Pamela memandang kearah cermin, lalu dia mulai memusatkan pikiran, dan tak lupa mengucapkan mantra yang diajarkan oleh Ximena.
Cermin itu bercahaya, dan mengeluarkan lubang yang berputar-putar pada sisi kaca.
Lubang itu perlahan menghisap tubuh Pamela, hingga ia lenyap secara perlahan, dan masuk ke dalam cermin.
Cahaya kian terang, kemudian mendadak padam dan Pamela sudah menghilang beserta dengan cerminnya.
"Selamat jalan, Tuan Putri Pamela," ucap Camelia seraya menyeka air mata di pipinya.
Kemudian perempuan paruh baya itu mulai merapikan kamar, untuk menyambut kedatangan Ximena.
***
Perjalanan antar dimensi telah berakhir, secara ajaib, tiba-tiba tubuh Pamela terjatuh di atas kasur.
Dia masih menggunakan gaun indah milik Ximena.
"Wah, aku sudah sampai di kamarku, ya?" gumam Pamela seraya mengedarkan pandangan menyisiri ruangan.
"Kamarku terlihat berbeda, dan ... itu?" Pamela bangkit dari atas kasur, dan ia berjalan mendekati cermin.
"Ada banyak sekali alat kosmetik?"
"Apa, Ximena yang telah membelinya?"
"Ah, tapi ... dari mana dia mendapat uang?"
Pamela meraba dan mengecek satu per satu produk kosmetik itu. Benar-benar menakjubkan, di meja riasnya dipenuhi dengan alat kosmetik lengkap serta pernak-pernik khas para gadis.
Kemudian Pamela juga membuka lemari pakaiannya, dia mendapati seluruh pakaian lamanya terganti dengan pakaian baru yang jauh lebih modis.
"Siapa yang membelikan semua ini? Tidak mungkin Ibu dan Ayah, 'kan? Mereka itu sangat perhitungan," gumam Pamela.
Dia masih heran dengan semua ini, dan bertanya-tanya tentang dari mana Ximena mendapatkan uang.
"Pamela," panggil Ximena seraya membawa piring berisi makanan.
"Kamu sudah datang ternyata!" Perlahan dia menaruh piring itu di atas meja.
"Hei, ayo duduk di sini!" suruh Ximena pada Pamela.
Kemudian mereka mengobrol di atas kasur, sembari menyantap kue kering buatan Ximena.
"Bagaimana keadaan istana?" tanya Ximena.
"Baik, kok! Aku sangat betah tinggal di sana!" jawab Pamela penuh antusias.
"Benarkah?"
"Tentu saja, Ximena! Bahkan kalau tidak memikirkan perjanjian kita, aku tidak akan pulang!"
"Wah! Aku turut senang mendengarnya!" ujar Ximena dengan raut bahagia. Dalam hatinya berkata, 'aku yakin jika Ibu, belum menceritakan tentang perjodohanku dengan Pangeran Drak Sialan, itu,' Ximena tersenyum samar.
'Bagus, ini artinya kesempatanku untuk lari dari istana terbuka lebar. Dan setelah ini, aku yakin Pamela akan setuju untuk tinggal di istana Violet selama-lamanya,' bicara Ximena di dalam hati.
Wajahnya masih tersenyum, seraya memandang Pamela yang tengah asyik menyantap kuenya.
"Kue ini, kamu yang membuatnya?" tanya Pamela. Dan Ximena menganggukan kepala sebagai jawaban.
"Bagaimana? Enak tidak?" tanya Ximena.
"Em! Enak!" jawab Pamela. Kemudian dia memindah topik pembicaraan.
"Ximena, kupikir kamu tidak bisa baradaptasi dengan baik, ternyata dugaanku salah. Justru kamu malah terlihat bahagia di tempat ini," ujar Pamela.
"Yah, aku sudah berdaptasi dengan baik. Bahkan jauh lebih baik dari yang kamu kira!" jawab Ximena dengan bangga.
"Ah! Hebat!" Pamela sampai bertepuk tangan menanggapi Ximena.
"Terima kasih, aku juga sangat bangga terhadapmu, Pamela. Kerena kamu bisa beradaptasi dengan baik di istana," ujar Ximena.
"Tentu saja, hal itu juga berkat buku panduan darimu, serta aku selalu dibantu oleh pelayan pribadimu,"
"Oh, maksudmu, Camelia, ya?"
"Yup, benar!" jawab Pamela.
Mereka menghabiskan malam untuk mengobrol berdua. Bukan hanya Pamela yang bercerita tentang pengalamannya selama berada di istana, Ximena juga menceritakan banyak hal tentang kehidupannya menjadi manusia.
Semua di luar kekhawatiran Pamela. Ximena benar-benar menikmati kehidupannya menjadi manusia.
Salah satunya, saat pertama ia masuk ke sekolah, dan pandangan sinis serta mencela terus mengarah kepadanya.
Dari situ Ximena mulai menyadari ada yang salah dengan penampilannya.
Dia membandingkan penampilannya dengan penampilan gadis lain. Ternyata ia memang terlihat aneh, kuno, tidak modis, dan tidak menarik. Ximena harus mengubah penampilannya ini.
Akan tetapi ... untuk berdandan cantik membutuhkan banyak uang. Sementara bulan ini dia tidak memegang uang jajan sama sekali, dikarenakan jatah uang jajannya habis.
Ini semua karena ulah Agnes dan kawan-kawannya.
Bertepatan saat itu juga, ia melihat Agnes, Emily, serta Julia tengah lewat di depannya. Tentu saja, Ximena tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini.
Perlahan dia berjalan mendekat.
"Hei, kalian!" panggil Ximena.
Agnes tesentak kesal melihat orang yang sering ia bully itu, tiba-tiba manggilnya dengan suara yang tidak sopan.
"Hei, Jelek! Ada apa kau memanggil kami?!" tanya Agnes dengan suara sinis.
Ximena yang saat ini sedang menjadi Pamela tampak tersenyum santai.
"Siapa yang menurunkan kalian dari atas pohon besar?" tanya Ximena.
Dan dengan sikap Emily menjawab pertanyaan Ximena.
"Seorang Tuna Wisma—"
"Diam!" bentak Agnes memotong kalimat Emily.
"Itu bukan urusanmu! Dan dengar Pamela! Jangan sok berani di depan kami! Meski kamu memiliki seorang teman penyihir sekalipun!" ancam Agnes terhadap Ximena.
"Ah, begitu ya? Tapi kalau semisal, temanku yang kemarin memberikan sedikit kekuatannya kepadaku, bagaimana?" tanya Ximena, bibirnya masih tersenyum manis, dan memiliki banyak arti.
"Apa maksudmu?!" pekik Agnes, "jangan menakut-nakutiku dengan omong kosongmu itu!"
"Omong kosong?" Ximena menggerakkan jari telunjuknya kearah Agnes, dan secara ajaib satu kancing baju Agnes terbuka.
"Upps, hanya 1 kancing! Bagaimana kalau 5 kancing lagi?" ujar Ximena.
Agnes tampak panik melihat kancing bajunya yang terbuka. Lalu Ximena mengarahkan jarinya pada bagian rok, dan mendadak rok yang dipakai Agnes menjadi kendor, serta nyaris melorot.
"Ah, rokku!" teriak Agnes, "Emily, Julia! Ayo cepat bantu!" sergah Agnes pada kedua sahabatnya.
"Iya!" Julia segera memegangi rok milik Agnes.
Sementara Emily memegang kancing baju Agnes.
"Satu jariku bisa menelajangimu dalam sekejap saja lo, kau mau mencobanya?" tanya Ximena.
"Jangan! Aku mohon jangan, Pamela!" pinta Emily dengan wajah memelas. Agnes juga sudah tak mau berdialog lagi, begitu pula dengan Julia.
Mereka bertiga tampak ketakutan terhadap Ximena.
Dan kini mereka percaya jika Pamela telah mendapatkan kekuatan dari temannya yang seorang penyihir.
Padahal orang yang ada di hadapan mereka adalah Ximena, bukan Pamela.
"Baiklah, aku tidak akan menggangu kalian, akan tetapi ada syartanya!" ujar Ximena.
"Baiklah, kau mau apa?" tanya Agnes.
"Aku hanya ingin kalian mengembalikan seluruh uang jajanku yang pernah kalian rampas!" pinta Ximena.
Tentu saja ketiga gadis itu tampak keberatan, namun mereka tidak memiliki pilihan lain.
"Tapi uang jangan kamu itu sudah habis, lagi pula kami mengambilnya hanya sedikit, 'kan?" protes Agnes.
"Sedikit, ya?" Ximena mengernyitkan dahinya, "tapi dimulai sejak kapan kalian mengambilnya?" tanya Ximena.
"Em ... sejak pertama kamu masuk sekolah ini," jawab Agnes dengan wajah menunduk.
"Bagus, sekarang kalian sudah tahu, 'kan, berapa banyak uang yang telah kalian ambil?" tanya Ximena, dan ketiga gadis itu mengangguk secara kompak.
"Baiklah!" Ximena tersenyum menang. "Kalian bisa mencicilnya setiap hari!"
Bersambung ....