12 Sahabat untuk Alena

°

°

°

Alena berjalan sendirian menuju perpustakaan. Ya hanya sendirian, ia tak mengajak satu orang pun bersamanya…karena yaa dia sedang ingin menikmati waktu kesendiriannya. Ketika ia tengah menuju perpustakaan tak jarang matanya menoleh ke kanan dan ke kiri, ada rasa sedikit takjub ketika ia melihat segerombolan siswi angkatannya tengah berkumpul dan tertawa bersama.

"Ini memang takdir gue, kan?." tanyanya dalam hati.

Begitulah Alena, meski di sekolah ia terkenal atas keramahannya namun ia tak pernah memiliki satu orang pun yang dekat dengannya, sahabat? Ah lupakanlah. Ia hanya akan menganggap semua teman-temannya hanya sebatas teman biasa, hanya haha-hihi untuk beberapa saat kemudian pergi lagi untuk menikmati waktu kesendiriannya di perpustakaan sekolah. Hal ini terjadi karena, Riana terus memperingatinya akan bahayanya mempunyai seorang teman dekat.

"Saat kamu mempercayainya, dia akan mulai menusukmu dari belakang."

Alena yang sudah terlalu terbiasa menelan apa saja kalimat yang Ibunya lontarkan pun lantas mengukir kalimat peringatan itu tepat di dasar hatinya dan ingatannya.

°°°°

Alena melepaskan sepatu yang ia kenakan dan menaruhnya di atas rak sepatu. Ia pun mengeluarkan kartu perpustakaannya dan melangkah masuk ke perpustakaan. Saat masuk, ia langsung menuju ke meja guru yang tengah mengawasi perpustakaan itu dan menyerahkan kartu perpustakaannya. Tak lupa juga ia mengisi daftar pengunjung kemudian pergi ke bangku baca.

Ia meletakkan selembar potongan kertas kecil di atas meja baca dan kemudian ia meninggalkannya begitu saja untuk mencari buku-buku yang hendak ia baca.

"Kenapa Alena selalu memilih bangku di sudut situ sih?."

"Lo ga ingat? Kan itu emang khusus untuk Alena!."

"Hah?."

"Ogeb lo. Gimana sih? Alena kan ga bisa kepanasan, noh lihat noh… AC itu dipasang khusus oleh Bokapnya, biar penyakit kulit Alena ga kumat kalau dia lagi di perpustakaan."

"Be-beneran?! Segitunya?."

"Kalau mau nanyain sesuatu, tanya aja langsung ke gue." sahut Alena yang entah sejak kapan sudah berada di belakang kedua gadis yang tengah menjadikannya sebagai topik rumpi.

"Beneran itu bangku khusus lo?." ceplos salah satu di antara dua orang itu, dan yang satunya lagi menepuk dahinya sedikit kuat, di dalam hatinya ia merutuki kepolosan temannya itu.

"Bener kok, tapi itu khusus kalau gue lagi di perpus doang selebihnya itu umum. Bener kata Kiki, kulit gue sensitif terhadap lingkungan panas, kalau penyakit gue kumat yang ada gue heboh sendiri…ruam dan gatal, eughh gue ga bisa tahan!."

Lihat? Alena menjawabnya dengan tenang dan bersahabat, ia menjawab pertanyaan itu dengan 'senyuman penuhnya'. Mungkin keduanya belum sadar betapa dinginnya senyuman manis Alena.

"Katanya lo amnesia? Tapi kok inget? Kebiasaan lo juga ga berubah, Al. Gue kira lo ga bakalan jadi ansos lagi set-."

"Ansos apaan sih, Ki… he he he he." ucapnya sembari menarik lengan temannya yang bernama Kiki.

"Gue bukan ansos Ki, Ndi. Gue cuma…ga mau ditusuk dari belakang, sama kek lo ditusuk oleh Nindi…aww." ucap Alena dengan nada yang bergelombang di akhir kalimatnya, setelah itu ia melenggang pergi dari hadapan dua gadis itu yang masih bengong karena ucapannya.

Satu alis Kiki terangkat, ia bingung…Nindi menusuknya?

Di sisi lainnya, Nindi sudah berkeringat panas dingin, hawa sekitarnya mulai terasa horror.

"Gue, gue ga nusuk kok serius. Gue ga ada macam-macam di belakang lo, gue ga ada main sama pacar lo!!."

"Wait, gue ga ada mikir segitunya lho…kok? Lo bongkar kedok sendiri ogeb!."

Alena tertawa di dalam hatinya, ia mendengarkan percakapan singkat itu tepat di balik rak buku tempat keduanya berdiri. Padahal Alena hanya melontarkan satu kalimat pancingan, dan itu belum seberapa, tapi Nindi langsung memakan kalimat pancingan itu dengan cepat…

"Babo." ucap Alena pelan.

Ia meninggalkan rak buku itu, ia tak ingin mendengarkan perdebatan antara dua sahabat itu dan memilih menyibukkan dirinya dengan memilah-milah buku yang akan ia baca. Setelah ia rasa cukup dengan buku-buku yang telah ia pilih, ia pun membawa semua buku-buku itu dan meletakkannya di atas meja baca.

Alena duduk dengan tenang di bangkunya, satu tangannya bergerak menarik laci meja tersebut dan mengeluarkan kaca mata membacanya. Ya, untuk jaga-jaga Alena telah menyiapkan semuanya....

"Alena?!," kaget seseorang yang rupanya tengah berdiri tak jauh dari tempat Alena duduk bersama tumpukan buku-bukunya, Rayna.

"Gue cariin, gue kira lo kemana. Taunya di sini, huh!." sambungnya sambil mengerucutkan bibirnya yang membuat Alena sedikit terkekeh gemas.

Dan karena untuk pertama kalinya Alena berperilaku seperti itu, spontan saja seluruh murid yang berada di sana menatap ke arahnya. Alena yang sadar ia telah melakukan sesuatu yang tak biasanya pun langsung menyudahi kekehannya itu dan berdeham beberapa kali.

"Duduk." ucap Alena.

"Oke...eh lo baca apa?." tanyanya.

"Oh, gue baca ini. Mau baca, Ray?." tanya Alena yang mendapatkan anggukan kepala yang cepat dari Rayna.

"Buku...ilmiah? Lo keknya seneng banget ya sama pelajaran, bukannya ini...yang Bu Tias jelasin? Sistem Tata Surya, right?." Rayna menoleh ke arah Alena untuk memperoleh jawaban dan ternyata benar, ia mendapatkan anggukan pelan dari Alena.

Ingin semakin mempererat pertemanannya dengan Alena, Rayna langsung memfokuskan pandangannya ke buku itu. Matanya bergerak mengikuti tiap baris-baris kalimat yang tertera di tiap lembar buku itu. Tapi...sebenarnya ia berpura-pura, ia ingin menambah kesan baiknya di mata Alena. Sayangnya, Alena mengetahui hal tersebut, namun ia tak ingin mengatakan apa yang sebenarnya sangat ingin ia katakan.

"Yaa sialan, jangan seperti pecundang. Jangan berpura-pura di depanku, bodoh!."

Itulah yang ingin Alena katakan, terlalu kasar bukan?

Alena menggelengkan kepalanya, ia menarik nafasnya dalam dan menghembuskannya dengan kasar hingga membuat Rayna langsung menoleh ke arahnya.

"Kenapa lo? Bengek?." tanya Rayna yang asal menyeplos saja.

"Gapapa." ucap Alena.

"Len...lo suka gue ga?," tanyanya yang membuat Alena mengusap wajahnya sedikit kasar.

"Suka...dalam arti emm sahabat, bukan lebih...."sambungnya.

"Terlalu cepat buat gue beri nilai ke lo. Gue duluan."

"Tunggu bentar!." Rayna memegang tangan Alena, berhasil menghentikan langkah gadis cantik itu.

"Kenapa?." tanya Alena.

"Iklan! Jangan kemana-mana setelah pesan-pesan berikut!." ucap Rayna yang berhasil membuat beberapa orang yang mendengarnya tertawa.

"Ga lucu tuh." ejek Alena.

"Ya gue tau, emang ga lucu. Yang lucu tuh cuma lo!." Rayna lantas melepaskan tangannya, ia berdiri dan sedikit menyenggol bahu Alena dengan jari telunjuknya, oh ayolah pemandangan ini sangat tidak dianjurkan untuk para penonton di perpustakan.

Semua orang yang melihat itu ingin sekali menghujani Rayna dengan tumpukan buku yang ada di atas meja baca masing-masing, namun demi rasa kemanusiaan yang masih tertanam di hati mereka...akhirnya mereka membiarkan Rayna begitu saja. Anggap saja anak kucing tengah mengigau.

Rayna berjalan dengan santainya mendekati rak buku yang dimana di rak itu berjejer buku-buku mengenai anatomi. Jari-jarinya menyapu bagian atas buku-buku itu hingga...ia mengambil salah satu di antaranya. Ia pun kembali mendekati Alena dan duduk, jangan lupa dia juga menyuruh Alena untuk duduk dan ya Alena menurut saja.

"Kenapa?." tanya Alena yang nampaknya bingung dengan Rayna.

"Kita...eumm main tebak cepat. Tapi gue baca ini dulu, gue mau kuis dadakan tentang anatomi!." ucap Rayna dengan nada yang bisa dibilang sombong.

Alena hanya mengangguk saja, ia tak mau ambil pusing dengan kelakuan Rayna. Jika dia tau, dia akan jawab dan jika tidak ya apa boleh buat.

Beberapa menit kemudian, akhirnya Rayna menutup buku itu yang sebelumnya sudah ia lipat halaman bukunya. Ia kemudian menarik buku yang Alena baca tadi, tentang Sistem Tata Surya dan menumpuknya di atas buku anatomi itu.

"Gue duluan ya!." seru Rayna bersemangat.

"Ok-."

"Oke, langsung aja ya?."

"Iyaa Rayna."

"Nama ilmiah tulang dada!."

"Sternum."

"K-kok ta-."

"Lanjut."

"Tulang rusuk!."

"Kosta, tulisannya C-O-S-T-A-E ."

"Daebak!."

"Giliran gue." ucap Alena sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Anatomi?." ragu-ragu Rayna bertanya, ia mengharapkan belas kasih dari Alena namun...

"Ngga dong." ALENA TERSENYUM MEREMEHKAN! Nampaknya ia tak memberikan belas kasihnya kepada Rayna.

"Ter-terus?." Rayna mendesah frustasi, padahal ini adalah idenya...dan sekarang?

"Astronomi!."

"Oke…"

"Apa nama planet hipotesis yang keberadaannya dipertanyakan oleh para ilmuwan di tahun 1915?."

SKAK!

Pertanyaan Alena berhasil membuat Rayna mengerjapkan kedua matanya berulang kali dengan mulut yang menganga. Alena yang sudah menduga bahwa Rayna takkan bisa memberinya jawaban pun spontan berdiri dan tertawa pelan, sangat pelan.

"Heh, mana gue taulah. Gue belum lahir di tahun itu!." Rayna juga ikut-ikutan berdiri dan berusaha terlihat santai, meskipun terlalu kentara ia kaget dengan pertanyaan itu.

"Cih, bilang aja lo ga tau." Nada Alena yang terkesan mengejek, menantang adrenalin Rayna.

Laki-laki itu malah mendekatkan wajahnya dan menyipitkan matanya ketika memandang kedua bola mata Alena. Satu tangannya bergerak perlahan untuk…mengambil buku astronomi yang Alena baca tadi namun ia mengurungkan niatnya ketika….

"Percuma lo nyari jawabannya di buku itu, ga ada di sana."

°°°°

Alena berjalan cepat kembali ke kelasnya, ia sudah telat 5 menit. Jika saja bukan karena Rayna yang tidak sengaja menjatuhkan dirinya ke dalam ember besar yang tak jauh dari perpustakaan, Alena pasti takkan terlambat seperti ini. Belum lagi Rayna yang tiba-tiba menariknya menuju ke wc laki-laki dan meminta untuk menunggunya…wahhh sungguh gila!

Setelah berada di depan pintu masuk ke kelasnya, Alena menghentikan langkahnya sejenak. Bukan karena rasa takutnya terhadap guru yang sudah berada di kelasnya namun ia ingin mengatur nafasnya karena dampak dari jatuhnya Rayna ke dalam ember besar itu masih melekat, Alena ingin tertawa lagi seperti tadi namun ia takut ia akan kehabisan nafas sebelum waktunya jika ia terus tertawa seperti itu. Perlahan-lahan, rasa geli itu pun memudar, ia berdeham beberapa kali setelah itu langsung mengetuk pintu kelasnya. Tak langsung mendapatkan sahutan, namun Alena tak menyerah…ia sadar ini salahnya. Terlambat memasuki kelas bukanlah suatu pelanggaran biasa di tempatnya mengenyam pendidikan, beberapa guru bahkan tidak akan memberikan toleransi terhadap pelanggaran seperti itu.

Tok...tok...tok...

Tanpa di sangka, pintu itu langsung terbuka. Bu Dira, ya nama itulah yang muncul ketika Alena melihat siapa yang tengah mengajar di kelasnya. Dan seharusnya bukan guru itu yang mengajar kelasnya. Mungkin karena kaget, Alena sampai lupa untuk masuk ke kelas. Ia hanya berdiri di depan kelas dengan raut kebingungan.

"Len, masuk." ucap seorang siswa yang membukakan pintu untuk Alena.

"Ah…iya. Bukannya ini pelajaran Bu Nurul ya?." tanya Alena sembari melangkah masuk.

"Bu Nurul sakit, tapi untunglah Bu Dira yang menggantikan, kalau ngga lo pasti dalam bahaya…kena point pelanggaran!." serunya dengan wajah serius.

°°°°°°°°°°°°°°°°°°

Assalamualaikum.

Selamat Pagi/Siang/Sore/Malam.

Happy reading

Instagram : @meisy_sari

@halustoryid

Maafkan bila terdapat typo🙏🏻

Tinggalkan saran kalian❤

avataravatar
Next chapter