"Ayo Kei!" Arwan menarik tanganku.
Aku masih terkejut dengan ajakan Arwan. Aku tidak tahu mengapa ia mengajaku ke sekolahku dulu. Secara tidak sengajakah atau ada maksud lain? Aku sama sekali tidak dapat memikirkannya.
"Bentar, emang ngga apa-apa kita masuk gitu aja?" tanyaku menghentikan langkah Arwan.
"Lho kenapa? Bukannya itu kamu alumninya? Jadi harusnya ngga apa-apa dong," jawab Arwan kembali melanjutkan langkahnya.
"Kok kamu bisa tahu kalau aku alumninya? Perasaan aku ngga ngasih tau deh," balasku menatap Arwan penuh selidik.
"Bilang kok, kamunya aja lupa," Arwan mengusap kepalaku.
"Apa iya?" pikirku.
"Sial, ceroboh banget sih! Untung aja Kei pelupa," gerutu Arwan dalam hati.
Kami memasuki gerbang bersama. Aku tidak ingat apakah ada bangunan atau cat berubah pada sekolahku ini, yang pasti aku merasa familiar. Andaikan saja aku tidak hilang ingatan, pasti aku dapat mengenang langsung masa sekolah putih biruku.
Arwan merasa tidak ada yang berubah sama sekali, kecuali jendela-jendela sekolah telah diperbaharui. Sebelumnya ada beberapa kaca yang pecah. Seketika Arwan mengenang masa sekolahnya.
Aku tampak semangat menelusuri gedung sekolah. Aku anggap ini sebagai kesempatan untukku mendapat ingatan kembali.
"Ciee yang seneng hahaha ..." ejek Arwan.
"Hehehe ... iya dong! Ayo lanjutin lagi," kali ini aku yang menarik tangan Arwan.
Setelah puas berkeliling, kami memilih untuk duduk di kantin terlebih dahulu.
"Tadinya sih aku kesal karena kamu tiba-tiba mengajakku kesini, namun sekarang aku senang. Makasih ya ..." ucapku memperlihat senyum.
"Cantik," celetuk Arwan.
"Hah?" responku terhadap ucapan Arwan.
"Iya kamu cantik hehehe ... terdengar gombal ya?" ucap Arwan sedikit canggung.
"Hahaha ... makasih lho ya, jarang-jarang aku dipuji," balasku mencoba membuat suasana kembali santai.
"Emang ngga salah ajak main kamu hahaha ... habis ini mau kemana lagi?"
"Kalau disini terus aja gimana? Aku hanya ingin lebih lama mengenang masa laluku," kataku melihat sekeliling.
Arwan kembali mengusap kepalaku, "lakukan sesukamu."
"Kalau gitu ayo!" Aku berdiri berjalan duluan disusul Arwan.
Aku tidak menyangka sekolahku dulu seluas ini. Sekarang kami berada di lantai 2, aku dapat melihat lapangan dari sini. Aku membayangkan dulu aku dan teman-teman bermain bola basket disana.
"Haahh ... kapan ya ingatanku kembali?" gumamku yang didengar Arwan, namun Arwan pura-pura tidak mendengarnya.
Aku berbalik memasuki sebuah kelas, aku berjalan ke belakang, berjalan mengelilingi kelas sampai aku tiba di meja guru. Aku berdiri di meja guru menghadap tempat duduk siswa-siswi. Sekilas aku dapat mendapatkan ingatanku.
Farel yang sedang menggoda Nadine sampai Nadine kesal. Devan yang semangat membacakan puisinya padaku dan seorang anak lelaki berkacamata yang tertawa melihat kami.
Aku langsung melihat Arwan begitu mengingat anak laki-laki itu. Apakah mungkin itu dia?
***
Tidak terasa hari sudah sore, saatnya kami pulang. Arwan mengantarkanku sampai rumah dengan selamat. Semenjak aku mendapatkan sedikit ingatanku, aku sedikit canggung padanya. Entah sadar atau tidak, Arwan mencoba bertingkah biasa saja.
"Kei makasih untuk hari ini. Kalau tidak keberatan boleh aku main sama kamu lagi?" kata Arwan menatap lurus mataku.
"Tentu saja! Bukannya kita sudah berteman?" balasku.
"Kalau gitu sana masuk ..." pinta Arwan.
Dengan suara amat sangat pelan aku bertanya pada Arwan, "hmmm ... Arwan sebenarnya kamu siapa?"
Karena lingkungan yang sepi, Arwan dapat mendengar dengan jelas pertanyaanku.
"Nanti juga kamu tau," jawabnya berbalik meninggalkanku.
Aku menatap punggungnya yang menjauh. Semoga perkiraanku salah. Laki-laki berkacamat yang diingatanku denganmu adalah orang yang berbeda.
***
Arwan tidak langsung pulang. Ia mengunjungi makam Devan terlebih dahulu. Sahabat yang gila puisi, tidak ada hari tanpa puisi.
"Hai Devan ... maaf baru datang berkunjung. Hari ini aku main sama Kei, kelihatan sekali ia rindu masa lalunya. Aku juga berharap Kei mendapat ingatannya kembali agar kenangan kita dapat bersamanya. Namun, aku tidak ingin Kei tersakiti. Pasti ia merasa terpukul jika tahu kejadian itu. Hari ini adalah pertama dan terakhir aku membiarkan Kei melihat masa lalunya. Aku harap kamu ngga keberatan ..." Arwan menaruh buket kecil bunga mawar putih.
Saat Arwan hendak pulang, ia bertemu dengan Farel yang sama membawa buket kecil mawar putih.
Farel membelalakan matanya tak percaya. Bagaimana bisa ia ada disini?
"Yo apa kabar?" sapa Arwan.
"Kok bisa ada disini? Sejak kapan?" Farel langsung melontarkan pertanyaan.
"Ets santai dong kawan ... cepat atau lambat nanti juga kamu tau," Arwan menepuk pundak Farel serta meninggalkannya.
Farel memutar badannya guna melihat Arwan. Farel memastikan bahwa itu memang Arwan. Farel berharap Arwan tidak kembali hadir dalam hidupku.
***
Aku merebahkan diriku di kasur setelah mencatat ingatanku yang aku terima di sekolah sebelumnya. Aku tidak menyangka kalau Nadine teman SMP aku. Jadi selama ini Nadine menyembunyikan fakta, tetapi mengingat ingatanku yang hilang dapat mengerti mengapa Nadine merahasiakannya.
Selagi aku berpikir ponselku bergetar menandakan pesan masuk. Aku melihat nama Nadine disana. Nadine mengajakku bermain bersama Mia esok hari. Tentu saja aku langsung menyetujuinya. Aku memutuskan untuk menepiskan segala pikiranku terlebih dahulu.
Tak lama kemudian aku mendapatkan pesan dari Arwan. Ia menyampaikan rasa senangnya, aku membalas hal serupa. Di akhir pesan ia menyebutkan bahwa aku diharapkan tidak terkejut saat bertemu dengannya lagi. Aku tidak mengerti maksudnya, tetapi aku mengiakannya.
Aku menyimpan ponsel dikasur. Lambat laun mataku terpejam.
***
"Ciee Nadine suka sama kakak kelas itu hahaha ... mau aku kenalin ngga? Aku lumayan deket lho hahaha ..." ledek Farel.
"Apaan sih Farel! Yang suka itu teman aku tau!" sanggah Nadine.
"Temen siapa? Temen kamu kan cuma kita aja. Keisha? Mana mungkin Keisha suka hahaha ..." balas Farel tidak ada henti-hentinya menggoda Nadine.
"Tau ah!" Nadine duduk dengan wajah kesal.
Disamping itu Devan sangat semangat menjelaskan puisi buatannya.
"Kei pokoknya kamu harus baca puisi aku!" ucap Devan semangat.
"Iya aku baca, mana sini," balasku.
"Ngga sekarang tapi nanti hehehe ... aku belum siap," kata Devan pelan.
Aku menghela napas, "dasar maniak puisi!"
"Hahaha ... kalian emang lucu ya," tawa Arwan yang sedari tadi hanya memperhatikan kami.
"Berhentilah tertawa atau kamu harus membelikan kita mie ayam!" celetuk Farel.
"Idih apaan? Ngga-ngga," tolak Arwan.
"Ide bagus tuh! Bel masuk juga masih lama, ayo!" Nadine menarik tangan kanan Arwan secara paksa.
"Ayo!" sambungku menarik tangan kiri Arwan.
"Asik makan gratis hahaha ..." sahut Devan.
Mau tidak mau Arwan meneraktir kami, "dasar temen ngga tahu malu!" gerutu Arwan.
Ingatan inilah yang aku dapat. Ternyata aku dulu dekat dengan mereka. Apalagi Farel dan Nadine, tapi sekarang mereka terlihat seperti orang asing serta aku tak tahu dimana Devan berada. Satu-satunya anak laki-laki yang terlihat dalam mimpi burukku.
Puisi yang dia buat menjadi perhatianku. Jika aku dapat bertemu Devan kembali, aku akan meminta Devan untuk membacakan puisi karyanya.
***
Hai, ada Arwan nih~
Kira-kira hubungan Arwan sama Kei gimana ya? Xixixii