webnovel

Rache

Puncak dari rasa sakit adalah kehilangan. Namun, Puncak dari kehilangan itu sendiri adalah mengikhlaskan. Tuhan sudah merencanakan takdir manusia. Siapapun tidak bisa lepas darinya sejauh apa ia pergi dan sejauh apa dia berlari. Aksara tau, tuhan sudah melukiskan sebuah takdir dengan apiknya jauh sebelum ia lahir. Tapi bisakah ia mengeluh? Bisakah ia berkeluh kesah pada tuhan. Aksara tau, banyak orang yang lebih buruk keadaannya dibandingkan dirinya. Tapi untuk saat ini, tolong biarkan Aksara mengeluh sekali saja. Tuhan memang maha baik, jadi tolong ijinkan ia mengeluh. Meratapi apa yang sudah terjadi. Hidupnya yang sudah mulai tertata, bak bangunan megah dengan pilar pilar tinggi menjulang, roboh dalam satu kedipan mata. Semuanya pergi satu persatu. Meninggalkan Aksara dalam sendu sembiru badai gelombang kehidupan yang mungkin tak berkesudahan.

Eshaa_ · Realistic
Not enough ratings
312 Chs

agam

Aksara membuka matanya ketika mobil Mas Yudhis berhenti mendadak. Kepalanya membentuk jok depan cukup kencang membuat sang empunya meringis, "Kenapa sih Jun?" tanyanya pada Arjuna yang duduk di balik kemudi.

"Itu motor dua di depan ugal ugalan bener," jawab Arjuna jengkel.

Aksara kemudian menatap ke depan, benar saja dua kendaraan bermotor tepat di depan mobil sang kakak memang terlihat ugal ugalan. Tapi jika di lihat lebih detail, tampak seperti kejar kejaran dengan kecepatan begitu tinggi.

Mata pemuda itu menyipit, seperti mengenali motor besar berwarna merah mencolok di depan sana, "A—agam?" gagunya, "Mas, Agam Mas—! Agam di kejar Agam mas," serunya panik.

Mas Abim di sampingnya menoleh, "Itu yang di depan Agam temen lo itu?"

"Iya mas gimana," pekiknya.

Mas Yudhis ikut menoleh, "Seyakin itu lo kalo dia di kejar?"

"Dia di kejar anak-anak geng akhir akhir ini. Yang ngejar itu pasti anak geng. Mas gimana," Aksara menggigit pipi bagian dalamnya khawatir, jalanan memang tak terlalu ramai. Tapi tetap saja beresiko.

"Lo suruh aja si Agam minggir. Biar kalo yang belakang macem macem bisa kita tolongin," jawab Mas Yudhis tenang, "Jangan panik,"

Aksara menangguk, pemuda itu membuka lebar kaca mobil sebelum mengeluarkan setengah badannya dari sana. Mas Abim memekik kaget diikuti teriakan Mas Yudhis, "Nggak gitu juga Sarah,"

Aksara tidak peduli, ia menarik napas panjang sebelum berteriak lantang, "AGAM MINGGIR AGAM. JANGAN UGAL UGALAN BISA JATOH LO BODOH! BURUAN MINGGIR,"

"AKSA GUE—ARGHH" teriakan Agam terhenti ketika motor di belakangnya dengan sengaja menabrak pemuda itu sehingga sang empunya terlempar setinggi satu meter hingga helm yang di pakainya pecah terbelah saat tubuhnya menyentuh tanah, Agam berguling guling hingga kepalanya membentur pembatas jalan.

Namun seakan tidak puas, sang pelaku yang juga jatuh tersungkur melangkah tertatih mendekati Agam yang merintih, menusukkan sebuah pisau lipat pada perut sang korban. Pekikan nyaring Agam kembali terdengar.

Aksara merasa tubuhnya membeku seketika. Peristiwa di hadapannya begitu mendadak hingga ia tidak bisa berpikir jernih. Arjuna tanpa pikir panjang menepikan mobil Mas Yudhis.

Napas Aksara tercekat, raganya seakan di paksa keluar dari tubuhnya.

"Sarah," teriak Mas Abim seketika kembali menyadarkan sang adik.

Dengan napas memburu, Aksara melompat turun dari mobil, mendekati Agam yang tergeletak tak berdaya dengan tubuh bersimbah darah, "Agam sadar Gam,"

"A—Aksa...," tanpa di duga, Agam tersenyum lemah. Tangannya mengusap bahu sahabatnya, "M—makasih....,"

Aksara merasakan pandangannya memburam, air matanya mengalir derah tanpa perlu di cegah "Kita ke rumah sakit sekarang. Lo bertahan ya Gam," ujarnya, membiarkan Mas Abim, Mas Yudhis, dan Arjuna membawa tubuh tak berdaya Agam memasuki mobil.

Aksara melangkah mengikuti di belakang, pikirannya kosong. Air matanya kembali mengalir deras, namun ia tidak ingin bertindak bodoh sekarang.

Aksara memasuki mobil, membawa kepala Agam untuk tertidur di pangkuannya, "Tahan sebentar ya,"

Agam merintih, tapi masih mempertahankan senyumnya, "M—makasih...makasih udah bantuin gue—uhuk," seteguk darah di muntahkan oleh Agam hingga mengundang pekikan ngeri Aksara.

"Tahan sebentar, bentar lagi kita sampe. Tahan Gam," suara Aksara bergetar, menatap Arjuna yang tengah menghentikan pendarahan pada perut Agam.

"Sa... K—kalo gue pergi—"

"Jangan pergi! Nggak! Lo harus bertahan," pekik Aksara, wajahnya memerah, "Jangan pergi,"

"L—lo beliin—uhuk—bakpia b—buat gue kkan?" Aksara mengangguk, terisak keras, "K , kasih—uhuk—kasihin mama ya,"

"Iya. Tapi lo tetep harus bertahan ya," si bungsu Adyatma menggenggam erat jemari sahabatnya, "Please Gam,"

Agam tersenyum, "Udah waktunya...uhuk...gue pergi. J—jangan pernah lupain gue sa. M—makasih buat kalian,"

"Agam-!!" teriak Aksara.

Agam menggeleng pelan, "D—di meja belajar gue...uhuk...ada surat buat Anya. T—tolong kasihin dia,"

Aksara mendunuk, sebelah tangannya terkepal erat, "Bahkan di saat kaya gini lo masih mikirin si sialan itu," sinisnya, "Janji sama gue lo harus bertahan,"

"M—makasih udah jadi temen gue,"

Dan siang itu. Tangis Aksara semakin pecah, menatap nanar wajah Agam yang masih ada di pangkuannya, "Sama-sama," lirihnya.

***

Aksara tertunduk, matanya menatap nanar tubuh tak bernyawa Agam yang terbaring diatas brankar rumah sakit dengan kain putih yang menutupinya, "Lo janji mau jengukin Nathalie sama gue Gam. Katanya lo mau ke rumah gue Minggu besok. Katanya kangen sama ibuk. Katanya pengen makan opor ayam buatan ibuk. Tapi kenapa lo malah pergi Gam? Gue udah bilang kan lo harusnya di rumah aja Gam. Tolol. Bodoh. Gue benci sama lo Gam. Lo temen pertama gue. Dan lo yang ninggalin gue pertama kali Gam," lirihnya. Aksara tidak lagi menangis, namun lebih seperti sosok tak bernyawa namun bisa berjalan dan berbicara, "Tega ya lo Bim," sinisnya.

"Rah udah," Mas Abim memeluk tubuh Aksara dari samping, menepuk bahu sang adik bermaksud untuk menenangkan, "Tuhan lebih sayang Agam makanya diambil lebih dulu,"

"Katanya Agam mau ke rumah Mas. Mau makan opor ayam buatan ibuk. Aksa udah bilang sama ibuk buat bikin opor ayam khusus buat Agam. Aksa nggak masalah kalo di suruh ngisi tangki bensin motornya Agam sampe penuh asal Agam balik Mas,"

"Aksa udah," Mas Yudhis menyahut, berbisik dengan suara seraknya, "Ikhlasin Agam ya?"

"Agam bilang dia mau jadi Arsitek kaya Mas Yudhis," tatapan Aksara berubah kosong. Masih menerawang akan semua kata-kata Agam yang pernah diucapkan untuknya, "Agam pengen ngajak mama sama papanya ke Bali buat nonton tari kecak secara langsung. Tapi, kenapa Agam pergi sebelum semuanya terkabulkan Mas? Kenapa?"

"Takdir Aksa. Itu semua takdir," jawab Mas Yudhis, "Agam udah tenang sekarang. Mas udah hubungi orang tuanya Agam. Mas juga bakalan lapor polisi,"

Tubuh Aksara meluruh, dengan sigap Mas Abim menangkap sang adik, memapah pemuda itu keluar ruangan lalu duduk di kursi panjang di koridor rumah sakit, "Mas. Agam mas,"

"Iya Mas tau," Mas Abim membalas, "Yang tabah ya? Semua orang juga kehilangan Agam Sa. Dan kamu juga pasti tau ada yang lebih merasa kehilangan dari pada kamu,"

Aksara menunduk, mengangguk mengiyakan.

Sekarang ia tau maksud dari kalimat ibuk, hal yang lebih berat dari kehilangan adalah mengikhlaskan.

Sekarang Aksara tau rasanya.

"Aksa," sebuah suara yang terdengar familiar menggema di koridor rumah sakit.

"Nathalie?" gumamanya sembari menatap seorang gadis yang mendekatinya. Duduk di kursi roda dengan Angel dan Karin yang mendorongnya. Pemuda itu memaksakan senyumnya, "Seneng lihat kamu udah sembuh,"

Nathalie menggeleng, meraih tangan Aksara untuk ia genggam, "Agam orang baik. Dia pasti dapat tempat terbaik di sisi tuhan,"

Pemuda itu mengangguk, "Iya. Agam adalah dia yang taat. Dia pasti dapat tempat terbaik di sisi tuhan,"