webnovel

Hambar

Lima menit.. sepuluh menit... tiga puluh menit..

Lili tak kunjung keluar dari kamar mandi. Alan tampak kacau dengan perasaan yang berkecamuk. Tidak ada wajah datar yang biasa ia tampilkan, hanya ada wajah gelisah yang tampak jelas disana apalagi setelah ia membersihkan dan mendapati banyak darah di sprainya. ia terlalu kasar semalam, ia sampai lupa Lili bukan jalang yang ahli dalam memuaskannya seperti jalang-jalang sewaannya di club. ia terlalu kalut untuk menyadari itu.

"Lili...? kau belum juga selesai?" Alan mengetuk pintu kamar mandi itu pelan agar tidak mengejutkan Lili.

"Li..? jawab aku" Masih tidak ada sahutan dari dalam sana.

"Lili kumohon jawab aku" masih hening tak ada tanggapan.

Baru Alan akan mengetuk pintu itu lagi ketika pintu itu perlahan terbuka. Lili telah memakai kimono mandinya. Ia berjalan dengan sangat pelan sambil menggigit bibir bawahnya melewati Alan tanpa menanggapi ataupun berbicara sepatah katapun. Alan mendekati Lili ingin membantunya namun Lili menatapnya dengan tatapan benci dan ketakutan yang besar. Alan kembali menampilkan wajah sendu ditatap sedemikian rupa membuatnya membeku. Akhirnya iapun terdiam memperhatikan Lili tanpa berbuat apapun.

"istirahatlah. Aku sudah mengurus ijin kuliahmu" lagi-lagi Lili hanya diam membuat Alan mendesah frustasi. Kini Lili tak akan lagi mau menatapnya kecuali dengan tatapan benci dan takut itu. Alan memilih melangkahkan kaki keluar dari kamar yang menyesakkan dadanya.

***

Ponsel Lili berdering cukup keras ketika ia sedang mencoba memejamkan matanya. seharian ini ia benar-benar mengistirahatkan tubuhnya dan hanya tergeletak di atas tempat tidur. Ia hanya makan bila disodorkan makanan, ia hanya minum bila disodorkan air minum, pandangannya kosong dengan wajah yang masih pucat, entahlah Lili benar-benar terlihat seperti boneka hidup.

"halo" sapanya lirih hampir tak terdengar.

"Lili kau sakit? Seharian ini kau tak menghubungiku ataupun Dela. Aku khawatir" suara kak Abi terdengar di seberang sana. ia dapat mendengar suara-suara berisik dari seberang, ia pasti sedang berada di kampus.

"begitulah" Lili menjawab sekenanya. ia terlalu malas untuk berbicara pada orang lain saat ini. moodnya sangatlah buruk.

"kau sakit apa? Aku ingin menjengukmu. Bolehkah?" tanyanya penuh harap. tersirat rasa khawatir dari nada suaranya.

"tidak usah kak. aku baik-baik saja" Lili mencoba tegar dan menolaknya secara halus. entah apa yang akan terkadi jika kak Abi benar-benar datang dan bertemu dengan kak Alan? ah Lili sama sekali tak ingin membayangkannya.

"benarkah?" Abi mencoba menjauh dari depan kelasnya yang terdengar berisik. suara Lili terlalu pelan hingga membuatnya makin merasa cemas.

"iya tidak usah khawatir"

"kau terdengar sangat lemah. kenapa aku tidak boleh melihatmu?"

"aku tidak apa-apa kak, aku hanya butuh beristirahat. aku sangat lelah" terdengar helaan napas panjang Lili yang merasa terbebani.

"baiklah, istirahatlah Lili semoga kau cepat sembuh. Sebenarnya ada yang ingin kubicarakan denganmu. Tapi aku akan menyampaikannya nanti. Sampai jumpa" akhirnya kak Abi mengalah. bagaimanapun ia tak ingin keegoisannya malah membuat Lili yang dicintainya merasa tidak nyaman.

"terimakasih kak" Lili merespon singkat dan tak lama memutuskan sambungan telepon.

Untuk yang kesekian kalinya Lili kembali berdiam diri termenung larut dalam pikirannya. Ia ingin pergi dari tempat itu. Ia ingin kembali kerumah kedua orangtuanya. Ia tak ingin bersama Alan jika semua yang ia dapatkan hanyalah rasa sakit. Jika diingat-ingat lagi, tak ada kenangan menyenangkan yang tercipta disini. Setiap sudut ruangan hanya menyisakan kenangan pahit.

Ia telah menyerah untuk bersabar. Ia telah menyerah untuk membuat Alan jatuh cinta padanya. Semua sia-sia pikirnya. ada yang semakin mencintai sekalipun jauh, adapula yang semakin jauh sekalipun mencintai. mungkin Lili berada di posisi kedua.

mungkin tak lama setelah fisik dan mentalnya membaik ia akan segera mengemasi barangnya, pergi dari lingkaran neraka ini dan kembali menata hatinya. ia harus bisa berdiri sendiri, ia harus bisa mandiri dan memenuhi semua kebutuhannya sendiri. meskipun ia terlahir menjadi anak semata wayang, namun ayah dan ibunya selalu mendidiknya dengan baik agar tidak menjadi anak yang manja. ia harus bisa membuktikan dirinya bahwasannya ia mampu menjalani hidupnya tanpa bantuan Alan.

tekadnya sudah bulat. cepat atau lambat perpisahan tidak dapat dihindari dari pernikahannya yang kacau ini. cepat atau lambat ia harus mengambil langkahnya sendiri. sudah cukup semuanya. Lili tidak ingi menderita lagi lebih daripada ini. ia juga pantas bahagia, pikirnya.

"Kau sudah makan malam?" suara bariton itu membangunkan Lili dari lamunannya. Ia menoleh ke ambang pintu. Alan berjalan kearahnya membawa nampan berisi nasi dan makanan lain disana. Entah kenapa belakangan ini Alan hanya sebentar berada dikantor. Tidak seperti hari-hari biasanya yang selalu pulang larut. hal itu membuat Lili terpaksa terus berhadapan dengannya, karena ada saatnya dalam hidupmu engkau ingin sendiri saja bersama angin menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata.

"makanlah" pintanya lirih. Lagi-lagi Lili tak mau menatap mata yang dulu selalu mempesonanya. Alan menghela napas berat.

Alan membuka tutup botol kecil yang ia bawa bersamanya. Lili kembali bersikap defensif ketika Alan mendekatinya dan berusaha menyingkap bajunya sebatas bahu.

"setakut itukah kau padaku?" Alan menggumam lirih.

"tenanglah.. aku hanya mengoleskan obat" Alan mencoba menenangkan Lili. Alan dapat melihat tubuh Lili bergetar. Apa mungkin Lili trauma oleh sentuhan darinya? Hanya itu yang terpikir di benaknya sekarang. Hatinya mencelos melihat lebam-lebam mahakaryanya. Sinar matanya terluka melihat tubuh mungil itu kesakitan. Tampak jelas bercak biru bekas gigitan Alan di lehernya ketika ia mendapatkan puncak kepuasannya semalam, ia mengerang nikmat diatas jeritan sakit Lili, tidak hanya satu tapi banyak.

"aku ingin pergi dari sini" Alan mendengar suara Lili untuk pertama kalinya hari ini. Suara yang sangat dirindukannya. Namun mengapa malah kata perpisahan yang lolos dari bibir ranum itu?

Alan terhenti sejenak dari aktivitasnya mengoles salep lalu melanjutkannya lagi. Alan tidak menjawab permintaan Lili. ia kembali membenarkan pakaian Lili setelah selesai. Ia memilih menunggui Lili dengan sabar menghabiskan beberapa suap makanannya. Tak banyak, hanya sedikit yang tertelan olehnya.

"makanlah lebih banyak. Kau semakin kurus" Alan menatapnya sendu. Lili hanya menjauhkan piring berisi nasi itu.

Lili mengalihkan pandangannya dari Alan dan piring nasi di pangkuan pria itu yang duduk di tepi ranjang. ia muak dan benci dengan semua yang dirasakannya saat ini.

pria ini hanya takut aku mati disini dan memperburuk citranya atas tuduhan menelantarkan istri. hanya itu yang terlintas dipikiran Lili saat ini.

"kenapa kau ingin sekali pergi?" Alan melontarkan pertanyaan yang membuat Lili mendelik tajam. Pertanyaan konyol menurutnya setelah setengah tahun ia berjuang sendirian, mencoba bertahan sendirian. Ia tak ingin statusnya berubah menjadi budak seks Alan. Lili tahu Alan mencintai wanita lain, Lili sama sekali tak ingin menjadi pemuas nafsu Alan semata. Menjadi pengganti jauh lebih menyakitkan dari pada ditolak secara terang-terangan.

Next chapter