalah karena terlalu sibuk hingga tidak terlalu memperhatikan pemuda berkulit pucat itu. Aksara juga dapat melihat Anya dengan wajah sembabnya di samping tubuh Agam yang terbujur kaku, menangis meraung-raung bahkan sempat pingsan beberapa kali.

Rumah besar ini, Aksara pernah beberapa kali datang ke sini. Tapi tidak pernah menyangka kunjungannya kali ini tidak sekadar untuk main atau belajar bersama Agam. Rumah yang biasanya sepi itu kini ramai. Orang orang tampak menggumamkan bela sungkawa. Suasana berkabung tampak jelas dengan warna monokrom mendominasi.

Genggaman tangan Nathalie mengerat sontak mengundang tatapan bertanya sosok di sampingnya, "Maut memang nggak ada yang tau ya Sa," gumam gadis itu tanpa menoleh.

Aksara mengangguk tanpa suara, mengusap punggung tangan Nathalie dengan ibu jarinya, "Semalem aku masih telfonan sama Agam. Dia udah berandai andai kalo dia pergi," ia menunduk sedih, "Kalau aja aku tau kalo itu terakhir kali aku telfonan sama dia—"

"Nggak ada yang perlu di sesali Sa. Semuanya udah terjadi. Agam udah bahagia sekarang. Tugas kita hanya mendoakan saja. Kamu udah jadi teman terbaik buat dia. Kamu yang nolongin dia. Kamu yang nemenin dia di saat terakhirnya,"

"Aku merasa bersalah karena nggak bisa lakuin apapun buat dia Nath,"

"Agam pasti bangga banget sama kamu Sa. Inget nggak waktu kamu akhirnya mau temenan sama dia? Dan dia saking bangganya nyaris pamer ke satu sekolah?"

Aksara terkekeh, mengangguk ringan. Otaknya kembali bernostalgia, pergi ke masa setahun silam. Begitu bodoh dirinya sempat mengacuhkan sosok sebaik Agam.

"Agam bangga banget sama kamu. Apapun yang kamu lakuin dia pasti bangga,"

"Dia temen pertamaku Nath," tatapan Aksara menerawang jauh, "Dia yang merubah pandanganku tentang pertemanan,"

"Agam orang baik. Dia pasti punya tempat tersendiri di sana,"

"Iya. Senakal-nakalnya Agam dia nggak pernah telat ibadah. Bahkan selalu dengerin khutbah," balas Aksara, "Walaupun habis sholat jumat bawa balik sepatu adidas padahal berangkatnya pakai sendal swallow,"

Nathalie terkekeh, "Agam boleh pergi. Tapi kenangannya nggak akan pernah hilang. Kita simpen ya,"

"Iya. Aku janji sama Agam buat nggak lupain dia. Bahkan sampe aku nyusul dia pun aku nggak akan lupa Nath," gumam Aksara.

Nathalie mengangguk mengiyakan.

"Padahal kita punya rencana besok mau besuk kamu. Tapi ternyata tuhan punya rencana lain. Justru kamu yang datengin Agam ya," lirih pemuda itu, "Aku bahkan belum sempet ngasih oleh oleh yang dia pesen buat mamanya,"

Nathalie kembali tersenyum menenangkan, "Kalau gitu kasih bakpianya ke mamanya Agam. Lakuin apa yang Agam minta ke kamu,"

"Dia bahkan masih inget Anya waktu dia mau pergi,"

"Agam sayang banget sama Anya,"

"Ya. Agam bukan kaya kebanyakan cowok di luar sana yang suka gonta ganti cewek. Agam itu beda. Dia setia,"

"Aku tau. Aku tau sebucin apa dia sama Anya,"

Hening beberapa saat. Keduanya memilih membisu, mendengarkan lantunan ayat-ayat dalam surah yaasin yang di kumandangkan beberapa orang untuk Agam.

"Kata ibuk, puncak kesedihan adalah kehilangan," gumam Aksara, "Dan hal paling menyakitkan dalam kehilangan itu adalah mengikhlaskan,"

"Hal yang paling sulit itu mengikhlaskan Sa,"

"Ya, aku baru tau itu sekarang,"

"Orang orang mungkin cuma bilang yang ikhlas ya. Tapi mereka nggak tau, ikhlas tidak sesederhana itu. Bahkan sesuatu yang begitu sulit di lakukan,"

Aksara mengangguk membenarkan, "Tugasku hanya cukup mengikhlaskan. Tapi kayanya aku butuh waktu lama,"

"Kamu nggak perlu melupakan Agam. Kamu hanya perlu berdamai dengan kenangannya. Agam sudah bahagia. Udah nggak perlu lagi merasakan sakit di dunia ini. Agam udah bebas. Agam udah bahagia Sa,"

"Iya,"

"Kamu juga harus bahagia buat Agam,"

"Kalau gitu...," Aksara yang awalnya menunduk kini mendongak, menyelami manik karamel yang redup milik Nathalie, "...mau jadi alasanku untuk bahagia setelah keluargaku Nath?"

Nathalie masih setia dalam senyumnya, gadis itu mengangguk samar, "Kamu juga alasanku buat selalu bahagia Aksa. Aku bakalan seneng kalau kamu mau jadiin aku alasan kamu bahagia," bisiknya pelan.