webnovel

Chapter 2 : Serangan Bangsa Arya

"Kazo!"

Aku tidak bisa menduga apa yang selanjutnya akan terjadi. Yang kudengar hanya suara seseorang memanggil. Dan saat aku menoleh, Arga sudah berdiri sekitar dua ratus meter dari tempatku sekarang.

"Arga? Sedang apa dia di sini?" gumamku heran. Karena seharusnya dia saat ini sedang camping bersama teman-temannya. Namun yang kulihat itu memang Arga, dia berdiri dengan wajah yang terlihat terkejut sekaligus takut. Belum lagi penampilannya yang berantakan dan juga nafas yang tersengal-sengal seperti habis lomba lari.

"Arga, kenapa kau..."

"Lariiiiiiii!"

Arga berteriak kencang sebelum aku sempat menyelesaikan semua kalimatku. Aku bingung dan tidak mengerti, namun yang terjadi selanjutnya benar-benar diluar dugaan. Tiba-tiba aku merasakan aura aneh yang menguar di sekitarku.

Aku melirik pada gadis punk yang sejak tadi masih berdiri di depan kios ayah. Entah itu apa, tapi aku melihat dengan mata kepalaku sendiri tiba-tiba saja gadis itu terpental hingga terjerembab menubruk onggokan sampah yang berada di depan kios. Seperti ada sebuah hembusan angin kuat yang menghantam tubuhnya. Namun sebelum gadis itu jatuh dia sempat melemparkan sebuah benda tajam yang melesat dengan kecepatan yang tidak bisa kuperhitungkan, dan jika aku tidak segera menunduk mungkin pisau itu tidak menancap pada dinding, tapi di kepalaku.

Apa itu? Jantungku hampir copot rasanya. Gadis itu baru saja menyerangku dengan pisau yang baru saja dia tanyakan padaku. Tapi kenapa? Bahkan aku tidak mengenalnya sama sekali. Namun aku tidak sempat berpikir lebih jauh lagi dan mencoba menepis getaran pada tubuhku karena perasaan takut. Aku langsung berlari memutar ruangan menuju pintu keluar yang lain sebelum gadis itu bangkit dan menyerang dengan pisau yang lain.

Aku keluar dan langsung menyambar sepeda yang untung saja tadi kuletakkan di samping kios. Aku menoleh sebentar, dan benar saja gadis itu sudah bangkit dengan wajah yang terlihat lebih marah dari sebelumnya.

"Kazo, cepat!" teriak Arga. Aku segera mengayuh sepeda menuju pada Arga yang terlihat sudah tidak sabar. Dengan sekali loncat dia kini sudah berdiri di sadel belakang sambil terus melihat ke arah gadis itu. Sedangkan aku masih mencoba menguasai rasa gugup dan terkejutku. Banyak sekali yang ingin kutanyakan dan sepertinya Arga tahu semua jawaban itu.

"Apa itu? Siapa dia, kau kenal dengannya?" teriakku sambil terus mengayuh sepeda.

"Dia penjelajah Arya. Aku juga tidak tahu kenapa dia bisa muncul di sini." Arga menyahut dengan kalimat ambigu yang semakin membuatku mengerutkan kening.

"Penjelajah Arya? Apa maksudmu aku tidak paham!"

"Sudah kubilang baca bukunya, dan kau akan mengerti. Tapi tunggu... Jangan bilang kau bawa bukunya keluar?" seru Arga sambil menepuk pundakku.

"Buku apa?"

"Porta Loka!"

Mendengar itu aku langsung tersentak dan teringat bahwa gadis tadi juga menyebutkan nama tempat dalam buku dongeng itu.

"Ya, ada di saku celanaku."

"Apa? Bukankah sudah kubilang jangan bawa ke manapun. Dan sekarang mereka semua tahu keberadaan kita." Arga berseru gusar.

"Memangnya kenapa? Aku tidak paham dengan semua ini. Buku dongeng kuno, Porta Loka dan juga gadis aneh itu. Apa artinya?" teriakku tak kalah kesal.

"Sudah kubilang itu bukan dongeng. Buku itu adalah benda asli Porta Loka, dan karena tidak ada mantra yang bisa menyegelnya makanya aku melarangmu untuk membawanya keluar dari Aras. Karena Arkala bisa mencium keberadaannya," jelas Arga yang membuatku semakin terlihat seperti orang bodoh.

"Apa yang kau bicarakan? Aku benar-benar tidak paham, mana ada tempat seperti itu di dunia ini?"

"Jelas ada, karena kau juga lahir di sana bodoh. Sekarang kita kembali ke Aras, cepat!"

"Tapi..."

BOOM!

Belum sempat aku menyelesaikan kalimat tiba-tiba sebuah benda aneh yang terlihat seperti boomerang menghantam jalan di depan kami hingga menimbulkan suara ledakan yang cukup keras. Aku mengerem sepeda dengan cepat, beruntung benda itu tidak mengenai kami. Jika iya, mungkin kami sudah hangus terbakar seperti jalanan di depan kami yang terlihat berlubang dan menghitam.

"Apa lagi ini?"

"Sial, kupikir hanya satu Arya tapi ternyata ada tiga. Putar balik Kazo, sekarang!"

Tanpa bertanya aku langsung memutar dan membelok pada tikungan jalan yang lain. Aku sempat menangkap bayangan dua lelaki yang berdiri dibalik asap dengan membawa benda aneh seperti boomerang dan juga kapak panjang dengan ukuran besar. Belum lagi tampilan dua orang itu yang sama nyentriknya dengan gadis di kios tadi. Ukuran badan mereka jauh dikatakan normal dari ukuran manusia biasa. Yang satu sangat tinggi mungkin lebih dari dua meter, tapi yang satu cukup normal dan berbadan besar sekali.

"Apa mereka satu kelompok dengan gadis tadi?" tanyaku sambil terus mengayuh sepeda mencari celah jalan menuju pemukiman Aras. Sebenarnya pemukiman itu sangat dekat, namun karena panik aku malah mengayuh sepeda menjauhi pemukiman. Dan yang membuatku cukup aneh, tempat itu cukup ramai oleh penduduk. Namun entah kenapa mereka sama sekali tidak terpengaruh dengan kejadian kacau yang baru saja terjadi. Bahkan seolah tidak terjadi apa-apa.

"Ya. Sudah jelas mereka para Arlo."

"Arlo? Apa lagi itu, kau bilang mereka Penjelajah Arya?"

"Arya itu nama Bangsa mereka. Sedangkan Arlo itu kastanya, mereka yang mengandalkan senjata disebut Arlo. Lebih cepat Kazo, mereka semakin dekat!" Arga menepuk pundakku sambil terus menoleh ke belakang.

Aku sudah berusaha mengayuh sepeda lebih cepat membelok mencari jalan terdekat menuju pemukiman Aras.

Tapi Lagi-lagi dua pria itu berhasil menyusul dengan kecepatan lari yang yang terlalu cepat untuk manusia biasa. Dan sekarang pria satunya berhasil mengayunkan kapaknya yang bisa dengan mudah memotong benda apapun. Bahkan benda itu bisa dengan mudahnya memotong pagar beton yang tebalnya hampir dua puluh senti. Aku dan Arga mencoba menghindari sebisa mungkin.

Namun gadis di kios tadi tiba-tiba muncul dari arah depan saat aku membelok di tikungan terakhir. Dan ini adalah jalan terakhir dan terdekat menuju pemukiman Aras.

"Sial. Gadis itu datang lagi!" seruku sambil mengerem laju sepeda dengan kaki. Tidak ada jalan keluar lagi, karena itu adalah gang sempit yang diapit tembok beton setinggi tiga meter. Dan jalan satu-satunya kini diblokir oleh gadis berpakaian punk itu.

"Maju Kazo!" perintah Arga.

"Kau gila? Kau tidak lihat pisau yang dibawa gadis itu?" bantahku sambil menatap gadis itu yang berdiri di ujung gang dengan sebilah pisau besar di tangannya. Itu bukan pisau di kios ayah, tapi pisau besar yang terlihat aneh dan panjangnya hampir menyerupai sebilah pedang.

"Itu Dagger. Salah satu senjata kuat dari para Arlo yang tajamnya bisa menembus beton dan juga besi setebal apapun. Karena yang mengerikan dari senjata itu dia bisa melelehkan apapun yang disentuh dan juga bisa menebas dari jarak lebih dari dua ratus meter," tukas Arga yang langsung membuat mataku membulat karena terkejut.

"Lalu kenapa kau masih menyuruhku maju jika sudah tau bahayanya benda itu. Kau mau bunuh diri?"

"Memangnya kau punya pilihan? Melawan atau kau mati di sini!"

Aku masih menimbang-nimbang ucapan Arga, mencoba mencari solusi lainnya. Tapi jujur saja aku tidak bisa berpikir jernih. Dan sekarang dua pria itu sudah muncul di ujung gang di belakang kami. Begitu juga dengan gadis punk tadi yang berjalan semakin mendekat dengan ekspresi wajah marah.

"Menyerah saja kalian dan ikut kami! Jika kalian menurut, mungkin Raja akan meringankan hukuman kalian," tukasnya sambil mengangkat senjata bersiap menebas jika kami melawan.

"Lalu kaupikir kami akan ikut denganmu? Maju Kazo, serahkan sisanya padaku!"

"Tapi apa yang bisa kaulakukan?"

"Percaya padaku dan maju saja. Sekarang!"

Aku menatap tajam pada gadis itu. Aura aneh yang kurasakan di kios tadi kini kembali terasa dan semakin kuat. Jika memang aku lahir untuk semua ini, meski aku tidak tahu ini nyata atau bukan setidaknya aku mungkin harus belajar percaya. Benarkah Porta Loka itu ada? Dan aku bertekad untuk tidak mati di sini dan akan mencari jawaban itu nanti.

Tanpa pikir panjang lagi aku mengayuh pedal dengan cepat, melaju menuju gadis punk yang kini bersiap dengan senjatanya. Benar saja dia langsung menebas pisaunya, menimbulkan suara hembusan tajam yang mengarah tepat di depan kami.

"Argaaaa!"

"Menunduk!"

PRAANGG!

Suara benturan benda tajam terdengar berdenting di atas kepalaku. Aku tidak bisa melihatnya, tapi aku bisa merasakan saat Arga mencoba menghalau tebasan gadis itu dengan tangan kosong. Atau lebih tepatnya dengan elemen udara berkekuatan besar yang keluar dari tangan kosongnya. Ia menghalau tebasan pisau gadis itu dengan gerakan seimbang dan juga tenang. Bunyi dentingan terdengar tanpa henti di atasku yang membuat fokusku menjadi teralihkan.

"Fokus pada jalannya Kazo!" teriak Arga.

"Ta-tapi bagaimana kau melakukan itu?" tanyaku dengan gugup.

"Kau tidak lupakan? Aku selalu bisa bermain-main dengan udara," sahutnya santai. Arga kembali mengayunkan tangannya dengan gerakan yang lebih cepat hingga membuat keadaan berbalik dan membuat gadis itu cukup kewalahan. Arga menegakan badannya dan membuat posisi seperti seorang pemanah.

"Yajirushi!"

Lalu tiba-tiba sebuah pusaran angin besar terbentuk tepat di depanku. Aku merasa takjub dan gugup saat melihat pusaran angin yang semakin besar bahkan melahap tembok-tembok beton di sekitarnya. Angin itu semakin besar dan menghitam hingga membentuk bayangan seekor elang besar dengan sayap yang merentang menghancurkan sisa-sisa tembok beton sekitar kami.

"Makan dia Aquila!" teriak Arga sambil melepaskan posisi panahannya yang langsung melesat dengan kecepatan dahsyat menuju gadis punk yang terlihat membelalakan mata karena tidak sempat menyiapkan perlawanan.

DUAAARR

Suara ledakan menghancurkan jalanan di depan kami, hingga tembok-tembok di sekitar semuanya hancur dan runtuh.

"Oh tidak!" Aku berteriak saat ban sepeda menubruk jalanan yang berlubang akibat serangan Arga. Belum lagi pecahan beton yang runtuh ikut menghantam kami yang tepat di bawahnya.

"Jangan berhenti Kazo!"

Aku berusaha mencari jalan ditengah asap dan debu yang masih menguar akibat serangan tadi. Samar-samar aku melihat sebuah celah di ujung gang, itu adalah pemukiman Aras yang memang letaknya tepat berada di ujung gang ini.

"Kita sampai. Pegangan..."

DUGH!

Aku kehilangan kendali saat ban sepeda menghantam benda keras yang berada tepat di tengah jalan. Membuatku dan Arga terpental jauh dan jatuh membentur jalanan aspal yang sudah rusak dengan suara keras.

"Ughhh.."

Siku kiriku sukses membentur aspal. Rasanya sakit sekali. Suara runtuhnya tembok masih menggema di sekitarku, begitu juga dengan asap dan debu tebal masih menguar membuat pandanganku mengabur dan sulit melihat.

"Arga!"

Mataku langsung membulat dan terkejut saat melihat tubuh Arga yang terkapar tak bergerak seratus meter dariku. Kepalanya bersimbah darah akibat terbentur batu besar di sampingnya.

"Argaaaaa!"

DUAAARR

Sebuah hantaman keras terdengar begitu dekat, menimbulkan serpihan-serpihan dan juga jalanan yang terbelah. Aku langsung mundur saat sebilah kapak menancap di aspal hanya dua langkah dari tempatku berada.

Baiklah, sekarang apalagi?

Aku tidak bisa mengontrol detak jantungku yang semakin meningkat. Menyaksikan kekacauan yang baru kualami seumur hidupku, kenapa ini bisa terjadi padaku?

Aku menatap lurus ke depan pada kepulan debu yang semakin menyusut, menyisakan tanah lapang yang sudah hancur sama sekali. Bahkan tembok setinggi tiga meter yang mengapit gang di depanku sudah tidak ada lagi. Tapi bukan itulah hal yang paling menakutkan, melainkan tiga sosok yang kini berjalan pelan menuju ke arahku.

Gadis itu sudah bangkit lagi, baju dan penampilannya sudah tidak sebersih tadi namun bisa dikatakan tidak ada goresan apapun pada tubuhnya. Padahal serangan Arga mengenainya dengan telak. Lalu lelaki setinggi dua meter tampak memanggul boomerang di bahunya. Sedangkan lelaki yang bertubuh gempal mengacungkan tangan sambil mengucapkan sesuatu. Dan ajaibnya kapak yang tadi menancap di aspal tercabut sendiri dan melayang cepat kembali pada pemiliknya. Lelaki itu mengayunkan kapaknya sesaat lalu langsung menyimpan dibalik punggungnya.

"Ikut kami Kazo! Raja sudah menunggumu," seru gadis itu sambil menatap tajam padaku. Dia sudah menyimpan senjatanya, seperti mencoba melakukan negosiasi tanpa perlawanan. Aku masih mematung dengan wajah bingung dan perasaan tak menentu. Aku masih tidak mengerti dengan keadaan ini, tiba-tiba saja mereka muncul, membuat kekacauan, lalu Arga yang bisa mengeluarkan kekuatan seperti angin dan sekarang mereka mengajakku untuk ikut bersama mereka.

"Siapa kalian? Apa mau kalian?" sergahku dengan suara serak.

Gadis itu maju selangkah sambil mengibaskan rambut hitamnya. "Namaku Glara. Seorang Arlo dari Bangsa Arya yang lahir di Kota Agni. Prajurit kerajaan Loka yang dengan setia mengabdi pada Raja Rodra. Setelah dua belas tahun kami mencarimu akhirnya kau menunjukkan dirimu sendiri. Tak kusangka keluarga Locana menyembunyikanmu di tempat seperti ini."

"Apa yang kau bicarakan? Dan untuk apa kalian mencariku?"

"Kau benar-benar tidak tahu apa-apa tentang dirimu? Jadi pria yang kau sebut ayah itu tidak memberitahumu apapun?" Suara Glara terdengar mengejek. "Baiklah, biar kuberitahu. Namamu Major Hiroki Kazo, putra Raja Hiroki Aiken dan keturunan terakhir dari keluarga bangsawan Hiroki. Kami mencarimu karena perintah Raja Rodra, karena kau adalah kunci dan satu-satunya orang yang bisa membuka gerbang Hiroki, gerbang terakhir di Porta Loka."

Jelas aku tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutku. Gadis itu baru saja mengatakan omong kosong tentang kerajaan, dan menyatakan bahwa aku seorang putra Raja. Bahkan dia juga membual tentang kunci-kunci dan juga gerbang yang sama sekali tak kumengerti. Memangnya aku mau percaya begitu saja?

"Omong kosong apa yang kau katakan? Aku putra Raja dan apa lagi itu. Dengar ya, namaku Major Locana Kazo dan aku tidak punya hubungan apapun dengan dunia yang kalian ceritakan. Kalian salah orang, jadi pergilah!"

Aku tidak mau membuang-buang waktu lagi karena kondisi Arga yang cukup parah. Aku berjalan perlahan menuju tempat Arga yang masih tidak bergerak.

Belum sempat aku mencapai tempat Arga, sebuah hantaman besar membentur kembali di sekitar Arga. Membuat Arga semakin terpental jauh dengan luka tubuh yang semakin parah.

"Argaaaaa!" teriakku sambil berlari menghampiri Arga. Aku melihat pria jangkung itu baru saja menebaskan boomerangnya. Dia membuat bidikannya meleset untuk membuatku takut dan menyerah.

Darahku rasanya mendidih, bagaimana bisa mereka menyerang orang yang sudah jelas-jelas tidak bergerak.

"Apa yang kalian lakukan? Berhenti mengganggu kami!"

"Kalau kau tidak bodoh dan juga tidak tuli seharusnya kau mengerti apa yang tadi kukatakan padamu. Ikut kami dan kau akan tahu seberapa istimewanya dirimu," jelas gadis itu lagi. Aku tidak bisa menahan gejolak amarahku lagi. Aku bisa melihat mata Arga yang terpejam dengan luka besar di kepalanya.

Kenapa aku bahkan tidak bisa melindungi kakakku sendiri? Apa aku memang selemah ini? Jika memang aku kuat dan istimewa seperti yang gadis itu katakan kenapa aku tidak memiliki kekuatan apapun. Bahkan sekarang aku terlihat seperti orang gila yang berharap mendapatkan kekuatan yang sudah jelas itu rasanya mustahil.

Tiba-tiba aku merasakan hawa dingin yang berpusar di sekitarku. Aku melihat berkeliling dan menatap tiga sosok itu, apa lagi yang akan mereka lakukan sekarang?

Namun hawa dingin ini terasa semakin menusuk, sampai aku melihat telapak tanganku sendiri yang tiba-tiba muncul butiran kristal putih dan biru seperti lapisan es. Aku membelalakan mata, ini mustahil tapi itu benar-benar nyata terjadi pada diriku sendiri. Hingga aku menyadari bahwa hawa dingin itu tidak berasal dari manapun tapi berasal dari diriku sendiri.

"Ini mustahil!"

Aku tertegun sambil terus menatap lapisan es ditanganku yang terus berpusar seolah menunggu perintah. Apakah ini hal istimewa yang dikatakan oleh gadis itu? Jika kekuatan ini memang diberikan untukku, mungkin inilah saat yang tepat aku mencari jawaban atas hidupku sendiri dan juga melindungi orang-orang yang kusayangi.

Aku menatap pada tiga orang asing yang juga terkejut dengan apa yang terjadi padaku. Aku menggengam lapisan es itu kuat-kuat hingga berubah menjadi padat. Sebuah getaran kuat bisa kurasakan dengan jelas, bersamaan dengan hembusan angin keras menerpa wajahku.

Dan saat aku membuka mata, sebilah pedang sepanjang hampir sembilan puluh senti tergenggam erat ditanganku. Aku masih terpaku menatap tidak percaya pada benda berat ditanganku dengan gagang hitam dan mata pedang berwarna putih biru mengkilat yang terlihat tajam.

"Wooowww. Ini menakjubkan!"

Namun kekagumanku hanya berlangsung sementara saat sebuah ledakan menghantam tepat di mana aku berdiri. Aku melihat lelaki gempal itu baru saja mengayunkan kapaknya hingga membuat jalanan kembali terbelah.

"Rupanya kau sudah bisa membangkitkan kekuatan Vimalmu," tukasnya dengan suara serak dan kasar. Pria tinggi dan juga gadis itu mengambil posisi waspada dan langsung menarik senjata masing-masing. Jujur saja aku tidak pernah menyentuh apalagi menggunakan pedang. Namun yang kutahu pedang itu digunakan untuk menebas dan memotong.

"Aku tidak tahu siapa kalian dan apa tujuan kalian padaku. Hidup yang kujalani ini adalah milikku sendiri, dan jika aku mempunyai takdir yang lain biarkan aku mencari takdir dan kebenaran itu sendiri. Jadi.... Enyahlah kalian dari sini!"

Aku berteriak sambil mengayunkan pedang berat itu dengan sekuat tenaga pada tiga sosok yang berdiri di sana. Hawa dingin terasa menyeruak, dan aku tidak pernah berpikir apa yang akan terjadi jika aku mengayunkan pedang itu. Mungkin hanya sebuah tebasan kecil, itu yang kupikurkan. Tapi aku sendiri terkejut saat tubuhku langsung terpental jauh karena tidak bisa menahan seranganku sendiri.

Hembusan kencang melaju cepat membentuk mata pisau tajam yang terbuat dari lapisan es dari pedang milikku. Menghantam dengan raungan keras pada tiga sosok yang ada di sana. Bunyi ledakan saling bersahutan dan melahap bangunan serta tanah di sekitarnya.

Bongkahan tanah dan beton berubah bentuk menjadi es saling bertebaran membawa serpihan es dan juga salju di sekitarnya. Tanah yang terkena tebasan pedangku membentuk sebuah lubang besar dan menjorok ke dalam.

Aku masih mematung di tempat, terduduk di pinggir lubang besar yang menyerupai sebuah kawah. Aku menatap nanar dengan tubuh bergetar. Apa yang baru saja terjadi? Benarkah aku yang melakukan semua itu?

Aku tidak tahu. Karena selanjutnya, semua pandangan itu berubah menjadi gelap total.

Next chapter