16 Pikiran Rayna

°

°

°

"Appa?."

Mata Alena membulat dengan mulutnya yang menganga lebar karena kaget mendapati Haru-lah yang keluar dari ruang Kepala Sekolah, ia kemudian melirik jam tangannya, dan mulai menerka-nerka percakapan apa yang tengah keduanya lakukan tadi selama lebih dari 25 menit.

Mendapati ekspresi kebingungan dari Alena, Haru pun tersenyum kepadanya, senyum yang sama sekali tidak pernah ia tunjukkan pada putrinya dan tentu saja Alena yang melihat itupun heran, ia menaikkan sebelah alisnya seakan mengatakan "kenapa?." Namun, alih-alih menjelaskan secara langsung kepada Alena, ia malah mendekat ke arah putrinya serta merangkul bahunya.

"Ini yang saya maksud, putri saya, Alena Sasyana." ucap Haru dengan nada bangga kepada Kepala Sekolah.

°°°

Ya, orang itu adalah Haru. Laki-laki itu datang untuk menemui Kepala Sekolah dan meminta izin agar Alena dapat mengikuti test susulan Olimpiade Sains tingkat sekolah, ia juga menjelaskan kepada Kepala Sekolah alasan keterlambatan Alena dalam mengurus pendaftaran test itu, dan tentu saja Kepala Sekolah itu menyetujui Alena untuk mengikuti test susulan, terlebih lagi saat ia sudah melihat laporan nilai Alena, jujur saja ia takjub.

Sebenarnya, tanpa Alena ketahui Haru telah mengikuti perkembangannya selama di sekolah. Apa saja yang Alena baca dan pinjam di perpustakaan, yang Alena makan dan juga minum, bahkan perlombaan-perlombaan sains yang Alena minati. Dan tanpa Alena ketahui pun sebenarnya Haru juga sudah mengetahui bahwa Alena sering kali bertemu dengan seseorang setelah pulang sekolah. Namun, meski sudah mengetahui hal itu, tetap saja Haru tidak dapat mengetahui siapa orang yang Alena temui, terlalu misterius menurutnya.

"Beruntung sekali." bisik Rayna pada Alena.

"Beruntung apanya? Ini sebuah kesialan, tekanan." jawabnya penuh penekanan.

"Kalian mau makan apa?." tanya Haru. Ia mengambil selembar kertas menu dan memberikannya pada Alena, namun bukannya menerima kertas itu untuk memilih makanan, justru Alena menerima kertas itu untuk ia teruskan pada Rayna. Tentu saja Rayna menerima kertas itu dengan kaget.

"Aku tidak makan di kantin pagi-pagi seperti ini." jawab Alena beralasan.

"Tidak lapar?." tanya Haru lagi.

Sumpah demi apapun, ingin sekali rasanya Alena merobek mulut Haru agar laki-laki itu tidak perlu lagi mengeluarkan kata-kata yang sok perhatian kepadanya.

"Tidak." jawab Alena singkat.

"Oke, bagaimana denganmu Ray…Rayna? Pesan apa?."

"Nasi uduk aja, Om." jawab Rayna dan kemudian kembali memberikan kertas menu itu kepada Haru.

"Oke, kalian tunggu di sini sebentar ya."

Haru beranjak dari tempatnya dan pergi memesan makanan untuknya dan Rayna, tak hanya itu ia juga memesankan teh hangat untuk Alena. Di sisi lain, wajah Alena sudah cemberut karena kesal dengan Rayna yang menanggapi Appa-nya dengan baik, padahal Alena mengira Rayna akan bisa membaca situasi.

"Kenapa cember-."

"Lo kenapa ga dingin aja sih sama Bokap gue?." ketus Alena yang membuat Rayna kaget.

"Lah kenapa lo ketus gini? Lagian nih ya gue ga biasa asal dingin asal cuek kek lo, ga boleh kata Nyokap gue. Gimana pun kita tuh harus jaga sopan santun, apalagi sama orang yang lebih tua dan baru kenal kek Bokap lo." jelas Rayna sambil tersenyum.

Tentu saja penjelasan dari Rayna membuat telinga Alena panas, tapi Alena tak menjawab apapun ia hanya memutar bola matanya dengan malas dan menghela napas panjang.

"Kalau lo ada diposisi gue, gue yakin mulut lo ga bakalan bisa ngeluarin kata-kata kek gitu." ucap Alena di dalam hatinya.

Setelah beberapa menit kemudian, akhirnya Haru kembali dengan nampan yang berisikan 2 piring nasi uduk dan 3 gelas teh hangat. Ia meletakkan nampan itu dan mulai membagi-bagikannya.

Selama menyantap makanan itu, ketiganya memilih untuk saling bungkam. Ya begitu terus hingga makanan mereka masing-masing habis.

"Appa, kami akan kembali ke kelas. Hati-hati saat pulang." ucap Alena pada Haru dan kemudian menarik tangan Rayna untuk mengajaknya keluar dari kantin.

°°°

Masih dalam posisi tangannya yang memegang kuat tangan Rayna, Alena terus mempercepat langkahnya hingga…Rayna menghentakkan tangannya yang menyebabkan lepasnya pegangan Alena padanya. Alena pun kaget, tak biasanya Rayna bersikap seperti ini.

"Lo kenapa sih? Ga ngerti gue." tanya Rayna.

Alena membalikkan badannya dan menatap wajah Rayna yang terlihat kebingungan, detik selanjutnya Alena langsung memalingkan wajahnya.

"Lo ga bakal bisa ngerti posisi gue, jadi sebaiknya lo nurut aja." jawab Alena dengan nada lirih, suaranya juga terdengar sedikit serak. Apakah Alena akan menangis dihadapan Rayna?

Buru-buru Rayna mengambil langkah untuk mendekat ke Alena, ia berdiri di samping gadis itu dan menatap kedua mata Alena.

"Kenapa matanya berkaca-kaca?." tanya Rayna di dalam hatinya. Tersirat sedikit kekhawatiran di dirinya.

"Ga ada apa-apa, ayo ke kelas." Alena menggelengkan kepalanya lemah dan mendongakkan kepalanya selama beberapa detik kemudian ia berbalik badan dan melanjutkan langkahnya menuju ke kelas, ia meninggalkan Rayna sendiri di lorong kelas.

"Sorry Ray, gue ga bisa jelasin apapun ke lo." ucapnya dalam hati.

Melihat sikap aneh Alena, Rayna hanya bisa menghela nafasnya dan mengusap wajahnya sedikit kasar, ia sangat bingung, kebingungan melihat interaksi canggung diantara ayah dan anaknya, sungguh pemandangan yang tidak biasa di matanya. Ia pun mengekori langkah Alena, tidak berkata apapun, setidaknya ia tidak ingin membuat urat-urat leher Alena mengeras.

Ia terus saja mengikuti Alena, pandangannya lurus ke arah punggung gadis itu tapi tidak dengan pikirannya, pikirannya mulai melayang jauh. Dari apa yang Papanya ceritakan padanya mengenai keluarga Haru, sang pemilik perusahaan terbesar di kota itu, kenyataannya yang baru saja ia lihat sungguh berbeda 360°.

Jika ia mendengar kehangatan keluarga itu saat menghadiri berbagai macam acara makan malam ataupun pesta perusahaan, kini di matanya ia melihat adanya perang dingin yang sedang berlangsung. Apalagi melihat sorot mata Alena, seakan gadis itu ingin sekali membuat laki-laki dewasa itu tadi segera enyah dari hadapannya. Demi apapun, sungguh Rayna ingin tertawa saat ini.

Brak...

"Lo jalan lihat-lihat, agh!," ucap Alena sedikit membentak karena Rayna menabraknya.

"Melamun aja terus, lanjutin terus, sampe lulus." lanjut Alena yang membuat Rayna terkekeh.

°°°

Bel pulang sekolah yang sudah dinanti-nantikan akhirnya berbunyi nyaring, mengakibatkan hampir seluruh siswa/i di sekolah itu berteriak kegirangan. Tak terkecuali Rayna, ia terus saja menyerukan kata 'huuuuu' setelah guru yang mengajar di kelasnya itu keluar.

"HUUU YEAY PULANG!." teriaknya kegirangan, membuat Alena terkekeh dan menepuk bahu Rayna pelan.

"Pulang yok pulang!!!." teriak Rayna lagi dan kali ini ia langsung menarik tangan Alena yang tadi menepuk bahunya keluar dari kelas.

Dan tanpa ia sadari, kini tangannya dan Alena saling bergenggaman, melewati ratusan siswa/i yang kini sudah menjadikan keduanya pusat perhatian. Tak jarang juga keduanya mendapatkan siulan yang disengaja, namun tetap saja keduanya belum sadar. Hadeuh....

Saat keduanya keluar dari gerbang, sepasang mata Rayna langsung melihat mobil berwarna donker milik Papanya, dan mungkin karena refleks, Rayna langsung melepaskan tangan Alena dan merapihkan bajunya. Setelah itu ia melambaikan tangannya ke arah mobil itu, berharap ada yang keluar dari sana.

"Ngapain lo?." tanya Alena yang bingung dengan sikap Rayna barusan.

"Eh gue duluan yak?." ucapnya, dan tanpa mendengar jawaban dari Alena, Rayna langsung saja berlari menuju mobil donker itu.

Rayna pun masuk ke dalam mobil itu, ia duduk di kursi depan. Menatap Papanya dan kaca luar secara bergantian, menarik perhatian Papanya.

"Ada apa kamu dengan gadis...anaknya Haru, kan?." tebak Papanya yang langsung mendapatkan ancungan jempol dari Rayna.

"Temen, eh...gitulah." jawab Rayna sambil cengengesan.

"Kamu pacaran sama anaknya Haru?!."

"Ngga, deket doang." jawab Rayna jujur.

"Pepet aja terus, gapapa. Keuntungan juga untuk keluarga kita."

"Tapi Pa...," ketika mendengar kata keluarga yang keluar dari mulut Papanya, raut wajah Rayna berganti seakan tengah memikirkan sesuatu.

"Keluarga Alena tidak seperti yang Papa ceritakan." sambungnya yang membuat laki-laki dewasa di sampingnya ini mengerutkan dahinya.

"Maksud kamu?."

"Mereka tidak sehangat yang Papa bicarakan, gadis itu," Rayna menunjuk Alena yang masih berdiri di dekat gerbang.

"Dia sangat dingin kepada Papanya, seakan ya begitulah, seperti ada gejolak emosi yang ia pendam dan itu sepertinya menciptakan perang dingin dengan keluarganya sendiri." raut wajah Rayna semakin terlihat kebingungan.

Gelak tawa Papanya pun tak dapat dielakkan lagi, entah mengapa menurutnya Rayna hanya meracau tak jelas, dan menganggap Rayna hanya salah mengartikan situasi keluarga Haru yang terkenal sangat harmonis itu. Ia pun mulai men-starter mobilnya dan melajukan mobil itu dengan kecepatan sedang.

"Aku tidak bercanda, Pa." ujar Rayna meyakinkan.

"Ya sudah, jangan dipikirkan. Lagipula bukan urusan kita, kan?."

"Tapi...kenapa mereka harus berpura-pura."

"Sudahlah, jangan dipikirkan."

"Iya, Pa."

Rayna pun menyerah, ia tidak lagi mengeluarkan kalimat apapun mengenai keluarga Alena kepada Papanya. Percuma saja baginya, toh Papanya juga tidak mempercayainya.

Ia melemparkan pandangannya ke arah kaca luar, memandang spion mobilnya dengan alis yang bertaut.

"Apa ada 'sesuatu' yang menarik di keluarga itu?." gumamnya pelan sembari tersenyum miring.

°°°°°°°°°°°°°°°°°°

Assalamualaikum.

Selamat Pagi/Siang/Sore/Malam.

Happy reading

Instagram : @meisy_sari

@halustoryid

Maafkan bila terdapat typo🙏🏻

Tinggalkan saran kalian❤

avataravatar
Next chapter