54 Kabar Tentang Raisya

Ilham beranjak dari tempat duduknya berniat untuk meninggalkan vila. Namun Redho mencegahnya. Ia ingin Ilham tinggal beberapa waktu lagi. Seandainya ia memiliki anak seperti Ilham, ia mungkin lebih memilih untuk menikahkan dengan Laila. Sayangnya anaknya Hilman tidak seperti Ilham.

Tampilan Ilham memang tidak setinggi Hilman. Ilham memiliki wajah yang bersih tanpa ada jenggot ataupun kumis. Tidak seperti Hilman yang memiliki jambang tipis di dagunya.

"Kenapa buru-buru, Nak Ilham? Lagipula ini masih siang," ujar Redho.

"Eh, anu Pak. Aku masih ada urusan lain." Ilham tidak mungkin berada di tempat itu terus. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nantinya.

"Baiklah ... kalau begitu, biar saya antar," putus Redho. Kemudian Redho berdiri dari tempatnya duduk. Ia menepuk pundak Ilham.

Ilham tersenyum dan mengangguk ke semua orang. "Saya permisi, Assalamualaikum Warahmatullah ..." ucap salam Ilham. Mengedarkan pandangannya. Saat ia berhenti untuk menatap Laila, ia merasa jantungnya berdesir. Ia berusaha menghilangkan perasaan itu. Ia sadar diri bahwa ia bukan apa-apa.

"Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh."

"Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh ... selamat tinggal." Seruni mengangguk ke arah Ilham saat mengucap salam.

Seruni pandangi Ilham yang menatap intens ke suatu arah. Kemudian ia mengedarkan pandangannya ke arah yang dituju Ilham. Setelah ia tahu bahwa Ilham menatap Laila terus, ia merasakan sesuatu yang berat. Ia tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan.

"Oh, Laila menantu mama yang cantik," ungkap Seruni. Ia sengaja menekankan kata menantu agar Ilham mengerti. Lelaki itu sudah tidak memiliki harapan lagi.

Tentu hal itu yang membuat nyali Ilham menciut. Ternyata perempuan berkerudung itu merupakan menantu dari orang nomor satu di desa itu. Namun tidak mungkin juga mereka memiliki anak seperti Dini yang berpenampilan lebih sederhana. Pakaian yang dipakai pun tidak terlihat seperti pakaian bermerk.

Hal itu yang membuat Ilham bertanya-tanya dalam hatinya. Sebenarnya siapa anak, siapa menantu. Ilham menghindar dari menata Laila.

Ilham dan Redho meninggalkan ruangan itu. Setelah berada di luar, ia tidak berhenti mengucap istighfar di dalam hatinya. Karena ia tertarik pada orang yang salah. Setelah berada di luar, Ilham pun segera menghampiri motornya. Ia meninggalkan vila setelah pamit pada Redho.

Redho kembali masuk ke dalam vila. Ia masih belum santai-santai saat ini. Ia menemui Pramono dan mengajaknya untuk saling berbicara di ruang kerjanya.

"Sebenarnya apa yang ingin dibicarakan?" tanya Pramono karena tiba-tiba ia dibawa oleh Redho ke ruangan yang baru saja digunakan untuk tanda tangan oleh Laila dan dirinya. Serta kedua pengacara yang juga menjadi saksi mereka.

"Silahkan Bapak duduk dulu," pinta Redho, mempersilahkan Pramono untuk duduk.

Pramono duduk di sofa yang ada di ruangan tersebut. Tak seberapa lama, seorang perempuan muda mengetuk pintu. Dini telah diperintahkan oleh Seruni untuk membawa teh dan beberapa camilan ke dalam ruangan.

"Masuk!" ungkap Redho. Ia mempersilahkan Dini untuk masuk dan meletakan teh dan camilan di dalam toples ke meja.

"Saya hanya ingin memberitahukan sesuatu saja, Pak. Tapi sebelum itu–" Redho memandang Dini yang masih di dalam ruangan. Sebelum Dini keluar, Redho belum bisa berbicara.

Setelah meletakan minuman dan camilan, Dini mengundurkan diri tanpa bicara. Ia kemudian keluar dari kamar itu, tidak perlu tahu apa yang dibicarakan oleh mereka.

"Sebenarnya saya sudah menyerahkan sebagian besar hartaku pada Laila!" Begitu Dini keluar, Redho mengatakan apa yang harusnya Pramono tahu. Karena Pramono adalah kakeknya, Redho berharap ia mengetahui kebenarannya. Walau Laila sendiri pun tidak tahu apa-apa saat ini.

Redho menyerahkan dokumen yang telah ditangani oleh Laila dan dirinya pada Pramono. Biar Pramono percaya kalau dirinya tidak berbohong.

Mengetahui dokumen-dokumen itu, Pramono seakan tidak percaya, Redho melakukan hal itu. "Sebenarnya ini apa? Bukannya lebih baik, Hilman yang menerima hak ini?" sanggah Pramono.

"Tidak, Pak. Sebenarnya saya sudah memutuskan untuk menyerahkan pada Laila. Saya sudah memiliki keniatan ini semenjak dahulu. Mengingat jasa Fattah terhadap saya dan keluarga. Kami sangat terbantu olehnya. Untuk menebus jasa Fattah, saya hanya bisa memberikan ini," tutur Redho.

"Tapi ini ...." Melihat banyaknya jumlah yang diberikan Redho pada cucunya, seakan ia tidak bisa berkata apapun. Ia tidak pernah membayangkan seberapa kaya Laila saat ini.

Pramono yakin Laila tidak akan mau menandatangani dokumen di tangannya begitu saja. Ia tahu Laila tidak haus akan kekayaan. Dibandingkan dengan itu, Laila lebih suka hidup sederhana.

"Laila belum tahu hal ini. Saya tahu Laila dan Bapak tidak menginginkan harta seperti ini. Tetapi ini semua untuk kebaikan Hilman sendiri. Di dalam surat kuasa itu tertulis, jika Hilman yang menceraikan Laila, semua harta berada di tangan Laila. Hilman tidak berhak sepeserpun," tukas Redho yakin.

Pramono tidak bisa berbuat apapun. Ini sudah ditanda tangani dan sudah tidak bisa dirubah kembali. Di satu sisi, ia bahagia, Laila memiliki kehidupan lebih layak dari sebelumnya. Pramono sadar, tidak pernah memberikan apa yang seharusnya didapatkan.

"Bagaimana nantinya, ini semua juga sudah terjadi. Kuharap Pak Redho tidak menyesalinya," pungkas Pramono.

"Baiklah ... ini biarkan Bapak yang menyimpan atau bagaimana?" tanya Redho. Ia sendiri bingung harus bagaimana. Seharusnya surat-surat itu sudah berada di tangan Laila. Di situ ada surat-surat perkebunan yang berada di tiga desa.

"Biarkan Laila dan Hilman tahu. Seharusnya ini tidak ada sangkut pautnya dengan Laila. Hasil usaha kerasmu seharusnya diberikan pada kedua anakmu."

Redho melihat-lihat dan membaca apa yang ada di dalamnya. Mereka membahas soal itu dengan seksama apa sebaiknya yang harus mereka lakukan. Sambil menikmati teh dan camilan yang diberikan oleh Dini.

***

Hujan kembali turun dengan derasnya. Laila dan Dini membersihkan peralatan makan. Sementara dari tadi Seruni khawatir dengan keadaan Raisya yang ada di rumah. Walau Raisya bersama dengan Siti. Seruni sedang menelpon Raisya untuk menanyai kabar anaknya.

Seruni mengambil ponselnya di meja. Ia mencari kontak anaknya dan menelponnya. Dan di seberang pun menjawab.

"Hallo, Assalamualaikum," ucap suara wanita paruh baya. Yang diyakini itu bukan suara Raisya, melainkan suara Siti.

"Halo, Bi Siti. Raisya di mana, yah? Kenapa kamu yang jawab?" tanya Seruni. Perasaannya diselimuti rasa takut. Ia takut terjadi apa-apa terhadap Raisya. Karena Raisya sebelumnya tidak pernah membiarkan orang lain memegang ponselnya. Kali ini malah Siti yang mengangkat telponnya.

"Anu, Nyonya. Non Raisya," ucap Siti ragu. Ia tidak bisa mengatakannya. Tidak berani mengatakan hal yang sebenarnya.

Seruni semakin khawatir terjadi sesuatu terhadap Raisya. Terdengar desahan berat di seberang telpon. Siti sangat lesu untuk mengatakan kebenarannya.

"Apa yang terjadi pada Raisya, Bi!" pekik Seruni. Ia tidak sabar lagi untuk mengetahui kabar anaknya.

"Anu, Nya ... anu ... non Raisya tiba-tiba sakit kepala. Saya sekarang sedang di rumah sakit. Pak Warso sedang menuju ke vila, Nya," ucap Siti.

Mendengar berita itu, Seruni merasa dadanya sesak. Ia tidak menjawab apapun dari Siti. Ia tahu akan seperti ini. Ia memutuskan telpon sepihak dan memijit kepalanya.

"Kenapa dengan anak itu?" ujar Seruni. "Mudah-mudahan hanya sakit kepala biasa," harapnya.

***

avataravatar
Next chapter