webnovel

Diantar Pulang

Esok harinya, selepas Shalat Magrib, kami silaturrahmi di rumah Ummi Hana, kami berempat memutuskan berkumpul dahulu di kediaman Resti.

Di rumah Ummi dari jam lima sore sampai lewat Shalat Isya kami baru pulang. Ummi melarang pulang saat selesai shalat Magrib berjamaah. Beliau menawarkan makan bersama. Tak enak rasanya jika ditolak. Jadilah setengah delapan malam kami baru pulang.

Ummi bercerita apa yang Erin ceritakan pada kami beberapa waktu lalu. Tentunya ada hal-hal yang tidak disampaikan. Misalnya persoalan Erin dengan Tuan Ali. Ummi juga berpesan, agar kami memberi suport dan mendoakan untuk kesembuhan anak pertama Bu Laksmi itu.

"Aku langsung pulang aja ya?" cetusku saat tiba di depan gerbang rumah Resti. Masalahnya aku gak bawa motor, waktu ke rumah Ummi boncengan sama Resti.

"Ntar dululah, Cha. Baru jam delapan," ucap Resti tak suka.

"Kita cari tahu soal penyakit Erin dulu. Kalau Erin gak mau bicara sama kami, paling gak sama kamu dia mau terbuka. Makanya kamu harus tahu." Kahfi mendukung ucapan Resti. Aku menghela napas, mau tak mau mengangguk.

Kahfi dan Idris mencari tahu tentang penanganan penyakit Erin dari google.

Aku dan Resti menyimak. Sesekali kami menanggapi.

"Kita harus tanyain dulu, sudah sejauh mana virus itu menyebar. Ini ada tingkatan penanganannya," ujar Kahfi. Tatapan matanya tak lepas dari benda Android di tangannya.

"Kira-kira, Erin mau ngasih tau gak ya?" tanyaku ragu. Aku khawatir Erin tidak seterbuka denganku dan Ummi pada mereka.

"Dicoba dulu lah, Cha. Kebangetan kalo dia gak ngasih tau. Ditolongin masa gak mau?" Idris berkata sinis. Entah kenapa, sejak Resti ingin membuat sensasi untuk film-nya, cara bicara Idris agak ketus.

"Beb, kamu kok ngomongnya gitu?" protes Resti dengan menimpuk kulit kacang pada Idris.

"Gitu gimana? Aku sih ya, bukannya gak peduli sama Erin. Cuma … gak habis pikir aja, bisa-bisanya …." Idris tidak meneruskan kalimatnya. Aku tahu, tidak hanya Idris, aku pun awalnya sangat kecewa. Tetapi walau bagaimana pun, nasi sudah menjadi bubur. Erin telah mengidap penyakit mematikan itu. Sekarang yang kami lakukan sebagai seorang sahabat, hanya menasehati agar ia lebih baik lagi dan mau melakukan pengobatan.

"Udahlah, Dris …." Potong Kahfi, "Aku kan udah bilang, mungkin Erin sedang khilaf, atau dia memang gak tahu hukum nikah tersebut. Kayak Resti, husnuzhon aja," lanjutnya, terkesan membela Erin. Meskipun hatiku agak cemburu tetapi aku tahu, kalau maksud Kahfi sebenarnya sangat baik.

"Terus kamu, Res. Masih mau ngejalanin kawin kontrak? Sensasi murahan itu?" Nada suara Idris sinis. Ia mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

"Kagak. Besok habis pemotretan aku langsung nemuin produsernya, aku tolak!" sahut Resti tegas, memanyunkan bibirnya beberapa centi.

"Nah … gitu dong." Idris duduk di samping Resti, menjawil hidung mancungnya. Tubuhku dipepet. Hampir jatuh karena sekarang posisiku di ujung bangku.

Aku melirik arloji. Aduh, gimana pulangnya nih? Kulihat jalanan. Gelap.

Horror juga kalau pulang sendirian. Walaupun dekat, tapi kan kalau sudah malam begini horror juga. Jadi nyesel tidak bawa motor. Kalau bawa motor kan bisa sedikit ngebut. Kalau jalan kaki, masa harus lari? Malu kalau kepergok orang.

"Hmmm … sorry, aku pulang duluan ya?"

Aku harus segera pulang. Mereka sih enak bawa motor, lah aku jalan sendirian.

"Ya elah, Cha … nanti dulu pulangnya. Buru-buru amat sih?" Aku mendesah kecewa mendengar suara Resti.

" Takut kemaleman. Aku kan ke sini jalan kaki. Sorry ya." Tak kupedulikan ucapan Resti.

"Anterin sama kamu aja, Fi. Kasihan tuh si Icha." ujar Idris, menyenggol lengan Resti.

"Iya, Fi … anterin dulu gih. Gak usah pake motor jalan kaki aja. Deket kok rumahnya," Resti mengerlingkan sebelah matanya.

Dih, nih anak apa maksudnya coba? Laki-laki berwajah timur tengah itu mendongak dari gawainya.

"Oh, kamu mau pulang, Cha?" tanya Kahfi memastikan. Sebenarnya aku tidak enak kalau pulang diantar dia.

"Iya, tapi gak usah dianter, biar aku sendirian aja." Lebih baik aku berkata seperti itu dulu saja, soalnya sakit hati kalau sampe dengar penolakan Kahfi.

'Gak boleh, aku gak boleh takut.' Tekadku dalam hati.

"Pinjem senter dong, Res. Aku gak bawa hape."

Resti beranjak ke dalam rumah. Tak lama ia keluar dengan senter di tangan.

"Nih! Hati-hati pulangnya!" Aku meraih senter dari tangan Resti. Lalu berdiri.

"Aku pulang duluan ya!"

Kahfi masih tetap tidak menjawab. Iya, aku juga tau Fi, kamu gak bakal …

"Ayo, Cha, aku anter," katanya kemudian. Dia berdiri. Berjalan menyusulku.

Aku tak percaya, Kahfi mau jalan berdua denganku. Resti dan Idris senyum-senyum.

"Gitu dong, semut di seberang lautan kelihatan. Gajah di pelupuk mata gak kelihatan," ucap Idris diselingi gelak tawa. Apa sih maksudnya? Dasar kriwil gaje!

"Betul, Beb," sahut Resti, telapak tangan diadukan.

"Toooss!!" suaranya kompak.

"Maksud kalian apa sih?"

Tuh kan ... Kahfi tidak suka kalau mereka mengejek kami.

Gimana kalau dua makhluk ini membocorkan tentang perasaanku pada Kahfi? Bisa gawat!

"Enggak! Gak ada maksud apa-apa. Udah sana pulang! Tolong jagain Icha ya, Fi. Jangan sampe lecet!"

Ya Allah si Resti mulutnyaaa .... aku hanya menggeleng-gelengkan kepala.

Kami pun meninggalkan Idris dan Resti yang masih cekikikan gak jelas.

Kahfi kubiarkan jalan di depan. Tangannya memegang senter. Grogi kalau jalan berdampingan.

Sepanjang jalan kami tak ada pembicaraan di antara kami. Aku mengitari sekeliling. Bulu kuduk sedikit meremang. Kulihat dari kejauhan ada sosok putih di depan pohon pisang. Aku mengucek-ucek mata, memastikan, kalau itu hanya halusinasi. Benar, itu sosok putih. Aku menutup mulut agar tak menjerit.

Langkah kaki kusejajarkan dengan Kahfi. Aku jalan sambil merunduk. Mulut komat kamit baca ayat kursi.

Namun, tiba-tiba ...

Kakiku masuk comberan. Tangan kiri menarik kaos Kahfi, hingga tubuhnya terhuyung. "Eh, eh, Cha …. "

Bluusshh!!

Kami berdua masuk comberan!!

Ya Allah … rutukku dalam hati.

"Astaghfirullahalazhim!" pekik Kahfi. Senternya di arahkan kepadaku.

"Kamu gak apa-apa, Cha?" Aku menggeleng.

"Enggak, aku gak apa-apa. Maaf ya, Fi, kamu jadi …."

"Udah gak apa-apa. Ayo, sini!" Perintahnya, mengulurkan tangan. Kakiku terpendam. Sendal tak bisa aku selamatkan.

Aku pun menyambut uluran tangan Kahfi. Darurat. Susah payah, aku mengangkat kaki. Celana kami penuh dengan air comberan bercampur lumpur dan tanah. Bau.

Dan, untuk kedua kalinya aku malu. Parah!

Selesai membantuku, Kahfi terkekeh. "Kamu tuh kenapa sih, Cha? Tadi gak lihat ada comberan emang?" Aku diam tak menjawab.

Kalau aku bilang lihat sosok putih di pohon pisang, pasti dia tidak percaya.

"Maaf …." ucapku lirih. Dia menoleh, tersenyum.

Aku lihat kaki Kahfi, dia masih memakai sendal. Sedangkan aku? Ah, mudah-mudahan Kahfi gak sadar kalau aku tidak pakai sendal.

"Itu rumahmu, kan?" tanyanya menunjuk cat warna biru langit.

"Iya." Tiba di depan teras rumah, aku gak berani menginjak lantai.

"Fi, anter aku ke samping rumah dong. Ketok-ketok jendela kamar Ibu." Pintaku.

Terserah deh kalau Kahfi berpikir aku penakut.

"Iya, ayo!" sahutnya melangkah lebih dahulu.

Di depan jendela kamar Ibu, aku ketok-ketok kacanya. Setelah Ibu menyahut, aku dan Kahfi kembali ke depan. Pintu rumah terbuka. Ibu menguap, bangun tidur.

"Assalamualaikum, Bu." Ibu menjawab salam Kahfi, hidungnya mengendus – ngendus.

"Perasaan kaya bau comberan?" tanya Ibu. Usil Kahfi menyorotkan senter ke arah kakiku. Mata Ibu terbelalak.

"Astaghfirullahhalazhim!!" suara Ibu memecah keheningan malam.

"Kalian kecebur di comberan?!!"

"Iya, Bu," Jawabku pelan.

"Ini pasti gara-gara kamu ketakutan. Iya kan?" tebak Ibu dengan sorot mata tajam.

"Sudah, Bu … jangan omelin Icha. Kayaknya, tadi dia emang gak tau ada comberan." Aku tersenyum mendengar pembelaan Kahfi.

"Ya udah tunggu di sini, Ibu mau ambilin air!"

*********

Entah kenapa, sejak kejadian malam itu. Kahfi jadi lebih sering WhatsApp aku.

Walaupun Cuma basa basi aja. Seperti saat ini.

[Cha, lagi ngapain? Bulan depan aku ada acara di Bandung. Acara maulid tolong diatur-atur ya?]

[Insya Allah]

[Jawabnya singkat amat. Kamu lagi sibuk?] Tuh kan, sekarang dia kek gini.

[Iya nih]

[Sibuk apa?]

[Mikirin kamu]

Eh, apa-apan ini? Cepat aku hapus, tapi udah ceklis biru. Aduuuhhh … Tetap hapus deh!

[Kok dihapus?]

[Maaf, salah ketik]

[Yaaah … salah ketik. Padahal aku suka kamu mikirin aku. (emot sedih)]

Hahh??!!