Bulan April adalah salah satu waktu yang menarik di Jepang. Pada awal musim semi, biasanya masyarakat Jepang akan pergi bersantai menanti bunga sakura mekar, namun mulai bulan April, sekolah-sekolah di Jepang akan dipenuhi oleh siswa-siswa baru yang mencoba beradaptasi di lingkungan sekolah yang mereka tentukan sebagai tempat belajar.
Yang mengasyikkan dari tahun ajaran baru adalah acara bernama Nyugakushiki, atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai upacara penerimaan masuk sekolah atau penyambutan masuk siswa dan siswi baru.
Bagi sekolah, semua murid baru adalah raja yang harus disambut pada acara spesial itu. Mereka merancang mulai dari acara formal hingga informal dengan misi membangkitkan semangat pelajar yang sudah memasuki sekolah mereka.
Aku kira hal itu sepadan dengan berbagai perjuangan siswanya demi bisa masuk ke sekolah favorit mereka. Kecuali jika sekolah itu adalah sekolah yang kini jadi tempatku menginjakkan kaki.
Namanya Raitosouru gakuen. Namanya pasti diambil asal dari kata Light Soul dengan pengucapan Jepang yang dipaksakan sebelum kata kampus. Tempat ini sepertinya harus diganti dari sekolah menjadi gudang romusa. Belum apa-apa aku sudah bisa melihat gambaran akan sebuah rantai makanan tentang siapa yang terkuat dan siapa yang lemah. Contohnya seperti seorang anak culun yang tengah merangkak dengan seorang berbadan dua kali beratnya di tengah lapangan, dan sepertinya tak ada yang peduli akan aksi tak wajar itu.
Di sekolah ini acara penerimaan yang kusebut Nyugakushiki itu hanya sebuah legenda. Gedung sekolahnya tidak seburuk berita yang digemparkan mulut ke mulut, tapi gedung tua dengan dengan isi berupa anak-anak terbuang dan sekelas preman bukanlah hal yang bisa dibanggakan.
Ada bau korupsi dan pencucian uang di sini, dan aku sengaja memilih tempat ini karena tahu bahwa berlindung di sarang macan ada baiknya jika tengah lari dari seekor ular.
Jepang menduduki posisi tertinggi dalam bunuh diri anak selama empat tahun terakhir, dan kasus paling tinggi terdapat di sekolah ini, dan aku tahu aku tak akan pernah jadi bagian dalam perhitungan itu sampai kapanpun. Hey, aku ini sudah pernah hampir mati ratusan kali, kalau aku masih berdiri di tempat ini, itu tandanya semangat hidupku lebih tinggi dari kecoa dalam menghadapi bahaya nuklir.
Aku tinggal dalam sebuah asrama khusus sekelas gudang. Yang pertama menyambutku di asrama itu adalah seorang anak pria cebol yang badannya dilempar dari tangga. Keningnya berdarah dan anak itu masih sempat menunduk dan berkata maaf sebelum lari ke pelemparnya.
Tak ada minat untuk menolong anak itu, pun melihatnya. Bagiku dia ada di hirearki paling bawah yg punya nasib sial abadi di sekolah ini. Kujamin yang bisa menolongnya hanya kematian.
Ngomong-ngomong, aku akan memberitahu kalian posisi terbaik dalam rantai makanan di sekolah ini.
Pertama, jangan pernah berjalan menunduk dengan wajah resah. Pakai pakaian seadanya, dan hindari kacamata, tas membosankan yang berat setengah mati, dan juga jangan datang terlalu cepat atau terlalu lambat di sekolah. Jika kau melanggar pantangan ini, selamat, kau sudah masuk hirearki paling bawah.
Kedua. Jangan bersikap sombong, menjadi penindas, dan berkostum eksentrik yang membuat mata siapapun seperti dicolok. Kau mungkin ada di hirearki teratas, tapi bisa saja kau ditandai sebagai kriminal dan itu tak baik untuk catatan sejarah jika kau butuh posisi bagus dalam perusahaan impianmu.
Aku menghindari dua posisi rantai makanan itu. Seperti kalian tahu, aku ini seorang pembunuh bayaran. Sebuah larangan keras bagiku untuk tampil mencolok. Ayahku, Hades, bisa menemukanku kapan saja, dan tampil sebiasa mungkin adalah jalan terbaik.
Sampai aku membuka pintu kamar asramaku, dan tersendat di lubangnya karena sesosok tubuh yang ikut masuk bersamaan.
"Ah, sumimasen." Kuteguk ludahku saat melihat sebuah penampakan menyakiti mata di sebelah kanan. Kaca mata hitam, buku catatan di tangan, dan tas yang berat. Hirearki paling bawah sedang mengenalkan diri sebagai rekan sekamarku.
Apa aku dikutuk?
"Ah. Aku Tomohiro dari Hokaido. Dan kau?"
"Aku mahluk yang tidak berminat padamu." Acuh adalah cara terbaik.
Sebenarnya saat itu aku tengah berniat menata barang bawaan ku ke dalam lemari, tapi si Tomohiro ini cerewetnya luar biasa. Dia bahkan bicara soal Gundam yang aku tak tahu di mana sisi menariknya.
"Dan Tsubasa adalah anime tahun delapan puluhan yang menjadi cikal bakal antusiasme anak muda Jepang untuk bermain bola.
Tsu apa katanya?
"Bisa kau diam?"
Tomohiro menengok. Dia sepertinya tak tersinggung, dan bahkan merayuku untuk makan bersama dengannya. "Kau boleh makan denganku. Ini sangat enak. Aku membelinya di vanding machine stasiun kereta." Lalu dia diam. "Ini yang kubeli tadi malam, ya? Rasanya aneh."
Tuh, kan. Sifat hirearki paling bawah terlihat jelas.
Kututup telingaku dengan ear bud. Jika ia tak bisa diam, maka aku sebaiknya jadi tuli saja.
"Smokin out the window ... " Yah, Bruno, bernyanyi lah agar hatiku yang kesal ini membaik. "Telling me what she just did to me ..."
"Hey! Kau mendengarku?"
Aku terkejut
Tomohiro dengan berani mencabut ear bud dan membuat ear ku budeg.
"Apa yang kau lakukan?"
"Ah, itu bukan masalahnya sekarang."
Dan dia menggeretku paksa menuju pintu kamar kami yang kini terbuka.
"Apa, sih?"
Tomohiro menjerit. "Kau tak lihat? Wanita tercantik di angkatan kita."
Aku mengernyit. "Wanita? Di sekolah khusus pria?"
Lalu sepertinya kudengar seluruh penghuni asrama bersiul. Dan seperti sosok yang membuat semua mata tertuju, seorang ganguro berjalan cuek dengan penampilan yang menunjukkan bahwa dia adalah wanita yang menjadi raja di sini.
Bencana besar.
Satu lagi daftar manusia yang harus kuhindari. Pusat semesta, percaya diri tinggi, pakaian mencolok, kulit hitam mencolok, rambut pirang, tindik warna-warni di telinga, memakan lolipop dengan telinga tersumpal ear bud.
"Dia anak pemilik sekolah. Aku mengenalnya sejak sekolah dasar."
Dan dia manusia paling berpengaruh di sekolah ini.
"Asuka!" Tomohiro berlari mendekati wanita itu. Dia membuktikan bahwa kedua hirearki tak akan saling makan jika sudah seperti saudara. Tapi bagiku mereka tampak seperti bayangan neraka yang membuatku merinding.
"Ayah, jangan paksa aku ke tempat ini." Saat tengah mencari jalan keluar untuk menghindari dua polar di depanku, terdengar suara jerit yang menyayat dan membuatku bertanya masalah apa lagi yang datang? "Aku sudah di terima di Tokyo, Yah. Aku dapat beasiswa penuh dan akan bekerja sebagai ghost writer untuk menyambung hidup."
"Peduli setan. Kau sekolah di sini saja dan bantu Ayah di akhir pekan. Aku tak percaya Tokyo dan membiarkanmu di sana sama halnya dengan membiarkan toko ku tanpa penjaga."
"Tapi, Yah ... "
Cukup mengiris hati. Aku sampai bertanya-tanya, apa semua orang tua suka memaksakan diri agar anak menurut pada mereka. Pemandangan menyakitkan ini mengingatkan aku pada Hades, seorang tua bangka yang hanya tahu bahwa tradisi keluarga harus diturunkan ke semua anaknya, tak peduli jika tradisi itu mengancam keamanan dunia.
"Kasihan, tapi anak tak bisa berbuat banyak, kan?" Wanita ganguro yang tiba-tiba sudah di sebelahku berkomentar.
"Itu sudah takdirnya. Bukankah orang tua adalah penentu takdir anak?" Kali ini si kaca mata yang berkomentar.
Tapi batinku bergejolak. Aku lupa dengan segala peraturan yang kubuat untuk tak tampil mencolok, yang kusadari, saat itu aku sudah berada di antara ayah dan anak yang bertengkar itu dan mulai menatap sang ayah seperti akan membunuhnya.
"Mau apa, kau?" Suara tua si Ayah bergetar.
"Kau ini bodoh, ya?"
"Apa?"
Aku menatap semakin tajam dan siap untuk mematahkan tangan si Ayah dengan sekali serang.
"Anakmu yang jenius ini diterima di Tokyo, dan kau memikirkan tokomu? Kau tak berpikir hidup dan masa depannya, ya?" Aku sudah bersiap menampar, namun yang tak kuduga, si anak justru berdiri sebagai tameng bagi Ayahnya.
Wajah anak itu memerah, dan dia menangis karena rasa sakit. "Ayahku hanya salah paham. Tolong jangan campuri masalah kami."
Lalu hening.
Kulihat anak itu menarik nafas, dan menatap tegar ke arah Ayahnya.
"Yah, aku tahu kau takut aku tak pulang seperti banyak tetangga kita yang pindah ke Tokyo. Aku juga tahu kau takut aku terlantar dan telat makan. Tapi, Yah, sekali ini saja, ijinkan aku untuk meraih mimpiku." Anak itu tersenyum dan memandang mata Ayahnya yang bergetar. "Aku akan pulang pada akhir bulan. Jika uangku lebih, aku akan membawakan Ayah daging untuk kita bakar bersama."
Lalu mereka menangis. Aku tak mengerti mengapa mereka menangis?
"Anak bodoh. Apa kau pikir Ayah peduli dengan daging itu? Kau pikir Ayah bisa dibujuk?" Dan sebuah pelukan juga nasihat agar si anak tak lupa pada Ayahnya itu jika sudah tiba di Tokyo.
Kutarik nafasku. Penyelesaian macam apa, ini? Apa mereka tengah memainkan sebuah drama? Aku tak paham, dan menjauhi keanehan dari bapak anak ini adalah caraku menyerah dalam mencari tahu.
Di sisi gedung asrama, wanita ganguro dan pria berkaca mata tersenyum senang melihat drama bapak anak itu.
"Keluarga yang bahagia," ucap si ganguro.
"Aku berpikiran yang sama, Asuka." Kali ini si kaca mata yang bicara.