webnovel

Terguncang

Damar menarik napas panjang dengan berat. Ia sudah mengenal Zesa setahun lamanya sejak gadis itu masih menjadi pelayan di rumah Zayden. Hari ini ia akan menemui gadis itu sebagai ayah, bukan tuan besar dari rumah keluarga Wicaksana.

"Jika Anda masih belum siap, sebaiknya jangan dipaksa. Anda bisa menemuinya nanti, Tuan," usul Leo di belakang kemudi. 

Ia melirik sang majikan dari kaca spion atas. Mereka sudah tiba di garasi sepuluh menit yang lalu, tapi Damar masih duduk di dalam mobil dengan segala kebimbangannya. Ia yakin putrinya sudah mendengar pembicaraannya dengan kelima putra angkatnya.

"Apa dia akan memaafkanku? Aku ayah yang tidak bertanggung jawab," ucap Damar sambil mendesah berat.

"Saya kurang tahu, Tuan. Tidak ada salahnya dicoba terlebih dulu. Lagi pula, cepat atau lambat, nona besar tetap harus bertemu dengan Anda."

"Benar juga. Ayo temani aku menemuinya," ajak Damar.

Leo segera turun dan membukakan pintu mobil. Damar melangkah di depan Leo dengan penuh kharisma seperti biasanya. Saat mereka memasuki pintu utama, para pelayan menundukkan wajah dan memberi hormat.

"Di mana dia?"

"Di kamar atas, Tuan," jawab pelayan.

Damar kembali melangkah. Ia dan Leo menaiki anak tangga menuju lantai tiga di mansion utama. Tepat di depan kamar, ia mendengar gadis itu sedang menangis.

"Apa yang kalian lakukan? Buka pintunya!" teriak Damar yang khawatir mendengar putrinya menangis.

Mendengar suara Damar, Zesa segera bangkit dan menjauh dari pintu. Ketika pintu terbuka, Zesa menerobos hendak melarikan diri. Namun, kedua pengawal itu sigap menangkapnya.

"Lepaskan aku! Aku ingin pulang!"

"Zesa, putriku," sapa Damar dengan suara bergetar.

"Tuan Besar, tolong perintahkan mereka untuk melepaskanku, aku ingin pulang," ucap Zesa dengan suara serak.

"Tapi ini adalah rumahmu, Nak," kata Damar sambil mengulurkan tangan.

Ia menyentuh puncak kepala gadis itu dengan mata berkaca-kaca. Putri yang telah lama dicarinya selama ini, ternyata dia sudah berada begitu dekat dengannya. Selama setahun melihat gadis itu menjadi pelayan dan terkadang dijahili oleh kelima anak angkatnya.  

"Singkirkan tangan Anda, Tuan besar!" hardik Zesa sambil menggerakkan kepalanya menjauh dari tangan Damar. 

"Zesa … aku adalah ayahmu, ayah kandungmu. Papa tahu, kau pasti membenci papa karena terlambat menemukanmu. Tapi~"

"Aku tidak memiliki ayah sejak aku lahir. Sampai kapan pun, aku hanya memiliki seorang ibu. Anda tidak punya hak memanggil saya anak," cibir Zesa dengan pandangan dipenuhi kebencian. 

"Semua itu bukan kehendak papa. Papa terpaksa melakukan pernikahan dengan orang lain, tapi kami bercerai setelah kakek dan nenekmu meninggal. Setelah itu papa mencari kalian, tapi papa tidak menemukan kalian. Sampai papa tidak sengaja melihat foto wallpaper di ponselmu.

"Sampai detik ini, mamamu adalah wanita yang papa cintai. Papa meminta Leo melakukan tes DNA untuk mengetahui apakah kau anakku atau anak Kemala dengan suaminya."

"Haha …. Anda bahkan tidak tahu kalau ibu saya tidak pernah menikah. Setiap kali ada laki-laki yang melamar, ibuku menolak mereka. Ibu takut jika memiliki suami, akan membuatku menderita. Dan siapa Anda yang tiba-tiba mengaku sebagai ayahku?" tanya Zesa sambil mencoba melepaskan diri dari para pengawal.

"Dia~"

"Ya, dia tidak pernah menikah. Dia mengorbankan kebahagiaannya demi aku. Aku tidak mau mengakuimu sebagai ayahku! Tidak akan pernah!"

Damar membelalak mendengar ucapan Zesa. Gadis itu benar-benar membencinya. Bahkan bersumpah tidak akan pernah mengakui Damar sebagai ayahnya.

"Papa akan membayar hutang papa kepada kalian. Semua harta milik papa bisa kalian miliki. Kalian tidak akan hidup kekurangan lagi," ujar Damar.

"Tch! Anda pikir semua harta yang Anda miliki ini cukup untuk membayar penderitaan kami? Tidak. Sekalipun Anda memberikan seluruh bintang di galaksi, itu tidak akan pernah mampu membayarnya," kata Zesa dengan kebencian yang semakin memuncak.

Zesa merasa direndahkan oleh kata-kata laki-laki itu. Ia tidak pernah bermimpi untuk menjadi orang kaya. Lalu, Damar bicara seolah Zesa dan ibunya gila harta, hingga dengan iming-iming harta warisan Damar berharap mereka mau memaafkannya.

"Sumpal mulut kotor gadis itu! Beraninya dia menghina papa seperti itu," kata Kay dengan wajah merah padam. Ia paling tidak suka jika ada yang membuat ayahnya bersedih, sekalipun itu adalah anak kandung Damar.

Zesa sudah lama mengenal laki-laki itu. Suasana hatinya selalu berubah drastis. Jika ada yang tidak disukai, dia akan sangat marah, sama seperti saat ini. Karena melihat ayahnya dimaki-maki oleh gadis itu, emosinya mendadak meluap bak air bah.

Kay melepas dasi dan menghampiri Zesa. Ia hampir saja lepas kendali dan benar-benar menyumpal mulut Zesa menggunakan dasi. Damar menghadang laki-laki itu dan meminta Leo membawanya pergi.

"Lepas! Dia harus diajari bagaimana caranya bersikap hormat kepada orang tua," ujar Kay yang terus menyingkirkan Leo dari hadapannya.

"Yang dirawat olehnya adalah kalian, bukan aku. Seharusnya kalian senang karena aku menolak harta warisan tuan besar," cibir Zesa dengan tatapan sinis mengarah kepada ayahnya.

Kay bersiap membuka mulut, tapi sebuah panggilan telepon menginterupsi. Ia merogoh ponselnya. Dengan pandangan yang tidak lepas dari gadis itu, ia menjawab panggilan telepon dari rumah sakit. Wajahnya yang semula dipenuhi kemarahan, berubah menjadi tatapan iba.

"Dari siapa, Kay?" tanya Damar. 

Kay seketika berubah dan Damar sudah hafal dengan sifat anak angkat ketiga itu. Hatinya begitu perasa. Baik yang membuatnya marah atau yang membuatnya bersedih, semua bisa dibaca dari ekspresi wajah yang selalu berubah drastis.

"Dari rumah sakit, Pa. Mereka bilang~"

"Mereka bilang apa?" tanya Damar, penasaran.

"Nyonya Kemala meninggal lima menit yang lalu," jawab Kay sambil memandang Zesa.

Gadis itu tahu siapa Kemala yang dimaksud mereka. Ia mematung dengan kedua mata berembun. Penglihatannya mulai samar dan akhirnya ia terkulai ke lantai dengan kedua lutut menopang tubuhnya. Zesa menangis sejadinya, berteriak-teriak memanggil ibunya, lalu ia terbaring tak sadarkan diri.

Kay mengangkat gadis itu dan membawanya kembali ke kamar, sedangkan Damar dan Leo kembali ke rumah sakit. Sebelum pergi, ia menitipkan putrinya pada Kay. "Tolong jaga dia, Kay."

"Baik, Pa."

***

Zesa baru sadar setelah malam menjelang. Namun, ia seperti mayat hidup. Ia tidak mau bicara, tidak menangis, atau bergerak dari tempat tidurnya.

"Zesa … apa kau baik-baik saja, Sayang?" tanya Damar sambil menggenggam tangan gadis itu dengan penuh kasih sayang.

Hening. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Ia hanya berbaring dengan tatapan kosong mengarah ke langit-langit kamar. Kehilangan sosok ibu membuat gadis itu merasa tidak ada gunanya lagi ia hidup.

"Papa yang sabar. Zoe yakin, Zesa akan baik-baik saja. Dia gadis yang kuat."

"Benar, Pa. Zesa masih syok karena kehilangan ibunya. Kami semua mengenal Zesa dengan baik. Saat ini, dia hanya butuh waktu untuk menenangkan diri."

Kay menambahi ucapan Zoe. Waktu satu tahun sudah cukup untuk mereka mengenal kepribadian gadis itu. Selama tinggal di mansion sebelah, mereka sering mengerjai Zesa, tapi dia tetap tangguh dan bersemangat.    

Mansion utama ditempati Damar, sedangkan mansion kedua yang terletak di samping mansion utama ditempati oleh kelima anak angkatnya. Di sanalah Zesa tinggal selama setahun terakhir. Kenangan setahun yang lalu pun terlintas di benak mereka.

*BERSAMBUNG*