webnovel

Possessive Wife

Kisah drama keluarga, seorang istri yang memiliki sifat posesif dari suami yang sangat penyabar..

Christina_240986 · Teen
Not enough ratings
12 Chs

Bab 8

"Bun, ayah main sebentar ya? Ke belakang masjid." Suamiku memang sering banget ke tempat temannya yang berada di belakang masjid, biasanya tidak lama, hanya sekedar ngobrol sebentar, lalu akan pulang Lagi.

"Oke sayang." Jawabku.

Aku teringat saat awal menikah, dan baru sampai di tanah Papua, ia pamit pergi ke belakang masjid, "Bun, sebentar ya? Nanti ayah pulang," pamitnya kala itu.

"Oke sayang, jangan lama ya, bunda takut sendiri," jawabku.

Iapun pergi dengan mengendarai sepeda motor maticnya, sementara aku kembali masuk ke dalam kamar, menonton televisi dan bermain ponsel. 1 jam, 2 jam, dia tak kembali pulang, 3 jam, 4 jam, belum juga ada tanda-tanda suamiku akan pulang.

[Ayah, kok lama sekali? Jam berapa pulang? Cepat pulang, ini sudah malam.] ku kirim pesan padanya, namun, pesan itu tak di jawabnya, di bacapun tidak.

Ku coba lakukan panggilan, tapi panggilanku di acuhkan, hari semakin larut, tak juga terdengar sepeda motornya datang, bahkan aku sudah mulai menangis, perasaanku kacau. Kemana suamiku pergi?

[Ayah kemana sih? Kok ga pulang juga? Ini sudah larut malam sayang.] ku kirim pesan lagi padanya, masih sama, bahkan pesan yang pertamapun belum di bacanya.

Ku lakukan panggilan telpon lagi padanya, berkali-kali ku coba, hasilnya sama, tak ada respon, aku mukai gelisah, panik, air mata tak tertahan lagi. Aku menangid sejadi-jadinya, meluapkan kekesalanku, aku memaki-makinya dalam batin.

Satu hal yang terbayang di benakku, apakah suamiku bertemu dengan mantannya? Apakah mereka menghabiskan waktu berdua semalaman suntuk?

Jarum jam di dinding kamarku kini sudah menunjukkan angka 4, ini sudah subuh, tak ada tanda-tanda kepulangannya, bahkan aku sudah menangis sepanjang malam.

"Lo, bunda belum tidur?" Tanpa dosa suamiku bertanya, ia tiba-tiba masuk ke dalam kamar dan memperhatikanku.

"Bagaimana bunda bisa tidur? Suami sampai jam sigini baru pulang, panggilan di abaikan, pesan ga di baca, kemana saja?" pekikku penuh emosi.

"Maaf sayang, keasikan main kartu, hp ayah silent, jadi ga tahu," jawabnya, masih dengan wajah tanpa dosanya itu.

"Ayah selingkuh? Ayah ketemu mantan? Berduaan dengan mantan?" tuduhku lagi padanya.

"Sumpah sayang, sumpah, tidak sama sekali, ayah berani mati, ayah tidak macam-macam, ayah main kartu saja, maafin ayah bun, maaf, ayah salah." di peluknya aku yang sudah semakin terisak, aku berontak penuh amarah.

"Ini yang pertama dan terakhir sayang, maafin ayah, kegiatan masa muda ayah masih kebawa, ayah janji, tidak akan seperti ini lagi, janji." Ia memelukku erat dalam posisi aku tertidur membelakanginya. Tak ku jawab semua ucapannya, hatiku benar-benar sakit.

"Tidur sayang, percaya sama ayah, ayah hanya sayang bunda," ucapnya sekali lagi.

Itulah pertama dan terakhir kalinya ia pulang tak tahu waktu, aku paham, rumah tangga baru saja kami jalani, dan benar katanya, ia masih mengingat dirinya muda.

Sepeninggal suami, aku memilih untuk masuk ke dalam kamar, menyalakan televisi dan menonton acara favoriteku, biasanya kalau suami ada dia akan melarangku menonton hal-hal yang bisa meracuni otakku, semisal sinetron yang sering tayang di saluran ikan terbang.

Kalau aku menonton itu, suami takut aku akan ikut-ikutan dan menjadikan contoh untuk mengatur-aturnya terutama masalah perasaan.

'Punya istri cemburuan kelas dewa itu berat.' Begitu katanya.

10 menit suami pergi, lagi-lagi sikap kepoku keluar, aku mengirimkan chat lagi pada suamiku yang lagi main.

[Ayah.] Send

5 menit, 10 menit, 15 menit krik krik krik krik aku menunggu namun tak ada balasan juga.

[Dimana sih sayang?] Send.

Krik krik krik krik menunggu lagi.

[Bah, ini kumat lagi dah, malas banget mau balas chat istri, pelit banget sama kata-kata ke istri, awas di rumah main hp aja ya. Pelitttttt!] Send.

[Ayah ada main kartu ini sayang sama teman-teman.] Balasnya kemudian.

[Beneran main kartu? Main kartu apa main apa hah?] Send.

[Sudah, kalau bunda ga percaya, sini gih.] Balasnya lagi. Ku abaikan pesan terakhir pak suami, aku malas, jengkel, kesal.

[Bunda sayang.] Ia mengirim pesan lagi padaku.

[Apa? Aku mau tidur.] Send.

10 menit berlalu, terdengar suara deru motor suamiku datang, aku berpura-pura tidur, ku pejamkan mataku, ku peluk guling dan ku terlungkupkan wajahku di guling yang ku peluk.

"Bobo ya sayang?" Suami sudah mulai menggodaku, aku tetap terdiam.

"Ga usah pura-pura gitu, ayah tahu bunda ga bobo." Dipeluknya aku dari belakang.

"Main hp sana yah, ngapain peluk-peluk bunda?" Ku singkirkan tangan suamiku yang memeluk pinggangku.

"Sensitif sekali istriku ini." Ia melilitkan lagi tanganya di pinggangku, lebih erat.

"Ayah, lepas ah, malas, ayah pelit banget kalau balas chat bunda, padahal kalau di rumah liat hp terus, ga tahu chat sama siapa." Gerutuku yang masih memunggungi suami.

"Ayah ada ngobrol sama teman tadi sayang, sekalian main kartu, masak main hp," ucapnya.

"Tidak ketemu sama mantankan?" tanyaku yang kemudian akhirnya menoleh ke arah suami.

"Tidaklah sayang, buat apa juga, ga usah aneh-aneh. Sayangnya ayah cuma bunda aja kok." Ia menoel hidungku.

"Jadi suami itu jangan pelit perhatian sama istri ayah, nanti rejekinya seret lo," ucapku menatap suami.

"Yang pelit perhatian siapa bun? Selama ini bukannya ayah sudah perhatian sama bunda? Hmm?" Suami merengkuhku, ia memelukku erat.

"Mana? Tiap di chat jarang mau balas, pelit sekali." Aku mengerucutkan bibirku.

"Astaga bunda, masalah chat saja, bunda lo, sudah ayah jadikan ratu, kerjaan bunda di rumah toh cm makan tidur, sisanya semua yah kerjakan, coba tanya ibu-ibu lain saja, ada ga yang suaminya kayak ayah?"

"Jangan bilang gitu ahh, kan sesekali jg bunda masak sama bersih-bersih rumah juga bunda, ihh." Gerutuku.

"Iya, selebihnya? Ayah memang ga bisa romantis sayang, tp segala kerjaan rumah ayah selalu bisa bantu, maaf ya, ayah memang bukan cowok romantis."

"Sesekali romantislah sayang, kayak misal nih, buatin istri status gitu, itu hal kecil tapi bikin bunda itu jadi berbunga-bunga lo."

"Iya, iya, nanti-nanti ayah buatin status kok. Jangan ngambek-ngambek, malu ah ...."

"Apa ayah malu ya punya istri jelek kayak bunda? Soalnya mantannya ayah kan cantik tuh," gerutuku lagi.

"Kalau dia cantik, kan bukan bunda yang ayah nikahi, bunda tidak sadarkah? Bunda itu cantik lo. Jangan bahas aneh-aneh deh, ayah itu cuma sayang bunda, ok."

Sore menjelang, seperti biasa setelah ritual membersihkan diri aku di ajak suami muter-muter di jalan, entah niatnya mau ngajak aku kemana, tidak jelas.

"Bun, mau beli apa?"

"Ayah mau belikan apa?" Aku berbalik bertanya.

"Yah, coba ayam geprek yuk, ibu itu jual lo." Ajakku.

"Aduh, malas kesana ah bun."

"Kenapa? Pasti dulu sering makan disana sama mantannya ya?" Selidikku.

"Astaga, kesana trus arahnya, tidak begitu sayang, malas," jawab suamiku, ia masih fokus mengendarai sepeda motornya.

"Pelit, pelit, pelit," gerutuku.

"Bunda jadi mau beli hp?" Wah tawaran bagus nih.

"Kalau ayah mau belikan ya bunda mau, tapi kalau ga juga ga apa-apa," jawabku, namun jauh di dalam hatiku, aku benar-benar berharap akan di belikan hp baru hari ini juga.

"Ya udah ayuk, kita lihat hp ya."

Sampai di gerai ponsel, aku mulai jelalatan memilih-milih ponsel yang aku inginkan, yang mana ya, tapi ga enak sama suami kalau pilih yang mahal, ucapku dalam hati.

"Mana bun?" tanya suami padaku.

"Yang kayak ayah saja deh," ucapku.

"Model seperti ini pak," ucap suamiku menunjukkan hpnya pada penjual.

"Kalau ada yang warna putih pak," lanjutku.

"Wahh, ga ada yang putih bu, cuma ada ini saja." Penjual mengeluarkan persediaan merk anu dengan 2 warna saja.

"Itu ada putih bun, itu saja," ucap suami, ia menunjuk ke arah ponsel merk anu yang harganya lumayan.

"Mahal itu yah," jawabku, tapi dalam hati pengen banget ambil yang itu.

"Tidak apa-apa sayang, yang penting bunda suka," ucapnya.

Dan akhirnya, pilihanku tetap pada pilihan pertama, ponsel yang sama dengan suami, lebih berfikir ke hal lain, ada yang lebih penting dari sebuah hp.

"Makasih ya yah, hp barunya," ucapku girang.

"Sama-sama sayang, jangan aneh-aneh lagi ya."

Bersambung...