webnovel

Perubahan Sikap Erin

Sungguh, aku tidak tahu harus menjawab apa. Kenapa pula Erin tidak bercerita masalah sakit yang diderita pada kedua orang tuanya? Duh, aku jadi bingung harus menjawab apa?

"Cha? Hei, Cha? Kamu tahu kan nama penyakit Erin? Ibu dulu pernah dikasih tahu sama si Indra tapi ibu lupa soalnya nama penyakit Erin bahasa Inggris. Memangnya apa sih, Cha?"

Ya Allah, aku harus jawab apa? Aku tidak mau kalau Erin marah lagi.

"Bu, sebaiknya nanti Ibu dan Bapak tanyakan sama Erin saja. Icha ... Icha tidak mau disalahkan sama Erin. Ibu dan Bapak tahu sendiri, kalau Erin sekarang jadi mudah tersinggung dan mudah marah," jawabku sekenanya. Bukan aku tidak mau menjawab pertanyaan ibu Laksmi dan Bapaknya Erin tetapi kalau Erin memang sengaja menyembunyikannya lalu aku justru memberitahu pada kedua orang tuanya, pasti dia akan marah besar. Aku tidak mau itu terjadi. Biarlah itu menjadi urusan mereka sekeluarga. Biar juga Ibu Laksmi dan Bapaknya Erin bertanya langsung pada anak sulungnya.

"Ya udah gak apa-apa. Dia sekarang sudah berubah. Ibu juga tidak mengerti, kenapa belakangan ini dia jadi mudah tersinggung dan cepat marah? Padahal sebelumnya ibu sangat bahagia melihat penampilan Erin yang mirip Umi Hana. Ibu pikir, sikap Erin juga berubah menjadi lebih baik tetapi ternyata ... Justru sebaliknya. Dia malah sering kali bersikap tidak baik sama kami, Cha." Pemaparan yang diungkapkan Ibu Laksmi membuatku terkejut setengah mati. Aku tidak menyangka kalau sikap Erin pada kedua orang tua kandungnya pun tidak baik. Ternyata benar, cadar dan busana syar'i yang ia kenakan hanya untuk menutupi penyakit HIV yang dideritanya.

"Sudah, Bu ... Sudah ... Tidak baik menjelekkan anak sendiri di depan orang lain," tegur suami Ibu Laksmi.

"Icha ini bukan orang lain, Pak! Tetapi temannya Erin! Dia sudah kita anggap seperti anak sendiri juga 'kan? Barang kali saja kalau ibu bercerita tentang sikap Erin pada kita yang sebenarnya, Icha dapat menasehati Erin! Tidak melawan, membentak atau menyuruh kita dengan kata-kata yang tidak sopan. Maksud ibu gitu, Pak!"

Lelaki yang sehari-harinya pergi ke sawah merunduk dalam. Kesedihan jelas sekali tergambar dari raut wajah kedua orang tua Erin.

Entah, aku bisa melakukan apa yang diharapkan Ibu Laksmi atau tidak yaitu menasehati Erin. Sedangkan aku sendiri, anak hasil dari kawin kontrak. Astaghfirullah .... Jika teringat siapa diriku sebenarnya, rasanya aku malu sendiri. Aku yang sebelumnya sok-sok-an menasehati Erin perihal hukum kawin kontrak atau nikah mut'ah, kenyataannya justru ibu kandungku sendiri menjadi pelaku kawin kontrak itu sendiri.

"Cha, tolong nasehatin Erin ya?" ibu Laksmi menggenggam telapak tanganku dengan erat. Aku tidak tahu, apakah sebenarnya Bu Laksmi mengetahui tentang aku yang lahir karena kawin kontrak atau tidak?

"Nanti biar Icha minta bantuan Umi Hana yang menasehati Erin ya, Bu?"

Akhirnya aku punya alternatif lain. Hanya Umi Hana yang pantas menasehati Erin, sahabatku.

"Oh iya ya, Umi Hana. Ya sudah, tolong sampaikan ke Umi Hana, nasehati Erin agar dia dapat menghormati kami selaku orang tuanya."

Permintaan Ibu Laksmi membuatku miris. Erin, yang dahulu anak yang baik dan Soleha, kini justru telah jatuh ke lembah curam.

Ya Allah, hanya Engkau yang dapat membolak-balikkan hati manusia. Tolong jadikan Erin pribadi yang dapat menyenangkan hati kedua orang tuanya.

Doaku dalam hati karena sekarang yang dapat aku lakukan hanya berdoa. Aku sudah tidak berani memberi nasihat apapun pada Erin. Jadi malu sendiri.

"Insya Allah, Bu ... Nanti Icha sampaikan pada Umi Hana."

Senyum ibu Laksmi dan suaminya mengembang. Mereka seolah mendapat harapan yang cerah. Harapan perubahan sikap anak sulungnya menjadi lebih baik. Setidaknya menjadi Erin yang sebelum bekerja di perkebunan Teh.

Setelah itu, tidak ada lagi yang berbicara diantara kami. Semuanya bergelut pada pikiran masing-masing. Hampir setengah jam Erin dan Resti berada di ruangan dokter. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Bagiku, ini cukup lama.

Baru saja pikiran itu melintas, pintu ruangan dokter terbuka lebar. Erin dan Restu keluar ruangan itu. Tubuh Erin yang terlihat lemas, dituntun oleh Resti. Kulihat kedua bola mata Erin, tampaknya sahabatku itu seperti habis menangis. Kedua matanya sembab. Begitu pula Resti. Sahabatku satunya lagi pun sama kondisi matanya. Sembab dan memerah.

"Kalian tunggu di sini saja ya? Aku mau menebus obat Erin dulu. Cha, kamu bisa temani aku gak?"

Sukurlah, Resti mengajakku pergi dari sini. Setidaknya jika aku pergi, mereka lebih leluasa untuk bercerita. Aku berharap, Erin menceritakan perihal penyakitnya pada Bu Laksmi serta Bapaknya.

"Bisa, Res! Bu, Pak, Icha mau temani Resti dulu ya?"

"Iya, Cha silakan." Kali ini, Bapaknya Erin yang angkat bicara. Aku dan Resti berjalan beriringan. Nanti setelah sampai di tempat menebus obat, aku akan bertanya tentang apa saja yang mereka bicarakan di ruangan dokter itu.

Sampai di tempat penebus obat, kami menunggu di panggil. Resti menarik napas panjang, menumpu wajah dengan kedua tangan. Seolah ia sedang menanggung beban yang berat.

"Res?" Aku memegang pundak Resti. Ia menoleh, menghela napas berat.

"Sikap Erin yang sekarang sangat jauh berbeda dengan sikap dia yang dahulu, Cha."

Untuk kedua kalinya aku mendengar perubahan sikap Erin setelah dari mulut Bu Laksmi.

"Berbeda bagaimana, Res?"

Resti menyandarkan tubuh di kursi tunggu, aku menatapnya lekat, menunggu cerita berikutnya.

"Tadi di dalam ruangan dokter dia mengamuk. Apa kalian tidak mendengarnya?"

Kedua alisku bertaut. Erin mengamuk di ruangan dokter? Aku kok tidak mendengar.

Spontan aku menggelengkan kepala. Karena memang kami tinggal mendengar teriakan atau amukan dari ruangan dokter. Apa mungkin ruangan itu kedap suara?

"Tidak, Res. Mungkin ruangan itu kedap suara. Dia mengamuk kenapa?"

Aku lebih menatap wajah Resti yang pandangannya lurus ke depan seolah ia sedang mengingat sesuatu. Aku mengedarkan pandangan, sepertinya pengambilan obat ini cukup lama. Antriannya lumayan. Aku dan Restu untungnya duduk di paling belakang, pojok sebelah kanan. Kemungkinan besar pembicaraan kami tidak terlalu jelas didengar orang lain.

"Awalnya sih, dia baik-baik saja. Waktu diperiksa, dia masih tenang. Tetapi, pas dokter mengatakan perkembangan kesehatannya, Erin tidak terima. Dia menyalahkan dokter kalau salah mendiagnosa. Sampai Erin mencaci maki dokter itu! Aduh, parah pokoknya, Cha! Aku sampai malu sama dokternya! Apalagi pas Erin ngatain dokter itu, dokter Anj1ng, Bab1. Astaghfirullah ... Benar-benar parah!"

"Kamu serius?" Aku memastikan apa yang diceritakan Resti.

Aku terkejut bukan main mendengar cerita yang meluncur dari mulut Resti. Masa iya, seorang Erin sampai mengatakan kata-kata seperti itu? Tetapi, jika Resti berbohong atau mengarang cerita, untung buat dia apa? Ya Allah, Erin ... Sudah mendapat penyakit seperti ini bukannya bertaubat justru semakin ... Ah, sudahlah! Bisa jadi, di hadapan Tuhan sikap Erin jauh lebih baik dariku. Kita kan manusia tidak tahu amalan mana yang membuat Tuhan ridho.

"Serius, Cha ... Aku sampai menangis melihat Erin yang histeris. Dokter hampir saja menyuntikan obat penenang, tetapi aku mencegahnya. Biar bagaimana pun, Erin adalah sahabat kita. Beruntung, Erin bisa tenang."

Aku tercenung sejenak. Mengingat kembali ucapan orang tua Erin.

"Terus, benar atau tidak kalau Erin mengidap penyakit HIV?"

Aku berharap tidak benar. Kasihan Erin dan kedua orang tuanya jika penyakit itu terdengar oleh orang lain.

Resti mengembuskan napas, menatap nanar ke depan.

"Benar, Cha! Erin memang mengidap penyakit HIV."