webnovel

More Together

Ketika berada di Hawaii dan di Paris, Edgar sering menggunakan mobil-mobil mewah yang entah di dapat dari mana, jujur Alessa meragukan semuanya sekarang. Pasalnya mobil-mobil itu kini tidak tau ada di mana keberadaannya, sehingga Edgar mengajak untuk berjalan kaki.

"Kau ingin tau mengapa aku mengajakmu berjalan kaki?"

Alessa menoleh, hanya untuk menatap pria tampan berkulit pucat di sampingnya sekarang. "Mana ku tau. " Alessa mengendikkan bahunya acuh.

Edgar berdecak dan menyentil hidung Alessa gemas. "Kau harus menjawabnya 'kenapa', bukan 'mana ku tau'. " Edgar menirukan gaya bicara Alessa ketika mengatakan 'mana ku tau'.

"Hm. Iya kenapa?" tanya Alessa malas.

"Agar aku bisa menggenggam tanganmu seperti ini. " Edgar menyatukan tangan mereka berdua, menjalin jari-jemari agar saling bertautan. Sontak Alessa berhenti berjalan.

Tangan dingin Edgar tidak membuatnya merasa dingin sama sekali, malah ia merasakan ada perasaan hangat menjalar di sekujur tubuhnya, terutama di jantungnya yang sekarang sudah berdetak hebat.

Buru-buru Alessa melarikan pandangan dan melepaskan tautan tangannya dengan cepat. Wajah wanita itu memerah sekarang.

"Ada apa? Kau tidak suka?"

Alessa menolehkan kepalanya kesana kemari bingung menjawab apa.

"Tidak, aku hanya tidak terbiasa, " jawabnya salah tingkah. Edgar tersenyum kecil.

"Kalau begitu kau harus membiasakannya. " Edgar kembali menyatukan tangan mereka.

Sungguh tidak bisa di hitung lagi berapa kecepatan laju detak jantung Alessa sekarang. Perasaan gilanya membuncah, padahal hanya berpegengan tangan. Oh, astaga, Alesaa sudah seperti remaja yang baru jatuh cinta.

Untungnya jalanan pada saat ini tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa mobil yang melaju, Alessa tidak merasa lelah sedikitpun, bahkan mereka kini sudah sampai di sebuah taman.

Di tengah-tengah taman terdapat hamparan rumput halus yang di naungi pepohonan rindang. Alessa dan Edgar mengambil tempat di sana.

Alessa duduk selonjoran dengan kepala menengadah ke atas menatap langit-langit.

"Edgar," panggil Alessa.

Edgar bergumam sebagai jawaban dan melirik Alessa sekilas.

"Bagaimana kehidupanmu di bangsa vampire?"

Terdengar helaan napas dari Edgar sebelum menjawab. "Biasa saja, bahkan menurut ku sangat membosankan."

"Dan bagaimana tentang orang-orangnya, dan Orangtuamu?" tanya Alessa lagi sambil menatap Edgar yang sepertinya tidak suka pembicaraan tentang keluarga, terlihat dari ekspresi Edgar yang mendadak berubah.

"Orang-orangnya juga biasa saja, tak ada yang menarik dan tentunya tidak ada yang secantik dirimu. " Wajah Alessa memanas. Vampir ini terus-menerus menggodanya.

"Berhenti menggodaku!" seru Alessa kesal.

"Baiklah-baiklah."

"Kau belum menjawab pertanyaanku."

"Sudah ku jawab."

"Tentang Orangtuamu, Edgar."

"Singkatnya, Ayahku adalah Raja vampir, dan Ibuku ... Sudah tiada, aku bahkan tidak tau seperti apa wajahnya."

Alessa mencelos, hatinya terasa sakit. Selama ini ia hidup dengan kedua Orangtua yang sangat sayang padanya. Ia tidak bisa membayangkan jika nanti harus kehilangan salah satunya.

Alessa mengusap punggung Edgar pelan. "Hey, mengapa kau yang sedih aku bahkan biasa-biasa saja. " Edgar menangkup kedua tangan Alessa. "Untuk sekarang aku punya ini, orang ini yang akan menemaniku," ujar Edgar sambil mengusap pelan punggung tangan Alessa.

"Maafkan aku." Sesal Alessa.

"Tidak apa, kau tidak salah. Mau mendengar sesuatu yang menarik?" tawar Edgar, mengalihkan topik pembicaraan.

"Apa?"

"Kau pernah dengar tentang manusia serigala?"

"Pernah, aku pernah melihatnya di film."

"Kau percaya?"

Alessa mengernyit bingung. "Ya ... Mungkin," jawab Alessa ragu.

"Manusia serigala adalah musuh para vampir ... Kami saling bermusuhan dan saling membunuh. Dan yang terakhir kali para manusia serigala mendapatkan sebuah rahasia bangsa vampir, yang bisa membuat bangsa vampir musnah. " Alessa sedikit kebingungan.

"Apa nya yang menarik? Jadi mereka benar-benar ada?"

"Hm, ya, menarik saja. " Edgar tertawa setelahnya, seolah itu adalah sebuah lelucon.

"Jika para vampir musnah itu berarti kau juga?"

"Hm, ya. Mungkin. "

"Kenapa bisa? Rahasia apa?"

"Aku juga tidak tau, dan Raja vampir memerintahkanku untuk mencari seseorang pemilik darah abadi."

"Jadi maksudmu ada penangkalnya?"

"Kau benar."

"Siapa orangnya?" tanya Alessa penasaran. Edgar mengusap pipi Alessa pelan.

"Aku sudah tidak berniat mencari

orang itu."

"Karena orang itu sekarang ada di depanku," ujar Edgar dalam hati.

***

Alessa kembali melakukan aktivitas paginya yang sudah lama tidak ia lakukan, sudah berbulan-bulan ia tidak jogging di taman.

Kaki jenjangnya melangkah santai di jogging track. Rambutnya yang di kucir kuda melambai lambai di udara. Sesekali Alessa mengelap keringat di pelipisnya menggunakan handuk yang tersampir di bahu.

Alessa menunduk membenarkan tali sepatu yang terlepas. Ketika sedang mengikat tali sepatu, seseorang berdiri di depan Alessa. Alessa mendongak, lantas mendapati Edgar yang sedang tersenyum tipis kepadanya.

"Edgar!" seru Alessa kaget.

"Sedang apa kau disini?" tanya Alessa.

Alih-alih menjawab Edgar malah berjalan melewati Alessa.

"Edgar kau belum menjawab pertanyaanku?!" teriak Alessa kesal, spontan Edgar menghentikan langkahnya.

Edgar menangkup pipi Alessa. "Kau tidak suka aku disini? Aku hanya sedang menjagamu."

Lagi, perasaan Alessa kembali menghangat, namun ia segera menepis tangan Edgar dari wajahnya.

"Sungguh alasan yang tidak masuk akal," cibir Alessa sembari melanjutkan joggingnya. Edgar mengikuti langkah Alessa.

"Kau pikir apa lagi yang ku lakukan jika bukan menjagamu disini? Membunuh seseorang disini terlalu beresiko, bukan?" tanya Edgar sembari memperhatikan sekitar yang memang ramai pada pagi ini. Terlihat beberapa wanita muda menatap terang-terangan kepadanya.

Pagi ini Edgar mengenakan kaus berwarna abu-abu dengan motif garis-garis yang di padu padankan dengan celana pendek selutut berwarna putih lengkap dengan sepatu sport berwarna senada. Tidak ada mantel tebal dan sarung tangan.

Rambut Alessa yang di kucir kuda bergerak-gerak di udara ketika Alessa berlari kecil.

"Kau haus lagi?" tanya Alessa tanpa menolehkan kepalanya.

"Tidak terlalu."

"Kalau begitu jangan membunuh!"

"Tidak, wanita di sampingku terlalu menarik untuk ditinggalkan."

Alessa mengulum senyum, dan mendaratkan tubuhnya di atas bangku taman.

"Kenapa berhenti?" tanya Edgar yang sekarang sudah duduk di samping Alessa.

"Aku haus," jawab Alessa sambil mengelap keringat dengan handuk kecil.

"Kau ingin darah juga?"

"Bukan haus itu. Lagi pula aku bukan vampir sepertimu."

"Edgar, tolong belikan minuman yang di sana, aku ingin itu," rengek Alessa layaknya anak kecil.

"Kau harus ikut, aku tidak ingin membelinya sendiri. Kau ingat kejadian di Hawaii? Lengah sedikit saja kau bisa menghilang dari hadapanku, aku tidak ingin hal itu terjadi lagi," gerutu Edgar panjang lebar.

Alessa berdecak kesal. "Aku tidak akan pergi, percayalah. Cepat sana!" usir Alessa sambil mengibaskan tangannya di udara.

Edgar menghela napas pasrah. Alessa adalah wanita pertama yang berani memerintah dirinya. Untung Edgar menyukai Alessa, jadi Alessa tidak akan celaka.

***