webnovel

BAB 11

Cahaya lampu remang-remang yang ada di dapur membuat wanita berambut sepinggang itu memelankan langkah kakinya. Aroma alkohol menyeruak saat Rahel memasuki dapur yang dilengkapi dengan barstool, tempat di mana Nico sering menghabiskan waktunya menikmati wine di saat beban memenuhi benaknya. Namun, setelah lelaki itu mengalami kebutaan, Nico hampir jarang sekali melakukan kebiasaannya.

"Ternyata kamu memang benar-benar sudah melupakan cinta kita, tentang janji kita. Sofia, Sofia, ternyata kamu tidaklah lebih dari seorang wanita murahan!" decih Nico kesal. Sesaat Nico menertawakan dirinya sendiri.

"Betapa bodohnya aku!" Kembali lelaki itu menuangkan wine ke dalam gelas. Lalu meneguknya.

"Tuan Nico!" lirih Rahel memperhatikan Nico dari kejauhan, gadis itu terlihat terkejut melihat Nico seperti sudah dapat melihat.

Beberapa kali Nico menuangkan wine ke dalam gelasnya. Bibir lelaki itu terus mengerutu merutuki kelakuan Sofia. Tapi sayangan Rahel tidak dapat mendengar dengan jelas ucapan Nico yang seperti berbisik.

"Baiklah jika ini adalah kemauan kamu, Sofia. Aku akan melepaskan kamu!" Nico turun dari atas kursi tinggi yang mengelilingi barstool. Sesaat ia tersenyum sinis menertawakan dirinya sendiri. Berjalan menuju pintu keluar dapur.

"Tu-tuan!"

Rahel terkesiap, bagitu juga dengan Nico yang nampak terkejut melihat babysister yang selama ini mengasuh putrinya tiba-tiba mematung di hadapannya.

Nico hendak berpura-pura buta, tapi percuma, ia sudah meninggalkan tongkat bantunya di samping bangku barstool.

"Tu-Tuan bisa melihat!" Rahel tercekat, jari telunjuknya mengarah pada Nico yang masih tercengang dan nampak gugup sekali.

"Aku ... Aku!" Nico semakin gugup saat Rahel menatapnya curiga.

Rahel berjalan mendekati Nico. Lalu mengoyangkan telapak tangannya di depan wajah Nico. Dengan cepat Nico menyambar tangan Rahel.

"Hentikan!" cetus Nico memasang wajah kesal. Sorot matanya menghunus pada Rahel.

"Ja-jadi selama ini Tuan sedang berpura-pura ...!" Rahel terbata, gadis itu masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

"Diam, Rahel!" desis Nico mendekatkan wajahnya pada Rahel yang hendak mengerjap. Namun sayangnya, Nico masih mencengkram kuat telapak tangan Rahel yang tidak dapat berkutik sedetikpun.

"Jangan pernah katakan pada siapapun tentang hal ini!" Nico menjatuhkan tatapan penuh mengancam pada Rahel.

"Ja-jadi benar, Tuan Nico sudah dapat melihat!" lirih Rahel dengan suara berbisik. Netranya sama sekali tidak berkedip, lengkungan nampak menghiasi bibir Rahel.

"Iya aku memang sudah bisa melihat, jadi tolong jangan pernah kamu katakan tentang ini pada siapapun," desis Nico, rahangnya mengeras menatap kesal pada Rahel.

"Ba-baik, Tuan!" balas Rahel mengangguk lembut.

Nico menghempaskan kasar tangan Rahel. Berjalan melewati Rahel menuju pintu dapur.

"Tuan!" Panggil Rahel.

Nico mendengus berat, memutar tubuhnya ke arah Rahel yang masih mematung di tempat yang sama, melihat ke arahnya.

"Jadi apakah hari itu Tuan juga melihat Nyonya di kamar tamu?" Rahel mengigit bibir bawahnya, wajahnya nampak ragu menanyakan hal yang akan membuat Nico sakit tentunya.

Beberapa saat Nico hanya terdiam. Bayangan' menjijikan itu kembali terputar di dalam benak Nico.

"Iya, aku melihatnya!" cetus Nico segera berlalu.

Rahel tidak bergeming, mematung menatap pada kepergian Nico yang menghilang di kegelapan.

_____

Sofia berjalan mondar-mandir di depan balkon ruangannya. Pemandangan gedung-gedung tinggi terlihat jelas dari jendela kaca ruangan yang menghadap langsung ke pusat kota Jakarta. Wanita itu nampak gelisah sedari tadi pagi. Setelah Raya mengetakan jika pemilik perusahaan itu akan datang ke kantornya pukul sebelas nanti untuk menagih hutang-hutang Perusahaan Cooperation.

Cekriet!

Sorot mata Sofia melihat ke arah pintu yang terbuka. Seseorang yang mengenakan jas berwarna hitam itu berjalan mendekati Sofia seraya menyungingkan senyuman.

"Sayang, why?" ucap Sam yang kini berdiri di hadapan Sofia. Senyuman hangat dan tatapan mata teduh ia jatuhkan pada Sofia. Wanita yang selama ini menjadi budak cinta Sam.

Sofia sama sekali tidak bisa menyembunyikan wajah gusarnya. Sorot matanya membalas tatapan Sam. Lelaki itu menyingkirkan anak rambut yang menutupi sedikit wajah ayu Sofia.

"Sam, Pak Santoso akan ke sini. Dia meminta uang yang sudah kita pinjam untuk segera di kembalikan berserta bunga-bunganya," lirih Sofia dengan suara serak seperti menahan tangis. Guratan wajahnya menunjukkan sebuah kekhawatiran.

Tidak ada ekspresi apapun dari wajah Sam. "Lalu?" ucap Sam menaikan kedua alisnya.

Sofia berdecak kesal. "Lalu, aku tidak tahu lagi harus berbuat apa, Sam? Sementara keadaan perusahaan semakin lama justru semakin memburuk." Butiran bening jatuh membasahi pipi Sofia.

Sam meletakan kedua tangannya pada bahu Sofia. "Sayang, tenanglah! Semua pasti ada jalan keluarnya. Bukankah aset kekayaan Nico itu sangat banyak. Kenapa tidak kamu jual saja salah satunya untuk menutupi hutang-hutang itu," usul Sam.

Sofia menghela nafas panjang. Menatap nanar dan penuh kekecewaan pada Sam. "Sudah Sam, aku sudah melakukannya. Sudah ada berapa aset Mas Nico yang aku jual, sepertinya ada yang salah' dengan management keuangan kita, Sam. Kita terlalu banyak berfoya-foya." Sofia menggigit bibir bawahnya, ia nampak ragu mengatakan pada Sam.

"Apakah kamu sedang mengatakan, jika semua masalah ini gara-gara aku!" Sorot mata Sam berubah tajam menatap pada Sofia. Jari telunjuknya mengarah pada dadanya sendiri.

"Tidak, Sam, bukan seperti itu maksud aku!" Sofia takut melihat Sam meradang.

Sam mendengus kesal, memutar tubuhnya berjalan ke arah pintu keluar.

"Tunggu, Sam, tunggu!" Sofia menjegal pergelangan tangan Sam.

"Aku sangat kecewa dengan kamu, Sofia. Bisa-bisanya kamu berpikiran seperti itu padaku. Kamu tahu kan, bagaimana cintaku kepadamu. Jadi mana mungkin aku ...!" Sam mendengus berat, membuang tatapannya sekilas dari Sofia.

"Iya Sam, aku percaya!" lirih Sofia. "Mungkin karena pikiranku sedang kacau saja, Sam. Aku benar-benar tidak tahu lagi harus mencari uang darimana. Sementara hari ini Pak Santosa akan datang ke sini. Jika aku tidak segera melunasi semua hutang-hutang itu, maka dia akan mengambil alih perusahaan ini, Sam!" Sofia nampak panik.

"Kamu tenang saja, kamu jadi kan menjual perkebunan milik Nico yang ada di Bandung?" Sam menyentuh lembut bahu Sofia, mencoba untuk menenangkan.

"Sudah Sam, aku sudah meminta Raya untuk memasang iklan itu, tapi sampai saat ini belum ada kabar, Sam!" Sofia semakin kacau. "Menjual aset itu kan tidak mudah, Sam!" lirih Sofia.

"Baiklah, kamu tenang saja, nanti kalau Pak Santosa ke sini, biar aku yang bicara dengan beliau," tutur Sam nampak seperti seorang pahlawan. Satu tangannya mengusap lembut rambut Sofia.

"Percuma Sam, percuma. Karena Pak Santosa itu mencari aku, bukan kamu. Dia butuh pemilik perusahaan ini," beo Sofia panik.

Sam mendengus berat. Sejenak Sam nampak berpikir. "Bagaimana kalau sekarang saja kamu buat surat pengalihan kekuasaan perusahaan ini padaku. Aku yakin, perusahaan ini akan jauh lebih maju jika ada di tanganku. Dan masalah hutang-hutang itu, biar aku yang bicara dengan Pak Santoso," ucap Sam menyungingkan senyuman.

Seketika Sofia hanya terdiam tidak bergeming. Beberapa saat mereka saling bersitatap.

"Aduh, bagaimana ini. Jika aku menolak permintaan Sam, pasti dia akan meninggalkan aku!" batin Sofia.

_____

Bersambung ....