webnovel

Mencoba Bunuh Diri

"Innalillahi ... Tetapi masih bisa sembuh 'kan, Res?" Aku terus berharap kalau Erin bisa sembuh, sehat kembali. Biar bagaimana pun Erin adalah sahabat masa kecil kami meski sekarang sikap dia sangat berubah seratus delapan puluh derajat. Tetapi aku yakin, Erin suatu saat seperti Erin yang kami kenal dulu.

"Semoga saja." Lalu, nama Erin dipanggil, Resti bergegas mengambil obat, aku pun menyusul. Setelahnya kami kembali menemui Erin dan kedua orang tuanya.

"Rin, ini obatnya." Resti menyodorkan kantung plastik berisi beberapa obat-obatan. Resti mengambil alih tanpa mengucapkan terima kasih, kemudian ia berjalan lebih dahulu. Erin tampak sedang marah. Resti menatapku sebentar, lalu mensejajarkan langkah Erin. Aku dan kedua orang tua Erin mengikuti dari belakang. Membiarkan Erin dan Resti berjalan lebih dahulu. Aku merasa ada yang tidak beres. Entah apa yang terjadi pada saat aku dan Resti meninggalkan Erin dan kedua orang tuanya.

Sedari tadi, aku melihat Pak Hamdan nerundukkan kepala. Kedua mata Ibu Bapak Erin memerah, seperti habis menangis. Aku jadi bingung, apakah harus bertanya atau pura-pura diam saja? Tetapi kalau aku cuek, serasa tidak enak.

"Bu, Pak, maaf ... Bapak sama Ibu kenapa? Apakah Erin marah-marah lagi?" tanyaku hati-hati, khawatir membuat hati kedua ornag tuan Erin tersinggung.

Bu Laksmi menghentikan langkah, justru duduk di bangku panjang yang berada di sisi koridor rumah sakit.

"Bu, ayok kita pulang," ajak Pak Hamdan memegang pundak istrinya. Bu Laksmi tidak menanggapi ajakan suaminya, ia justru menangis tersedu. Aku bertambah bingung, duduk di sebelah kanan Bu Laksmi sedangkan Pak Hamdan duduk di sebelahnya.

"Ya Allah, Pak ... Kenapa anak kita sekarnag seperti itu, Paaak?" Bu Laksmi bertanya ditengah Isak tangis. Aku belum mengerti akan kondisi yang sedang mereka alami. Ada apa sebenarnya? Apa yang diperbuat Erin sehingga wanita yang telah melahirkannya menangis seperti ini?

"Bu, Pak, ada apa?" Aku semakin penasaran dengan apa yang telah terjadi pada saat aku dan Resti meninggalkan mereka. Apa mungkin Erin mengamuk lagi seperti yang diceritakan Resti?

"Cha, apakah salah, jika ibu dan Bapak bertanya tentang penyakit anak sendiri?"

Pertanyaan Bu Laksmi aku tanggapi menggelengkan kepala.

"Tidak, Ibu. Sama sekali tidak salah."

"Tetapi tadi Erin membentak kami hanya karena ibunya bertanya tentang penyakit yang diderita Erin. Dia sangat marah. Bapak sudah tidak tahu lagi bagaimana berbicara dengan Erin."

Kasihan Pak Hamdan, tampaknya lelaki yang kesehariannya di sawah sangat bersedih dan kecewa akan sikap anak sulungnya. Aku hanya mampu mendesah berat sambil berkata, "Sabar ya, Bu ... Mungkin sekarang Erin masih terkejut dengan penyakitnya. Nanti juga dia cerita sama Ibu dan Bapak." Aku berusaha menenangkan kedua orang yang usianya mungkin sudah setengah abad.

"Benar kata Icha, Bu. Lebih baik kita jangan memaksa Erin untuk memberitahu tentang penyakitnya. Kita doakan semoga Erin segera sembuh."

Aku dan Bu Laksmi mengaminkan harapan Pak Hamdan. Kemudian kami bertiga meneruskan langkah, menyusul Resti dan Erin yang mungkin sekarang sudah sampai mobil.

Tiba di parkiran rumah sakit, Erin dan Resti tampak sedang berbincang di depan mobil. Obrolan mereka terhenti ketika kami berdiri di depannya.

"Lama banget sih? Ngapain aja kalian?" Aku terkejut mendengar Erin membentak. Terlihat kedua matanya melotot, memerah seperti marah.

"Sudah, Rin ... Kamu kenapa sih marah-marah terus? Mereka kan orang tua kamu." Resti memegang lengan Erin, menegur agar tidak bersikap buruk pada orang tuanya.

"Kalian kan tahu kalau aku sedang sakit. Aku butuh istirahat. Bukannya cepat pulang, malah bikin aku nunggu!" Erin lantas membalikkan badan, membuka pintu mobil lalu masuk.

Kali ini Erin duduk di bangku depan, samping kemudi. Resti masuk, disusul aku dan kedua orang tua Erin. Setelah kami duduk dengan nyaman, Resti melajukan kendaraan.

Sepanjang jalan tidak ada yang berbicara. Suasana sangat hening. Aku sendiri enggan memulai pembicaraan. Malas sekali kalau medengar Erin membentak dan marah-marah. Apa mungkin sikap dia berubah karena penyakit terkutuk itu? Aku terus bertanya-tanya hal apa yang menyebabkan Erin sikapnya berubah drastis. Sepertinya aku memang harus meminta pertolongan Ummi Hana untuk memberi nasihat pada sahabatku, Erin.

Tiba di halaman rumah Erin, terlihat sebuah mobil yang pernah aku lihat pada saat pertama kali Erin pulang. Apa mungkin itu kendaraan Paman Indra? Seorang lelaki yang pertama kali datang mengajak Erin ke kota hujan Bogor.

Kami telah turun semua dari mobil. Erin masih tetap maunya didekati Resti saja. Bu Laksmi dan Pak Hamdan berjalan lebih dahulu.

"Tehi! Teh Laksmi!" Sebuah suara dari arah belakang membuat kami menoleh. Ternyata Paman Indra yang memanggil.

"Indra? Katanya kamu gak bisa datang?" tanya Bu Laksmi saat Paman Indra mencium punggung tangan wanita yang telah melahirkan Erin dan Harus. Kulihat Erin tak peduli akan kehadiran Paman Indra. Dia memilih masuk ke dalam rumah dituntun Resti. Aku duduk di bangku depan, sedangkan Paman Indra dan kedua orang tua Erin masuk ke dalam. Kulihat mereka duduk di bangku ruang tamu. Aku enggan ikutan nimbrung, takut dikira tidak sopan.

Dari pada bosan, aku membuka handphone. Ada pesan singkat dari Sirojul Kahfi. Tanpa kusadari bibir ini menyunggingkan senyum.

[Cha, kamu ikut nganter Erin ke rumah sakit?]

[Iya. Ini baru pulang.]

Centangnya belum berubah. Aku membuka google. Mencari tahu tentang penyakit yang dialami Erin. Baru saja mau membaca, tiba-tiba Kahfi membalas pesanku.

[Aku lagi di rumahmu. Lagi ngobrol sama calon ibu mertua. Hehehe.]

Dih, apaan coba? Ngaco nih Kahfi! Kuliah saja belum beres, sudah membicarakan mertua.

[Ada-ada aja]

Hanya itu yang dapat aku balas. Aku tidak mau terlalu percaya diri. Pasalnya Kahfi berasal dari keluarga yang berada, ekonomi ke atas. Sedangkan aku? Dari keluarga ekonomi menengah ke bawah. Belum lagi, keluarga Kahfi orang yang terpandang dan terhormat. Bisa dikatakan orang yang paling kaya raya di Desa kami. Apalah aku? Aku hanya anak dari hasil kawin kontrak. Entah nanti bagaimana jika hubungan ini berlanjut, menjadi prahara atau tidak?

Astaghfirullah ... Kenapa aku jadi berpikir jauh ke sana? Belum tentu juga aku dan Kahfi berjodoh.

Kembali aku mengubur harapan itu. Meskipun perasaan ini kepada Kahfi sudah ada sejak lama, tetapi aku cukup tahu diri.

Praanggg!

Aku terkejut setengah mati mendegar suara pecahan beling dari dalam rumah. Beranjak dari tempat duduk, masuk ke dalam rumah.

Astaghfirullah!

Erin memegang pecahan beling. Pecahan beling itu ia arahkan pada urat nadinya.

"Erin, kamu apaan sih? Jangan nekat kamu, Rin!" Teriak Resti panik. Aku yang tidak tahu duduk permasalahannya hanya berdiri di ambang pintu. Paman Indra dan kedua orang tua Erin berdiri. Mereka berupaya mendekatkan Erin dan membujuk wanita berniqab itu agar menurunkan pecahan beling yang mulai melukai pergelangan tangannya.

"Erin, Paman mohon. Jangan bunuh diri! Kamu masih muda!"

"Diam kau, Bajingan!"

"Erin! Jaga ucapanmu!" Bu Laksmi menegur Erin agar bersikap sopan pada adiknya.

"Kenapa, Bu? Dia memang bajingan? Paman macam apa yang tega menjurumuskan keponakannya sendiri ke lembah hitam? Paman macam apa yang memanfaatkan keponakannya demi memperkaya kehidupannya sendiri? Hah, Paman macam apa, Bu?"