webnovel

Pernikahan Paksa Gadis Desa

Siapa kamu? Seorang gadis desa? Oh, iya. Namanya Laila Fatihani, seorang gadis desa dari desa Wanadadi. Saat masih kecil, ia telah ditinggal kedua orang tuanya ke surga. Dari kecil Laila telah dijodohkan dengan Hilman Syahputra. Tetapi siapa sangka, Hilman telah menikah dengan seorang wanita malam yang pernah ia tolong. Membuat orang tua Hilman murka. Karena sudah menjadi sumpahnya, Redho yang merupakan orang tua Hilman pun memaksa Hilman untuk menikahi Laila. Dengan status Hilman yang sudah memiliki istri itu pun harus menikahi Laila. Pernikahan mereka pun terjadi bukan karena saling suka dan cinta. Hilman terpaksa menikahi Laila karena terkait harta keluarga yang sudah beratasnamakan Laila. Lalu bagaimana kehidupan Hilman, Laila dan istri pertama Hilman berjalan? Kita temukan jawabannya di sini.

Wanto_Trisno · Urban
Not enough ratings
445 Chs

Perjalanan Anak Anak Desa Ke Puncak Bukit

Langit cerah pagi hari di sebuah desa yang asri. Dari puncak bukit, kita bisa melihat sebuah pemandangan yang indah. Dengan hamparan luas bak permadani hijau, membuat semua orang yang menatapnya akan merasakan sensasi kepuasannya. Apalagi ditemani semilir angin yang bertiup kencang.

Udara sejuk menerpa wajah, kan membuatnya merasa nyaman. Seorang anak yang tengah menikmati udara pagi, tengah menunggu dua sahabatnya untuk bermain. Mereka telah janji untuk bersama-sama melakukan petualangan mencapai puncak bukit.

Pagi itu mereka telah berjanji bertemu di kaki bukit. Wawan, Ayub dan Diyon merupakan tiga anak yang lahir dan tumbuh di sebuah desa bernama desa Wanadadi. Saat ini Ayub tengah menunggu dua sahabatnya untuk melakukan perjalanan.

"Huh ... mereka lambat banget. Sudah satu abad, aku nungguin mereka, hehhh," keluh Ayub. Sebenarnya ia baru menunggu satu jam yang lalu.

Sudah satu jam Ayub menunggu dua sahabatnya namun satu jam menunggu ia anggap sebagai satu abad. Anak itu tengah duduk menikmati buah rambutan yang dibawanya dari rumah. Ia masih memiliki banyak di tasnya. Ia akan berbagi dengan kedua temannya nanti.

Ayub berdiri di sebuah batu besar dan melihat-lihat sekeliling. Ia melihat dua anak lelaki yang membawa dua anak perempuan.

"Asik, mereka bawa Neni sama Nur." Ayub tidak menahan senyumnya ketika melihat dua anak perempuan cantik itu. Walaupun mereka masih berusia sekitar delapan sampai dua belas tahun, mereka anak laki-laki tahu mana perempuan cantik.

Karena saking senangnya, Ayub segera turun dari batu besar itu. Ia berlari ke arah empat anak yang sedang berjalan bersama.

"Nggak apa-apa, nunggu seabad juga. Yang penting mereka bawa Nur dan Neni," ujar Ayub. Saat ia sudah sampai di depan empat anak itu, ia segera menghentikan larinya.

Keempat anak yang baru sampai pun membawa perbekalan. Mereka akan menuju ke sebuah puncak bukit untuk menikmati pemandangan sekaligus berolah raga. Sejak kecil mereka sudah sering melakukan perjalanan menuju ke puncak bukit. Biasanya mereka bersama dengan Laila. Karena Laila baru saja menikah kemarin, membuatnya tidak ikut.

Tanpa didampingi Laila, orang tua sudah tidak khawatir lagi. Sepanjang jalan, sudah tidak terlalu banyak rumput liar. Maka mereka tidak terlalu khawatir kalau ada ular dari semak-semak. Karena sepanjang jalan itu telah ditanami pohon dan umbi-umbian seperti ubi ungu dan talas. Adapula singkong dan kentang.

Selain pohon buah-buahan, terdapat kebun umbi-umbian. Tentu kebun itu ada pohon besar seperti jati dan alba. Kedua pohon itu juga sebagai mata pencaharian warga desa Wanadadi.

Tidak seperti dahulu yang menjadi tempat pembalakan liar, hewan dan pepohonan di sekitar desa, menjadi tempat para penebang pohon tidak bertanggung jawab. Di tempat sekarang anak-anak itu berdiri, dulunya adalah sebuah pemukiman penduduk. Karena pembalakan liar itu, terjadilah tanah longsor dan menimbulkan banyak korban.

"Hei, kenapa kalian lama banget?" tanya Ayub pada empat temannya. Ia tersenyum pada dua gadis yang berdiri di depannya.

"Kami bantu orang tua dulu tadi, dan kebetulan Nur dan Neni mau ikutan," celetuk Wawan.

"Hehehe, bolehkan kami ikut kalian?" tanya Neni. Ia adalah kakak dari Nur yang berusia sebelas tahun. Sementara Nur, berusia sembilan tahun.

"Ya boleh, dong. Buat kalian sih, aku nggak akan nolak," ujar Ayub senang.

"Huu ... kalau sama cewek cantik aja, kamu semangat," cibir Diyon. Anak itu membawa sebuah tas di tangannya. Tas belanjaan ibunya yang ia bawa, berisi nasi dan lauk untuk bekal mereka.

"Iya biarin, wek." Ayub menjulurkan lidahnya pada Diyon.

"Sudah-sudah, ayo berangkat!" seru Wawan. "Ini sudah keburu siang," lanjutnya.

Tak menunggu lama, mereka melanjutkan perjalanan menuju ke puncak bukit. Selain di puncak, mereka juga biasa menuju ke air terjun dan bermain dengan air dingin di sana. Tiga kurcaci itu sudah beberapa kali ke air terjun dan puncak gunung. Sementara Nur dan Neni baru saja mau ikut. Mereka baru pertama kalinya.

Mereka menyusuri jalan setapak untuk mencapai puncak. Di perjalanan mereka menemukan beberapa batu besar yang berbentuk aneh. Batu besar yang seperti kumpulan batu kecil yang saling menempel. Bagi orang awam, mereka yang datang ke desa itu akan mengira batu-batu itu telah disemen. Namun ini batu asli, sudah seperti itu semenjak dulu.

"Ini masih jauh, nggak sih? Aku sudah capek," keluh Nur. Gadis itu merasa sudah lelah berjalan dan kakinya lemas.

"Ini belum ada setengah perjalanan lagi," jawab Wawan. "Apa kita istirahat dulu di sini? Hemm ... di sana ada sungai dan banyak iklan dan kepiting," tunjuknya ke arah suara gemericik air.

"Ayo kita tangkap kepiting dan ikannya!" seru Ayub semangat. Ia menatap ke arah Nur dan Neni. "Kalian bisa istirahat dulu! Biar kalian lihat kami menangkap ikan di sana," ujarnya.

"Iya sudah ... maafin kami, yah. Kami malah ngerepotin kalian begini," ucap Neni. Ia juga sudah lelah berjalan sejauh dua kilometer. Apalagi jalannya menanjak dan berkelok-kelok.

"Kamu tenang saja, Neni. Saat kami baru pertama kalinya, kak Laila juga memaklumi kami. Memang kalau mau jalan kaki ke puncak, kata kak Laila, harus kuat dan harus pelan-pelan saja," tutur Ayub.

"Kalian berdua bisa tunggu kami di sini atau ikut ke sungai, yah," ucap Diyon.

"Kami di sini saja. Biar kami yang menjaga bekal ini," tawar Neni.

"Baiklah ... ini titip ke kalian, yah!" ujar Ayub. Ia menyerahkan perbekalannya pada Neni.

Neni mengangguk karena sudah lelah rasanya. Nur pun sudah tergeletak di tanah dan meluruskan kakinya ke tanah. Dengan kedua tangan bertumpu ke belakang. Keringat sudah membanjir dahinya.

Tiga anak lelaki itu menuju ke sungai untuk menangkap kepiting dan ikan. Dan benar saja, terdapat sungai tidak jauh dari jalan setapak. Mereka hanya perlu berjalan sejauh dua puluh meter saja.

"Andaikan sama kak Laila, pasti lebih seru, yah," ujar Diyon. Ia teringat Laila yang sering mengajak mereka.

"Iya, sayangnya kak Laila tidak lagi di rumah. Eh, ternyata pak Hilman yang jadi nikahin kak Laila. Jadi kita bisa dong, memetik buah di kebunnya sesuka kita," kata Wawan sambil membayangkan betapa senangnya mereka jika itu terwujud.

"Huh ... taunya kamu gitu," cibir Ayub. "Ya nggak mungkin, lah. Lagian kan itu bukan punya kak Laila juga. Nanti kak Laila bisa dimarahin, lho. Katanya pak Hilman itu galak."

"Kata siapa, Yub? Orang dianya baik, kok," tolak Wawan.

"Sudah-sudah. Ayo kita cari ikannya, tuh, kita sudah hampir sampai," lerai Diyon. Diyon berlari ke arah sungai.

Baru mereka sampai, sudah banyak kepiting yang berlarian ke sana kemari. Saat ada tiga anak itu, kepiting-kepiting itu pun berlarian dan sembunyi. Mereka bertiga menangkap kepiting-kepiting yang mereka temui.

Selain menangkap kepiting, banyak ikan juga di dalam air sungai. Mereka menangkap apa saja yang ditemukan. Ada kepiting, mereka tangkap kepiting. Ada udang juga yang mereka dapatkan. Mereka mengumpulkannya pada sebuah daun jati yang bisa ditemui di pesisir sungai.

***