webnovel

Aaron jatuh cinta

"Selamat malam anak-anak," ucap Sumirah dengan senyuman lebar.

Seharian ini, ia bersantai di tempat wisata. Terlalu jauh jika ia ingin pulang ke kampung halamannya. Menikmati waktu liburan akhir pekan ini, ia menghabiskannya di tempat wisata bersama sopir.

"Ibu!" Zesa berlari dan memeluknya begitu wanita paruh baya itu tepat berada di hadapannya.

"Ada apa, Non? Mereka nakal, ya?" tanya Sumirah sambil melirik tajam ke arah meja makan. Para tuan muda yang sedang menyantap makan malam pun dibuat canggung oleh tatapannya yang mengintimidasi.

"Tidak. Aku kangen sama, Ibu. Biasanya, kan, ada Ibu yang nemenin di dapur," ujar Zesa sambil menyeka air matanya.

"Haish …. Ibu kira ada apa. Ya sudah. Kita makan malam bersama mereka," ajak Sumirah.

Zoe menarik tangan Zesa, memintanya duduk di samping tempat duduknya. Namun, Kay menarik tangan Zesa yang lain dan mengajaknya duduk di sebelah kanan bersamanya. Sumirah hanya diam dengan sudut bibir menyunggingkan senyum tipis.

'Mereka sudah dewasa sekarang, sudah bisa rebutan wanita.'

"Di sini saja, Zes," ucap Zoe.

"Tidak boleh. Biar Zesa duduk di sebelah sana saja denganku," protes Kay.

Zayden menggertakkan gigi. Kedua adiknya terus menarik kedua sisi tangan Zesa hingga gadis itu menutup mata dan meringis kecil. Ia tidak tahan melihat Zesa kesakitan.

Brak!

"Kalian sudah tidak memandangku lagi, hah?! Apa yang kalian lakukan? Apa kalian lupa ini dimana?" maki Zayden kepada Kay dan Zoe.

Mereka melepaskan tangan gadis itu dan duduk di tempat duduk mereka masing-masing.

"Maaf, Kak." Zoe meminta maaf lebih dulu sebelum Zayden bertambah marah. Dia adalah kepala keluarga di mansion itu. Sekali dia berteriak, tidak ada yang berani menatap wajahnya, termasuk Sumirah.

Bukan berarti mereka takut, tapi mereka menghormati laki-laki itu sebagai pemimpin. Dia adalah orang kedua yang memiliki kekuasaan tertinggi di keluarga Wicaksana, selain Damar tentunya. Zayden tidak suka ada keributan di ruang makan, karena itu ia marah.

Awalnya ia pikir karena itu, tapi ada alasan lain yang lebih membuatnya marah. Kedua adiknya memperebutkan Zesa di hadapannya. Kenapa aku marah, pikir Zayden.

"Mulai sekarang, Zesa akan duduk di sini. Di antara Ibu dan aku. Kalian mengerti?"

"Mengerti, Kak," jawab mereka bersamaan.

"Kamu! Duduk!" perintah Zay kepada Zesa yang masih berdiri.

Gadis itu melangkah ke arah Zayden. Ia gemetaran saat hendak duduk di samping laki-laki itu. Bagaimana tidak? Zayden selalu marah jika ada sesuatu yang tidak disukainya.

Jika tidak marah, maka dia akan bersikap dingin. Sungguh, laki-laki itu sangat menakutkan di mata Zesa. Lalu, dia harus duduk di samping laki-laki dingin itu sekarang.

'Pencernaanku bisa terganggu kalau makan di samping tuan muda Zay.'

"Makanlah dengan nyaman. Jangan pedulikan anak-anak nakal itu," ujar Sumirah.

"Aku tidak nakal," gerutu Zoe dengan bibir mengerucut.

"Tentu saja. Hanya Tuan muda Zoe yang paling imut," seloroh Sumirah.

"Ibu …." Zayden meletakkan sendok di tangannya ke atas piring. "Mereka jadi semakin manja karena, Ibu."

"Ya, ya, dan kau yang sulit sekali dimengerti," jawab Sumirah.

Mereka mengulum senyum. Di hadapan Sumirah, sikap dingin Zayden tidak bisa menang. Sumirah sudah seperti ibu mereka, sehingga semarah apa pun, mereka akan memelankan suara pada wanita paruh baya itu.

Zayden melirik adik-adiknya dengan tajam. Mereka seketika menundukkan wajah. Makanan di piring mereka sudah habis, tapi makanan Zesa masih utuh.

"Aku ke kamar dulu, Kak," pamit Aaron.

"Hem," jawab Zayden, singkat.

"Zoe juga izin ke kamar."

"Kay juga."

"Aku juga akan ke kamar, Kak." Ia berdiri dan berjalan pergi setelah berpamitan pada kakak pertamanya.

"Anda tidak pergi juga, Tuan?" tanya Zesa dengan suara bergetar.

"Ngusir?"

"Ti … tidak. Hanya saja~" Zesa tergagap saat Zayden meliriknya dan bertanya dengan suara pelan.

Entah kenapa, sekalipun dia bertanya dengan nada normal, tapi terasa mengintimidasi. Zesa hampir melompat ketakutan saat laki-laki itu menjawab pertanyaannya dengan lirikan singkat. Ia segera menunduk kembali sebelum laki-laki itu marah padanya.

"Ibu lelah. Zesa, habiskan makananmu. Ibu akan ke kamar lebih dulu," ujar Sumirah. Ia tidak peduli dengan raut wajah Zesa yang seolah minta diselamatkan dari Zayden.

"Sudah dengar, kan? Habiskan makananmu," perintah Zayden. Tangannya bersedekap, punggungnya bersandar di sandaran kursi, serta tatapannya terus tertuju ke wajah Zesa.

'Bagaimana aku bisa menghabiskan makanan ini kalau dia terus mengawasiku seperti seorang tahanan? Mau buka mulut saja susah.'

"Perlu aku suapi?"

"Hah? Ti-tidak perlu," jawab Zesa dengan cepat. Ia segera menghabiskan makanan di piringnya sebelum laki-laki itu benar-benar menyuapinya nanti. Zesa merasa tertekan batin bekerja di sana, padahal mereka tidak begitu buruk memperlakukannya. Mungkin, akan lebih baik jika mereka mengabaikan Zesa sebagai asisten rumah tangga.

Setelah makanan di piring Zesa habis, Zayden bangun. "Setelah mencuci piring, bawakan kopi ke kamarku," ucapnya sambil berlalu pergi.

"Baik, Tuan."

Ia memperhatikan punggung laki-laki itu sampai menghilang di ujung tangga. "Fiuuhh …." Zesa mengembuskan napas panjang. Akhirnya, ia bisa bernapas lega setelah ketegangan yang terjadi.

Zesa merapikan meja makan, mencuci piring, lalu memasak air. Ia mengingat rasa kopi kesukaan Zayden. Satu sendok bubuk kopi dituang ke dalam cangkir. Sambil menunggu airnya matang, Zesa bernyanyi kecil.

Sebuah lagu mellow dari negeri sakura mengalun indah dari bibir tipisnya. Ia menyukai lagu-lagu dari negeri sakura, karena liriknya terasa menyentuh bagi gadis itu. Di sudut tangga, Aaron tersenyum tipis sambil memejamkan mata, mendengarkan nyanyian Zesa.

Gadis itu selesai membuat kopi dan berbalik hendak membawa kopi itu ke kamar Zayden. Ia terkejut melihat Aaron berdiri di ujung tangga sambil menatapnya. Laki-laki itu selalu mencari kesempatan untuk menyentuhnya, karena itu Zesa tidak berani melangkah maju.

"Suaramu merdu. Kenapa tidak jadi penyanyi saja? Siapa tahu, kamu jadi penyanyi terkenal," puji Aaron dengan tulus. Kali ini, ia tidak terlihat usil seperti biasanya. Tatapannya juga sedikit meneduhkan, tidak mesum seperti beberapa saat yang lalu.

"Terima kasih, Tuan muda. Saya tidak berminat menjadi artis. Saya permisi," pamit Zesa saat ia berjalan melewati laki-laki itu.

Pandangan Aaron mengikuti setiap langkah kaki Zesa saat gadis itu menaiki anak tangga. 'Mungkin, aku terlalu agresif selama ini. Jadi, dia menganggap aku sedang bercanda. Haruskah aku mengejarnya dengan serius?' pikir Aaron.

Sejak pertama kali Zesa masuk ke rumah itu, ia sudah tertarik padanya. Awalnya, ia pikir hanya ketertarikan sesaat seperti pada gadis lain yang selama ini dikencaninya. Namun, perasaannya tumbuh semakin dalam. Ia menginginkan gadis itu menjadi miliknya. Aaron jatuh cinta pada gadis itu sejak pandangan pertama dan ia baru menyadarinya.

*Bersambung*