webnovel

Tidak Setuju

Mendengar suara Kahfi, aku menarik diri. Gelap. Aku takut gelap. kedua Kaki aku naikkan ke atas kursi. Memeluk lutut erat.

Teringat kembali peristiwa 10 tahun silam. Saat aku disekap oleh seseorang dalam sebuah ruangan gelap. Sendirian. Tiga hari bagai tiga tahun.

Tiap malam aku menangis seorang diri di sebuah ruangan mirip gudang. Tidak ada lampu. Hanya titik cahaya yang tembus dari pentilasi Jendela.

Sampai akhirnya, ada salah satu warga setempat yang mendengar tangisanku di malam hari. Dan membebaskanku secara diam-diam.

Sejak kejadian itu, saat hendak tidur selalu ada senter di samping bantalku. Jaga-jaga bilamana mati lampu.

"Cha, Cha, buka matamu, sudah terang!!" Resti mengguncang bahuku, ia terdengar sangat cemas. Perlahan aku membuka mata.

"Aaaaarrrrgggghhhh ... Setaaaannn ...." Dihadapanku terlihat wajah perempuan seram.

"Icha, ini aku Resti!"

"Res, senternya jangan taro di depan muka kamu!" Idris berseru, menepuk punggung sahabatku.

"Oh, Ya ampuuun ... Icha, Udah buka matanya jangan takut, kan ada aku, Idris dan Kahfi."

Mataku sedikit melihat cahaya, dari senter di atas meja. Aku menghela napas. Tangan dan kakiku terasa dingin.

"Minum dulu, Cha" Kahfi menyodorkan segelas air putih. Aku mengambilnya, langsung meneguk hingga habis.

"Istighfar ...." Katanya lagi, menatapku lekat.

Aku malu karena tadi sempat memeluknya tapi sungguh tidak disengaja. Aku benar-benar trauma. Takut suasana yang gelap. Resti memeluk bahuku. Mencoba menenangkan. Resti memang sudah tahu rasa trauma yang aku alami.

"Tenang ya, udah gak apa-apa." Aku lihat Kahfi duduk di sebelah Idris, dia tersenyum.

"Cha ... Kalau belum bisa cerita soal Erin sekarang, gak apa-apa," ucap Kahfi lembut. Sepertinya dia mulai mengerti akan keadaanku.

"A-aku udah gak apa-apa." Hal Ini yang aku takutkan kalau keluar malam. Takut tiba-tiba mati lampu. Aku menarik napas panjang. Mengubah posisi duduk, agar lebih santai.

"Gak apa-apa, Cha. Bentar lagi juga lampunya nyala." Resti mengusap-usap punggungku. Alhamdulillah sudah sedikit lebih tenang.

"Makasih ya, Res."

"Iya, sama-sama."

"Resti, Kahfi, Idris ... aku minta maaf sebelumnya. Aku gak bisa cerita soal penyakit Erin. Kalian lebih baik tanya ke Ummi Hana. Beliau tahu kok. Aku ... aku takut salah ngomong."

Kahfi manggut-manggut, sementara Resti dan Idris malah cemberut. Aku tahu mereka pasti penasaran.

"Okelah aku ngerti. Biar besok aku ke rumah Ummi. Sekalian silaturrahmi. Kamu, Dris, Res, mau ikut gak?" tanya Kahfi melihat dua sahabatku bergantian.

Resti dan Idris saling pandang. Lalu kompak mengangguk.

"Baiklah, kami akan ke rumah Ummi Hana," ucap Idris mewakili jawaban Resti.

"Kalau kamu, Cha? Ikut aja ya? Maleslah dikacangin ama dua orang itu. Biar aku ada temennya, Cha."

Aku hanya mengangguk perlahan. Mengerti maksud perkataannya. Idris dan Resti memang sudah lama menjalin asmara. Hanya saja sekarang mereka sedang long distance relationship atau LDR.

"Mau jam berapa ke rumah Ummi?" Idris memastikan waktu berkunjung kami ke rumah wanita yang disegani dan dihormati oleh masyarakat kampung kami.

"Sorean aja, setelah Shalat Asar. Gimana?" Kahfi memutuskan waktu keberangkatan kami.

"Oke." Kami menjawab serempak.

"Eh, ayo dong diminum airnya. Cemilannya dicicipi tuh!" Resti mengingatkan kami akan jamuan dan empat gelas teh manis yang mulai dingin.

Idris langsung mengambil cemilan yang disediakan oleh Resti. Sementara Kahfi mengeluarkan gadget.

"Oh iya, Beb. Gimana tuh ceritanya bisa ditawarin main film?" Bagus ... Idris membahas persoalan Resti. Setidaknya permasalahan Erin teralihkan.

"Hm ... gimana ya? Tapi belum aku terima sih!" jawab Resti sambil terus melirik ke arahku.

"Kok gak diterima sih, Beb? Ini kan impianmu dari dulu. Kesempatan gak datang dua kali, Beb."

Sepertinya Resti belum cerita soal sensasi yang disarankan Produser. Kalau Resti udah cerita, aku yakin, Idris tidak akan setuju.

"Anu ... hm ... Cha, bantuin ngomong dong?!" Bukannya menjawab pertanyaan Idris, Resti malah memintaku untuk bantu menjelaskan.

"Ngomong yang sensasi itu?" Aku memastikan maksud Resti, sahabatku mengangguk.

"Jadi gini, Dris." Mendengarku mulai bicara, Kahfi memasukkan kembali handphonennya lalu menatapku lekat. Tapi aku pura-pura tak peduli.

"Resti emang dapat tawaran main film. Cuma ... produser filmnya minta, kalau Resti bikin sensasi supaya orang-orang semakin tertarik sama film yang akan dia mainkan. Benar gak, Res?" Resti mengangguk ragu-ragu.

"Sensasi? Sensasi apaan?" Idris meminta penjelasan lebih.

Aku kembali menoleh pada Resti yang raut wajahnya tampak cemas atau mungkin takut. Sebenarnya dia pasti sudah dapat menduga kalau Idris tidak akan setuju dengan sensasi itu.

"Resti disuruh bikin sensasi kawin kontrak sama aktor yang udah punya istri," ucapku tegas. Biar sajalah Resti mendapat saran dari kedua sahabatku.

"Apaa???" Serempak, Idris dan Kahfi bertanya. Aku menarik napas lagi.

"Kawin kontraknya beneran atau cuma settingan?" Giliran Kahfi yang memastikan.

"Be-beneran ...." lirih Resti menjawab pertanyaan Kahfi.

"Ya ampun, Beb ... terus, kamu mau gitu aja terima syarat dari produser???" Suara Idris terdengar agak meninggi. Kahfi memegang bahu pacar Resti agar tetap tenang.

"Sabar, jangan emosi dulu. Kita dengar kejelasan Icha atau Resti." Kahfi mencoba menenangkan. Idris sudah terlihat malas-malasan. Dia membuang muka ke arah lain.

"Tapi, ini kesempatan aku, Beb. Aku udah menunggunya lama. Masa sekarang aku tolak? lagian kan, aku cuma nikah kontrak? Bukan nikah beneran." Kilah Resti. Aku hanya menggelengkan kepala. Rupanya saranku tadi siang hanya dianggap angin lalu.

"Astaghfirullah ... Res, nikah kontrak atau nikah mut'ah hukumnya jelas HARAM!"

Resti memajukan bibirnya beberapa senti. Dia nampak tak suka dengan penjelasan Kahfi.

"Oooh ... Jadi ceritanya kamu mau terima tawaran sensasi murahan itu? Dia udah siap Cha, bakal dicap artis PE-LA-KOR!!!" Nada suara Idris terdengar meledek dan penuh penekanan. Wajahnya ia palingkan ke sebelah kiri. Melihat jalanan yang masih gelap gulita.

"Ini cuma buat sensasi aja, Beb .... " Resti membela diri. Bibir Idris tersenyum sinis.

"Sensasi juga nikahnya beneran! Yang namanya orang nikah ya mau gak mau harus mau ditidurin sama suaminya!!" Idris kelihatan sangat geram.

Menatap Resti dengan tajam.

"Resti, jangan hanya karena ketenaran dunia, kamu rela menggadaikan akidahmu. Dunia ini cuma sementara. Lagi pula, masih banyak cara lain kalau emang kamu ingin buat sensasi. Dan ingat, jangan sampe membohongi publik. Kebohongan tetap kebohongan apapun bentuknya." Kahfi menasehati, Resti tidak menimpali dia justru mengikat asal rambut panjangnya.

"Hmmm ... Resti, jangan marah ya. Kami sayang kamu, peduli sama kamu. Kita bertiga ini hanya mengingatkan. Keputusan tetap ditangan kamu. Sahabat yang baik tidak akan menjerumuskan ke lembah yang buruk untuk sahabatnya sendiri." Aku mengusap punggung tangannya. Kemudian menempelkan pipi kami berdua. Resti hanya terdiam. Ia tampak sedang berpikir keras.

"Aku berharap, kamu tidak mengalami penyesalan atas keputusanmu nanti, Res." Doaku dalam hati.