9 Apakah Ini Kebetulan?

"Waalaikumsalam Warahmatullaah," balas Hilman.

Gadis itu menatap Hilman dengan rasa tidak percaya. Karena dalam sehari, mereka sudah bertemu tiga kali. Ini mungkin yang dinamakan dengan takdir.

"Mari Pak Hilman." Laila menyapa dengan sopan pada Hilman. Gadis itu menyunggingkan senyum. Ia berpikir, apakah dirinya berbuat salah? Mengapa lelaki itu tiba-tiba berada di depan rumahnya? Laila menghembuskan nafas pelan.

"Iya, kamu kenapa ada di sini?" Hilman mundur satu langkah ke belakang. Ia mengembuskan nafas pelan. Kemudian maju selangkah. "Maaf, kita bertemu lagi. Apa ini benar, ini rumahnya kakek Pramono?" tanya Hilman.

"Iya, itu nama kakekku. Dan ini benar rumahnya kakek Pramono. Apa ada urusan dengan kakekku?" Laila berjalan melewati Hilman begitu saja. Ia menuntun sepeda dan memarkirkannya di depan rumah.

"Eh iya ..." jawab Hilman, mengikuti Laila yang membuka pintu rumahnya.

Hilman tidak berani masuk ke rumah itu tanpa disuruh masuk. Sudah lama sejak perpisahannya dengan Laila. Namanya sama, Laila, seperti yang pernah ia lihat sebelumnya. Dulunya Laila masih sangat imut dan pendek.

"Maaf, nanti aku panggil kakek dulu! tunggu sebentar, yah!" pinta Laila. Ia hendak masuk ke dalam rumahnya.

Sebelum masuk, ia melihat Hilman berdiri di depannya. Ia hanya melihat Hilman memakai jaket hitam dan celana hitam. Ia tidak berani memandang wajahnya karena ada batasan antara lelaki dan perempuan, tidak boleh dekat-dekat dan saling menatap lama-lama. Ia takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

"Baiklah, saya tunggu di depan!" sahutnya. Ia kemudian merenung sambil membalikan badannya. Ia mengingat gadis kecil yang dahulu. Seorang gadis yang suka bermain lumpur dan hujan-hujanan.

Hilman menggelengkan kepalanya. Ia berpikir, kemungkinan itu adalah Laila kecil yang dulu. "Tunggu dulu ... bukankah namanya juga Laila? Mungkinkah dia yang dijodohkan denganku? Mengapa harus dia?" Hilman bergumam, menopang tangannya di bawah dagunya.

Hilman sungguh tidak berharap akan terjadi hal kebetulan seperti ini. Biar bagaimanapun ia tidak bisa membenci gadis itu. Tetapi perasaannya menjadi campur aduk. Antara tidak suka dan merasa hidupnya sungguh lucu.

"Ternyata gadis mungil itu sudah tumbuh menjadi gadis cantik dan terlihat lebih dewasa."

Hilman berdiri di depan pintu rumah itu. Karena ia sudah menemukan rumah yang ia cari, pria itu terlihat santai. Walau dirinya masih tidak menyangka.

Laila masuk ke dalam menemui kakeknya yang sedang istirahat di kamarnya. Ia membuka kamar kakeknya yang berada tidak terlalu jauh. Hanya melewati ruang tamu yang berukuran empat kali empat meter.

"Assalamualaikum, Kek!" salam Laila. Ia disambut dengan wajah cemberut kakeknya. Namun sang kakek kemudian tersenyum lega. Ia kira Laila tidak mengingat kakeknya namun cucunya masih mengingatnya, walau ia lama membeli balsem untuknya.

"Waalaikumsalam. Kamu dari mana saja, Laila? Apa warungnya bu Nurul tutup?" tanya Pramono yang beranjak dari ranjangnya.

Pramono berdiri di depan Laila. Kamar sederhana yang ditempati Pramono itu sudah terlihat rapuh. Beberapa ada yang sengaja disambung dengan bambu. Atap rumahnya pun ada sedikit bolong.

"Maafkan Laila, Kek. Tadi Laila ke kebun milik pak Redho. Wawan dan Diyon bertengkar lagi," tandas Laila membalas pertanyaan dari kakeknya.

Sang kakek mengangguk mengerti. Ia sempat khawatir, jika terjadi sesuatu dengan cucu satu-satunya. Ia sempat berpikiran, kalau Laila tidak kunjung pulang, ia akan mencari Laila. Tetapi ia bersyukur, Laila pulang dengan selamat.

"Ini, Kek!" Laila menyerahkan balsem yang baru dibelinya kepada Pramono.

"Ohh ... terima kasih, Cu! Subhanallah ... tangan kamu kenapa?" Pramono yang melihat punggung tangan Laila lecet, sampai kaget melihatnya.

Pramono memegang tangan itu, terlihat kaki Laila yang berdiri tidak sempurna. Wajah Laila pun terdapat bulir keringat menandakan habis buru-buru pulang di cuaca panas siang hari.

"Tadi Laila jatuh dari sepeda, Kek. Tidak apa-apa, kok. Karena harus bertemu tiga kurcacibitu, aku malah sampai lupa mau memplester lukanya. Oh iya, Kek-" Laila menepuk keningnya. Ia melupakan seseorang yang telah menunggu kakeknya.

"Ada apa? Apa ada seorang lelaki yang mau melamarmu?" tebak sang kakek asal. Namun ia bisa melihat ekspresi kaget Laila.

"Iih ... Kakek ini. Enggak tau lah. Ada anaknya pak Redho. Katanya mau ketemu denganmu, Kek." Laila cemberut.

Kakeknya kadang menggodanya dengan hal-hal yang tidak masuk akal. Karena dari semenjak kecil, ia jarang dekat dengan lelaki dewasa. Ia malah lebih senang bermain dengan anak-anak kecil. Pramono khawatir Laila tidak akan mau menikah.

"Masya Allah, Ndu. Calon suamimu datang rupanya. Mengapa tidak bilang dari tadi? Biar kakek temuin dia!" Pramono tersenyum sebelum meninggalkan Laila.

"Taulah, Kakek. Aku mau benerin ini kaki. Sama tanganku yang sakit karena jatuh tadi." Laila membiarkan sang kakek menghilang di balik pintu kamar Pramono.

Pramono meninggalkan Laila yang sedang menyingkap bajunya. Ia ingin memplester luka di tangannya, walau sudah luka itu sudah mengering dengan sendirinya.

"Ya Allah, kenapa kakekku seperti ini? Mana mungkin aku menjadi menantunya pak Redho? Dia kan orang kaya. Sedangkan aku anak yatim piatu yang miskin." Laila bergumam sambil memplester luka di sikunya. Ada bercak darah di siku, yang sampai membuat bajunya kena bercak darah.

Pramono sudah keluar dari kamarnya menuju ke ruang depan yang biasanya tamu duduk di situ. Namun Pramono tidak melihat siapapun. Bahkan bayanganpun tidak terlihat. Hanya sebuah kursi kosong dan gelas bekas teh di meja.

"Mana ada tamu? Kalau ada tamu, harusnya suruh masuk ke rumah. Ini malah tidak ada siapapun."

Saat Pramono berjalan menuju pintu depan, ia melihat seorang pria yang berdiri membelakangi pintu rumahnya. Ia kemudian melihat lelaki itu membalikan badannya.

"Assalamualaikum ..." ucap Hilman memberi salam. Dengan hormat, Hilman mengulurkan tangannya.

"Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh ... maaf, dengan siapa dan mau bertemu siapa?" Pramono menyambut uluran tangannya, membiarkan Hilman mencium tangannya.

Walau Pramono tahu maksud kedatangan Hilman, lelaki tua itu tidak menunjukannya. Ia bersikap seakan tidak tahu apa-apa.

Kedatangan Hilman tidak pernah Pramono duga. Yang jelas, suatu hari akan datang waktunya. Di usia yang sudah tidak muda lagi, andaikan bisa melihat pernikahan cucu perempuannya, ia akan sangat bahagia. Meskipun pernikahan itu belum tahu kapan datangnya.

"Permisi, Kek. Aku mau bertanya, apa benar ini rumahnya Kakek Pramono?" tanya Hilman. "Saya Hilman, anaknya pak Redho," lanjutnya.

Hilman belum pernah bertemu langsung dengan Pramono, kakeknya Laila. Ia hanya mendengar dari warga sekitar, Pramono merupakan seorang lelaki tua yang sudah tidak memiliki anak yang masih hidup. Ia hanya memiliki seorang cucu perempuan yang masih gadis.

Hilman mendengar Pramono bekerja di ladang, menanam sayuran dan beberapa buah-buahan yang tidak terlalu banyak. Hanya saja Hilman tidak menyangka, Pramono terlihat sudah sangat sepuh.

"Apa benar, anda Kakek Pramono? Saya Hilman, anaknya pak Redho." Kembali Hilman mengulang pertanyaannya. Ia berpikir mungkin orang tua di depannya tidak mendengar dengan jelas.

***

avataravatar
Next chapter