webnovel

2. Kekhilafan

“Benarkah?” Evelin tampak senang lalu menuruti perkataannya.

“Mau minum?” tawar lelaki itu padanya.

“Apa ini?” sambil menerima sodoran gelas berisi minuman yang tampak indah di depan mata.

“Minumlah, lalu kamu akan tahu bagaimana mencari temanmu dengan cepat.”

Tanpa ragu Evelin meminumnya, “ugh! Apa ini?” Lelaki itu tersenyum, “apa aku boleh minum lagi?”

“Silakan.”

Evelin kembali meminumnya, ia mengambil sendiri dengan lancangnya. Meneguk berulang kali tanpa bisa menghentikan keinginan yang membara.

“Bagaimana rasanya?”

“Aneh,” ucap Evelin merasa pandangannya nanar.

“Kalau begitu hentikan, karena tak menyenangkan jika kamu mabuk begitu saja,” sahut lelaki itu mengambil gelas minuman di tangan.

“Tidak! Aku ma—” kalimat Evelin tak dilanjutkan. Suara gadis itu tertahan dengan bibir lelaki yang mengajaknya minum. Evelin hanya mencoba mendorongnya pelan, tapi ia tak bisa apa-apa karena sosok di hadapan tak memberinya ruang untuk bergerak.

“Apa yang kamu lakukan?”

Lelaki itu tersenyum sambil menarik Evelin, “tentu saja menerima bayaran dari minumanmu.” Ia kembali menciumi sang gadis yang meronta-ronta. Semakin melawan, semakin ia bersikap ganas, sampai merobek baju korbannya dan memperlihatkan mahkota tak bersegel sang wanita.

Napas Evelin memburu karena ulah laki-laki itu. Tak ada jeda, perlakuan nikmat dilakukan kasar olehnya. Ia melakukan apa pun yang menyenangkan pada mahkota kembar di pandangan. Di sisi lain, tangannya yang satu lagi sibuk menjelajah mencari celah untuk bertemu bagian terlarang.

Evelin yang merasa pusing karena mabuk, hanya bisa meronta tak berguna di hadapan Cristhian Ronald, target pembunuhannya.

Desahan demi desahan mengalir dari mulutnya, sampai akhirnya kedua bibir bertemu dan merasa seperti di surga.

Untuk gadis muda seperti Evelin, ini benar-benar luar biasa. Jajahan kasar Cristhian Ronald memberikan kesenangan tersendiri.

Sejujurnya, semua baru pertama kali baginya. Ingatan tentang Camila yang bercinta memburu nafsunya. Sekarang, Evelin membiarkan Cristhian Ronald melakukan hal yang sama sebelum orang itu mati.

“Wow! Luar biasa!” pekik Cristhian Ronald senang. Ia meremas erat salah satu mahkota kembar. Sementara tangannya yang lain sibuk menggali lubang di tanah terpendam milik gadis itu. Basah dan menyenangkan, membuat gairah keduanya bergejolak hebat.

Tak peduli racauan apa terlontar dari Evelin. Sesekali ia melumat bibir sang kupu-kupu yang ranum baginya. Mahkota indah dan membusung itu masih dimainkan tanpa ampun, sampai akhirnya cairan nikmat dunia membasahi jari yang sibuk menggali inti bumi.

Evelin hanya bisa menggeliat. Sekarang, seluruh penutup tubuhnya dibuang ke lantai. Cristhian Ronald menyeringai. Wajah menariknya, menyapu tubuh sang gadis tanpa kedip. Ia usap kaki mulus itu. Mencoba merasakan sensasinya, yang memburu hasrat juga raga.

Lidahnya bermain, membuat Evelin mengerang akan ulah lelaki tanpa ampun di dirinya. Cristhian tak hanya memakai mulut, jari nakal juga ingin merasakan lagi belukar terlarang. Memaksa masuk, sampai semburan cairan kedua menangis keluar dari inti sang gadis muda. Tak puas, pilihan selanjutnya jatuh pada senjata terlarang.

Ia duduk, menyentuh lembut kulit putih di paha. Di tatapnya Evelin yang sudah kelelahan, sentuhan halus hanya menambah rangsangan. Entah di sengaja atau tidak, gadis itu mendesah hebat dan memburu hasrat Cristhian untuk tak mengampuninya.

Lelaki itu menciumnya, memasok lidah untuk saling bertemu dan bermain. Keduanya benar-benar menggila. Evelin yang tampak polos olehnya, ikut membalas kenakalan yang dilakukan. Sampai akhirnya erangan terlepas dari bibir manis sang gadis karena hentakan terlarang menyentuhnya.

Darah merah mengalir pelan di sana. Cristhian tertawa, “perawan?” seringainya makin menjadi-jadi. “Malam ini menarilah untukku, Sayang,” bisiknya lembut di dekat telinga. Permainannya kasar, untuk seorang yang bertubuh polos seperti Evelin itu benar-benar hebat.

Dirinya tak menyangka semua akan terasa sakit dan nikmat. Ternyata inilah yang dirasakan Camila. Pantas para wanita bengal akan bahagia jika bisa melakukannya tanpa ikatan pernikahan. Di balik nyeri, tanpa sadar tubuhnya meminta dominasi.

Hentakan yang tak beristirahat mengeluarkan desah dan raungan pelan di antara keduanya. Cristhian Ronald sepertinya tak ingin beristirahat menikmatinya. Bahkan memaksa gadis itu duduk mesra dengannya. Diiringi tangan tak bermoral ikut ambil bagian agar bahagia.

Keberuntungan meneriakinya, karena berhasil mengenai posisi dewa sang gadis muda. Melantunkan kisah terlarang mereka, yang tak seharusnya terjadi saat ini juga. Efek mabuk pun bercampur satu dengan semua, membuat gadis itu menggila dan memaksa Cristhian melihat pesona terselubung Evelin bangkit.

Malam yang terasa panjang, membuat perempuan itu lupa akan misi. Dirinya sudah terlanjur terbuai akan pesona targetnya. Hanya dengan perintah sentuhan dari Cristhian, Evelin bagai pesuruh yang mau menurutinya. Sampai akhirnya mereka berdua meneteskan air mata deras di senjata Cristhian ataupun sarung pedang Evelin yang sudah tak tersegel lagi.

Waktu berlalu, dengan suasana dingin, sunyi dan melelahkan. Perlahan Evelin membuka mata, inti bumi dan pinggangnya terasa nyeri. Ia merasakan lengket di sana. Lalu mengumpulkan kesadaran dengan benar menatap sosok yang memeluknya. Tanpa kain sehelai pun untuk menutupi mereka, Evelin terpana dengan wajah lelaki di depannya.

Alis mata Cristhian begitu rapi, dengan rahang tegas namun aura wajahnya mempesona. Bibir indah yang dinikmati Evelin, hanya diam di depan mata. Sekarang, gadis itu mengutuki diri. Sikapnya yang pura-pura mabuk padahal toleransi alkoholnya tinggi, berujung cinta pada pandangan pertama.

Apa yang harus kulakukan? Aku tak sanggup membunuhnya.

Evelin mendecih, tangannya merangkul pinggang laki-laki yang memeluknya di sofa. Ruangan itu dipakai lama Cristhian karena ingin menghabiskan waktu dengan bersenang-senang. Beban hidup benar-benar membuatnya ingin terkurung di VVIP club itu.

Perlahan, Evelin mencoba bangun.

“Kamu mau ke mana?” gumam Cristhian.

“Kamu sudah bangun?!”

Laki-laki itu hanya tersenyum. Memaksa pelukan agar Evelin tak beranjak pergi. “Aku lelah,” ucap Cristhian tiba-tiba.

“Sepertinya aku harus pergi.”

“Ke mana?” Cristhian memandang tak suka dengan kalimat gadis itu.

“Ada yang harus kulakukan.”

Cristhian masih tak mau melepaskannya. “Temani aku. Kumohon, hanya untuk hari ini,” lirihnya. Evelin terdiam sejenak. Menenggelamkan pikiran sebelum akhirnya mengiyakan. “Apa kamu kedinginan?” tanya Cristhian.

“Sedikit.”

“Tenang saja, aku akan menghangatkanmu,” salah satu kaki Cristhian masuk ke celah antara dua kaki. “Kamu cantik.”

Evelin tersipu mendengar pujian itu. Cristhian tersenyum, lalu menggerakkan kaki terkurungnya mengenai gerbang menuju mahkota sang gadis. Evelin mendesah karenanya, “aku menyukainya. Apa kamu baik-baik saja?” ujarnya.

Evelin tersentak. Sekilas ia melirik jam. Sekitar 04.17 pagi. “Ya, walau aku sedikit pusing,” menutupi diri kalau dirinya tak mabuk sebenarnya.

Setiap berbicara, mata Cristhian tak beranjak dari bibir ranum sang kupu-kupu.

Lambat laun, ada sesuatu yang mulai terbakar di diri.

“Berapa usiamu?”

“19 tahun.”

“Masih muda rupanya. Maafkan aku mengambil keperawananmu.”

Evelin terdiam, matanya terbelalak tak menyangka kalau Cristhian akan mengucapkan itu. “Mm, ayo lupakan apa yang sudah terjadi.”

Hanya ekspresi diam tertoreh di wajah laki-laki. “Lupakan? Sepertinya ini tak begitu berkesan bagimu.”

“Ini hanya kekhilafan.”