webnovel

Melepaskan Beban

Tentu saja kedua orang tua Pamela sangat terkejut, saat mendengar bahwa selama ini ada yang merampas uang jajan putri mereka.

Terlebih selama ini, mereka selalu menjadi orang tua yang perhitungan agar bisa mengumpulkan uang yang banyak.

Dan sekarang uang yang mereka berikan untuk putrinya malah digunakan oleh orang lain. Tentu saja mereka tak terima.

"Ayo, antarkan Ayah kepada teman-temanmu yang kurang ajar itu, Pamela!" pinta Devan penuh amarah.

Pamela segera menghentikannya amarah sang Ayah.

Ini tidak boleh terjadi, karena Agnes dan kawan-kawannya sudah mengembalikan uang-uangnya.

Pamela mencerikan hal ini karena dlia ingin agar bisa melepaskan kekesalannya kepada kedua orang tuanya, serta meminta maaf.

Namun Devian malah terbakar emosi.

"Sabar dulu, Ayah. Aku belum selesai bicara!" tukas Pamela.

"Ini sudah keterlaluan, Pamela! Teman-teman kamu itu sudah menikmati jerih payah kami dengan cara yang kotor!" ujar Devian.

"Tapi biarkan aku selesai bicara dulu, Ayah!" ujar Pamela.

"Sudah ayo—" Tiba-tiba Sopia menghentikan kalimat sang suami.

"Devian, biarkan putri kita menjelaskan!" tegas Sopia.

Akhirnya Devian pun mau menuruti perintah sang istri, dan membiarkan Pamela berbicara.

"Yasudah, ayo jelaskan!" titah Devian pada Pamela.

Sesaat Pamela menghela nafas, kemudian melanjutkan kalimatnya.

"Ayah, teman-teman yang merampas uang jajanku sudah mengembalikan semuanya. Dan aku menggunakan uang itu untuk membeli semua keperluanku! Temasuk membeli pakaian baru, dan semua hal-hal yang menyangkut penampilanku!" pungkas Pamela, namun Sopia tak suka mendengarnya kenyataan itu.

"Jadi selama ini kamu membeli barang-barang yang tidak berguna itu hanya demi penampilan? Apa pentingnya sebuah penampilan?!" pekik Sopia dengan nada yang marah.

"Penampilan sangat penting, Ibu!" sahut Pamela.

"Penting apanya? Apa kamu bisa mendapat nilai bagus dengan penampilanmu itu?!" timpal Sopia.

"Memang tidak bisa, tetapi setidaknya dengan begitu aku bisa dihargai oleh teman-temanku!" tegas Pamela.

Dan di saat itu tangisnya pecah. Ini adalah saatnya bagi Pamela untuk menjelaskan semua kepada orang tuanya. Tak peduli jika mereka akan marah, yang terpenting semua beban yang ada di dunia ini dapat ia lepaskan. Sebelum ia pergi untuk selama-lamanya.

"Ayah, Ibu ... apa kalian itu tidak merasa keterlaluan? Kalian selalu membatasiku untuk membeli barang. Bahkan aku terlihat buruk di depan teman-temanku. Kalau kalian bertanya 'apa penampilan itu penting?' jawabku adalah, 'penting!' karena penampilan buruk selalu membuat teman-temanku memandangku sebelah mata. Melecehkanku, menghina, bahkan menginjak-injakku. Kalian tahu tidak, jika kepelitan kalian yang bertujuan demi masa depanku itu ... perlahan merusak hidupku. Bahkan rasanya aku ingin mati saja! Tapi itu dulu. Beruntung sekarang aku menemukan cara lain. Dan aku akan merahasiakan cara ini dari kalian." Pamela bercerita seraya mengusap air matanya.

"Kalian, tidak pernah bertanya kepadaku tentang apa yang aku kubutuhkan. Kalian juga tak pernah menganggapku ada."

"Mungkin ada baiknya jika aku mati. Tapi itu terlalu bodoh. Hidup harus berjalan, dan aku harus melewati semua ini, meski sulit. Meski harus menahan beban omongan orang yang menagataiku 'Gadis Aneh' atau bahkan tak ada satu pun dari mereka yang mau berteman denganku. Yah ... kupikir aku hanya seonggok sampah yang tidak berguna. Akan lebih baik aku tak ada. Namun ...." Pamela menyeka air matanya lagi, kemudain melanjutkan kalimatnya.

"Namun aku tahu, sampah masih bisa didaur ulang dan masih bisa dipergunakan. Walau entah untuk apa ...."

"Aku tidak memaksa kalian untuk berubah. Aku hanya ingin kalain tahu apa yang sedang aku rasakan selama ini. Dan seburuk-buruknya kalian ... aku tetap mencintai kalian, karena kalian orang yang telah membesarkanku.

Aku ucapkan terima kasih ... dan maaf jika aku sudah berkata jujur, dan maaf jika selama ini, diam-diam aku membenci kalian ...." Pamela menudukkan kepalanya, dan suasana tampak hening, kedua orang tuanya menatap Pamela dengan nanar.

Kedua mata Sopia juga mulai berkaca, dia baru menyadari jika selama ini tindakannya itu salah.

Dia juga teringat dengan kata-kata yang pernah diucapkan oleh salah satu teman lamanya.

"Sopia, dia itu putrimu, ya?" tanya si Wanita.

"Iya, memangnya kenapa?" sahut Sopia.

"Kenapa dia terlihat dekil? Apa kamu tidak pernah mengajarinya berdandan? Apa dia tidak memiliki pakaian yang lebih bagus?"

"Maksudnya apa? Putriku Pamela memang tidak suka berdandan, dia juga tidak suka membeli pakaian baru. Kami selalu mengajarkannya hidup sederhana!" tegas Sopia.

"Sederhana ya, sederhana! Tetapi setidaknya dia harus setara dengan remaja seusianya. Kamu itu bukan orang tua yang teramat miskin, membelikan pakaian yang layak untuk putrimu masih sanggup, 'kan?"

"Yah, aku sanggup. Tetapi untuk apa? Itu tidak penting! Bisnis kami lebih penting! Dan itu juga untuk masa depan Pamela!" ujar Sopia.

"Ah ... itu berlebihan! Berhemat bukan berarti tidak bisa membelikan barang yang bagus sama sekali! Aku juga sedang menabung untuk usahaku! Tetapi aku tetap memprioritaskan kebutuhan putriku. Bahkan terkadang aku membelikannya barang tanpa dia menyuruhku!" ujar si wanita yang menjadi sahabat Sopia.

"Ya ampun itu boros sekali!" gumam Sopia.

"Tidak boros! Karena itu tanda kasih sayangku pada putriku. Dan dia juga membalasku dengan prestasi yang ia berikan. Eh ... Sopia, cobalah dekati putrimu dan ajak dia bicara. Aku lihat dia sedang tertekan!"

"Ah kau ini berlebihan! Putriku baik-baik saja!" jawab Sopia.

Obrolan itu baru mengena di hatinya sekarang.

Ketika Pamela mengakui segala penderitaannya selama ini.

Sopia baru menyadari jika selama ini dia terlalu menekan sang putri. Bahkan dia juga tidak pernah mengajak Pamela berbicara dengan baik, atau untuk sekedar bertanya kegiatan apa saja yang ia lewati saat berada di sekolah saja, tidak pernah.

Yang ada di pikiran Sopia dan Devian hanyalah uang, uang, dan uang.

Dia dan suaminya ingin usaha sovenirnya semakin berkembang, dan menjadikan itu alasan demi masa depan Pamela.

Padahal kenyataannya ... semua itu hanya keegoisan mereka saja.

Sopia tak tahan lagi membendung butiran bening yang hendak mengalir ke pipinya. Tangisnya pecah, dan dia segera memeluk Pamela.

"Maafkan, Ibu, Nak! Ini salah Ibu ...." Sopia membenamkan wajahnya dalam pundak Pamela.

"Ibu ...," Pamela tersenyum haru, ini adalah pertama kalinya Sopia memeluknya dan menangis dalam pelukan itu.

Kemudian Devian juga turut memeluk putrinya.

"Maafkan ayah, Nak. Ayah memang egois,"

***

Pamela benar-benar bahagia, dan ini juga sekaligus momen haru baginya.

Andai saja dia memiliki keberanian sejak dulu, mungkin dia tidak akan pergi dari dunia ini.

Namun dia memang orang yang payah. Kalau bukan karena Ximana, mungkin kehidupannya juga tidak akan pernah berubah sampai kapan pun.

"Aku memaafkan kalian, tetapi aku mohon agar kalian lebih memperhatikan Ximena, setelah aku pergi nanti," tukas Pamela. Dan pada saat itu pula, Sopia segera melepaskan pelukannya.

"Apa maksudmu? Dan Ximena itu siapa?" tanya Sopia.

'Astaga!' Pamela segera menutup mulutnya yang keceplosan.

"Ah, tidak. Maksudku, aku hanya ingin agar Ayah dan Ibu, lebih memperhatikanku lagi. Aku juga butuh perhatian kalian!" jawab Pamela yang mencoba meyakinkan kedua orang tuanya.

"Oh ... begitu, ya?" Sopia masih terlihat ragu. "Baiklah, Sayang ... Ibu akan berusaha!" jawab Sopia dengan tegas.

Bersambung ....