webnovel

3. Maaf

Mendengarnya, mata Cristhian turun ke bawah. Melirik apa pun yang bisa dijangkau pandangan. “Sayang sekali, tapi aku tak ingin melupakannya.” Sekarang ia mengelus lembut mahkota kembar sang gadis.

Gadis itu terkesiap dengan perlakuan tiba-tiba di badan. Gerak tubuhnya spontan sensual di mata, memaksa lutut laki-laki tersebut naik kembali dan bergerak di antara celah paha.

“Hentikan.” Cristhian justru tak mendengarnya. Dada yang membusung di sentuhan malah dipermainkan. “Aku sudah tak sanggup,” tolak Evelin. Tapi raungan desahnya malah semakin membakar suasana.

“Tak masalah. Karena aku masih sanggup dan menginginkannya.”

Lali-laki itu bangkit, duduk dan memaksa sang pujaan untuk melayani. “Jangan, aku mohon!” Evelin mencoba berdiri, tapi sayang semua sudah terlambat. Senjata bertuan meminta pelukannya.

Akan tetapi, mata dingin Cristhian menyelimuti Evelin. Tak ada kalimat kecuali gairah pelan terlontar dari mulutnya. Memaksa apa pun yang ada di tubuh untuk menjajahi sang gadis muda. Atas bawah tanpa pengampunan, istirahat pun tak ia berikan.

Basah yang dirasa tak memuaskan nafsunya, sampai akhirnya Evelin benar-benar terkulai tak berdaya akibat serangan panas dari Cristhian Ronald. Gadis muda itu dibantai habis olehnya, bahkan untuk menggerakkan kepala saja ia tak bisa. Sekarang, sosoknya benar-benar pingsan.

Fajar sudah menyingsing, namun takkan terlihat ke dalam ruangan. Mungkin Evelin takkan tahu, jika club itu ternyata merupakan lahan bisnis calon korbannya. Karenanya, mereka bisa bebas memakainya tanpa gangguan dari pegawai club sekalipun.

Sekarang, Evelin benar-benar sudah sadar dan membuka mata. Sensasi aneh terasa di sana, di tempat yang tak seharusnya dijamah Cristhian. Sensasi nyeri sungguh menghantam kesadaran.

Dirinya mendelik, saat menyadari bagaimana kondisinya dengan sang pemuda. Bahkan di saat ia pingsan, sepertinya Cristhian benar-benar tidak mengasihaninya.

Wajah Evelin pun memerah, mengingat kembali apa yang sudah terjadi. Sepertinya gadis itu tidak tahu, kalau laki-laki di depannya sudah melakukan hal tak terduga.

Bahkan walau ia tak sadarkan diri, Cristhian tak peduli dan menghukum habis tubuh indahnya dengan cairan benih miliknya.

Mungkin saja gadis itu akan hamil nantinya. Dengan menepis sensasi gila, Evelin menggerakkan tubuhnya. Sesaat ia terdiam, menatap lekat senjata terlarang yang sempat dirasakan.

Walau tersipu, Evelin melangkah terseok-seok ke kamar mandi. Memandang pantulan cermin dirinya. “Dasar gila. Kau sudah gila. Kau benar-benar sudah gila Evelin,” gumamnya kesal.

Dirinya tak menyangka, jika mahkota kembarnya tak lagi seperti biasa akibat ulah pemuda itu. Bahkan, jejak-jejak dari jajahan Cristhian menempel hebat di tubuhnya. Bisa terlihat, dari dada, leher, perut, paha, atau apa pun yang tak bisa di jangkau penglihatan.

“Aku sudah gila,” Evelin menitikkan air mata.

Tanpa sadar dirinya menangis. Tangannya perlahan mengusap kasar pipi untuk menghentikan air mata. Rasa perih di tubuh bawahnya, mulai terlupakan. Ia memandang sendu pakaian robek yang melekat di badan.

Bunyi ketukan pintu kamar mandi, mengagetkan gadis itu. “Nona?” sebuah suara tak asing terdengar olehnya. Dia memperbaiki dandanan di diri dan membukanya.

Tampaklah sesosok laki-laki yang telah menghabiskan malam indah bersama. Menatap panjang pada tubuh putih mulus, namun menyisakan tanda badannya di beberapa tempat.

Lelaki itu menyodorkan jas, untuk menutupi bagian atas pakaian Evelin yang koyak di dada. Diiringi senyum manis olehnya, karena sudah merasakan sensasi menggoda dari raga dan pesona indah sang wanita.

“Kamu baik-baik saja?” tanyanya lembut. Evelin terdiam beberapa detik. Bukan karena kaget, tapi hanya tak menyangka, kalau Cristhian Ronald akan memperlakukan dirinya selembut itu. Mata Evelin berkaca-kaca, membuat sang lelaki panik atas tindakan yang tak disadarinya. “Kamu kenapa? Kamu baik-baik saja?” Cristhian memegang bahu dan lengan gadis itu untuk menenangkan.

“Maafkan aku,” ucap Evelin mengusap kasar uraian tangisannya.

“Jangan, pipimu bisa memerah,” cegat sang pemuda. Ia menggantikan Evelin menghapus air matanya dengan lembut. Lelaki itu tak bicara lagi, sambil menggigit bibir bawahnya dan mata memandang penuh arti pada gadis di depannya.

Evelin tersentak, saat lelaki itu menariknya untuk menapaki jalanan meninggalkan club. Sekilas, terlintas olehnya tentang tas yang ia biarkan tertinggal di kamar mandi berlabel rusak.

Tak peduli pandangan terarah pada keduanya, mereka tetap berlalu menuju mobil yang terparkir. Sebuah hypercar merah menyala, lambang kereta kuda Cristhian Ronald di dunia nyata. Ia membuka pintunya dan membuat Evelin masuk begitu saja.

Mengendarai tanpa sepatah kata, memburamkan kejelasan di antara dua raga yang sempat bermalam mesra.

“Kakak?” panggil Evelin asal, membuat lelaki itu menoleh sekilas. Mulutnya tampak ragu melanjutkan suara, saat melihat sorot mata tak acuh Cristhian Ronald padanya. “Tolong berhenti.”

Laju mobil akhirnya terdiam sesuai ucapannya, membuat Cristhian memalingkan wajah dengan benar. “Terima kasih,” ucap Evelin hendak membuka pintu, namun ia terhenti karena lengannya tertahan.

“Mau ke mana? Kenapa kamu menangis?” akhirnya lelaki itu bersuara.

“Tidak ada apa-apa.”

“Benarkah? Tapi kenapa raut wajahmu seperti itu?”

Evelin terdiam, pikirannya langsung bersuara cepat, merasa menyesal sudah menghabiskan malam bergairah bersama orang di sampingnya. Suatu kebodohan, ia merasakan sensasi tak biasa seperti ingin memiliki Cristhian padahal dirinya harus membunuhnya.

Mungkin ini karma, Evelin merasakan gejolak tak tega untuk menghabisi sang pemuda.

Bayangan indah semalam, sekarang menggerogoti. Berharap itu selamanya, bahagia bersama sampai mereka tua. Ini hanyalah pandangan dan malam pertama. Tanpa ikatan dan rasa, cuma bermodal nafsu membara. Tapi hati Evelin seenak jidatnya menambah bumbu untuk mewarnai hidup kelamnya.

Tak terasa, air mata kembali mengalir pelan. Tangan sang gadis spontan terangkat, namun ditahan Cristhian karena masih tak mendapat jawaban yang diharapkan.

“Kenapa kamu menangis? Apa karena semua yang telah terjadi?!” suaranya cukup keras dan sangat jelas menusuk Evelin. Cristhian agak geram dibuatnya. “Aku benar-benar minta maaf. Aku tak bermaksud mengambil keperawananmu. Hanya saja, aku benar-benar tak bisa menahan diriku saat melihatmu. Maafkan aku ... tolong maafkan aku,” lanjutnya memeluk erat gadis itu.

Evelin benar-benar tak tahu harus berkata apa, kalimat Cristhian justru semakin membuai hatinya agar tak menghabisi orang itu. Ia pun memberontak hendak melepas pelukan, namun sang perebut hati tidak membiarkan, sehingga posisi mereka masih bertahan.

“Aku benar-benar minta maaf.” Sejenak Cristhian terdiam, tangis tak bersuara Evelin cukup mengacaukan dirinya. Mungkin inilah yang disebut cinta pada pandangan pertama.

Saat pertama kali menatapnya, sang pemuda seperti tersihir oleh rupa manis Evelin. Mantra gadis itu menyeruak di hatinya, merasuki jiwa agar raga bisa bahagia dengan pesona di depan mata.

Tanpa sadar ia menjajah gadis itu dengan seenaknya. Sikap santai yang biasa menempel di diri Cristhian, tak berarti di depan Evelin. Nafsunya terlanjur berkobar karena tak tahan ingin segera menikmatinya.