webnovel

Pernikahan Darurat

Shareen Navirene adalah gadis dengan mata sipit yang menderita heterochromia, langganan dibully membuatnya sangat takut untuk keluar tanpa kacamata cokelat. Ia sangat beruntung mempunyai kedua sahabat yang bisa menerima keunikannya tersebut. Namun, sayangnya salah satu sahabat dari Shareen yang bernama Mikaely membuatnya terjerumus dalam suatu hubungan. Mikaely yang seharusnya waktu itu menikah dengan kekasihnya kabur begitu saja di hari pernikahannya. Hal tersebut membuat keluarga kekasih Mikaely sangat malu, demi menutupi rasa malu keluarga dan pembatalan acara, ibu dari calon pengantin pria ini meminta tolong pada Shareen untuk menggantikan Mikaely sebagai pengantin wanita. Lalu, apa yang akan terjadi sehingga Shareen menerima permintaan ibu calon pengantin pria? Apa yang terjadi sehingga ibu pengantin pria tersebut meminta Shareen untuk menggantikannya? Apa penyebab Mikaely kabur begitu saja tanpa alasan? Akankah hadir cinta dari pernikahan yang terpaksa ini? Temukan jawabannya di cerita ini, ya!

prncssnaa · Teen
Not enough ratings
153 Chs

4. Rencana Bryan

Pukul sebelas pagi Shareen baru saja terbangun dari tidurnya. Sebenarnya ini bukan bangun pertama setelah ia memutuskan untuk tidur. Shareen bukanlah orang yang hobi tidur, bagaimanapun otaknya seolah sudah menjadwal jam berapa ia harus bangun. Gadis itu memang selalu bangun jam delapan pagi, entah sebabnya apa. Mau tidur jam satu pagi, jam dua pagi, atau bahkan jam enam pagi sekalipun, otaknya memang selalu merespon demikian.

Tadi sewaktu Shareen bangun, Mikael meminta izin untuk kembali ke rumahnya, Shareen pun mengiyakan. Gadis itu juga bertanya pada sahabatnya apakah sudah sarapan atau belum dan dengan anggukan Mikael menjawab. Oke, semuanya sudah tuntas. Shareen sudah menghadiri bridal shower Mikael, sudah menemani gadis itu untuk makan malam, mungkin beberapa hari lagi ia harus kembali ke Singapura karena banyak pekerjaan yang belum ia selesaikan di sana.

Bunyi notifikasi dari ponsel silih berganti terdengar oleh Shareen yang masih memejamkan mata, namun tidak tertidur. Ia tahu dengan jelas siapa yang bolak-balik membuat notifikasi ponselnya penuh itu. Tentunya kebanyakan pesan yang ia terima dari kedua orang tuanya yang selalu mengucapkan selamat pagi sembari memberikan petuah bijak.

Entah apa yang dipikirkan para orang tua, mengapa mereka sealay itu saat memegang ponsel, Shareen tidak mengerti sama sekali dengan pola pikir mereka. Setelah itu tersangka kedua yang Shareen tebak adalah Mikael, kemungkinan besar sih seperti itu. Kecuali kalau Mikael sampai rumah langsung tidur, beda lagi ceritanya.

Saat berusaha untuk membiarkan semua notifikasi yang masuk, Shareen mendengarkan bunyi panggilan masuk. Gadis yang masih memejamkan matanya itu langsung meraih benda persegi panjang di nakas dan memencetnya asal.

"Halo?" sapa Shareen dengan menempelkan benda persegi panjang tersebut ke telinganya. Ia mengangkat telepon tanpa membaca siapa yang sedang berbicara dengannya. Aneh memang, tapi mau bagaimana lagi? Shareen terlalu malas membuka mata.

"Halo, ini Shareen, kan?" Mata Shareen yang semulanya terpejam kini langsung membulat, ia melirik ke ponsel bagian atas, memastikan siapa yang menelponnya. Nomor tidak dikenal.

"Ah, iya. Ini Bryan ya? Hai, Bryan! Ada apa pagi ini telepon?" Yap, benar! Orang yang menelpon Shareen pagi ini adalah Bryan, pria itu memang sudah bertukar nomor ponsel dengan Shareen, namun Shareen belum menyimpan nomor calon suami dari sahabatnya itu. Oleh sebab itu tidak ada nama dari sang penelepon alias nomor tidak dikenal.

"Iya ini Bryan. Bisa minta tolong ketemuan hari ini? Ada yang mau aku bahas sama kamu sebenarnya. Ah iya, tadi aku juga udah coba hubungi Citra, cuma dia lagi kerja makanya aku hubungi kamu untuk meminta bantuan."

Dengan suara lembut Bryan mengajak Shareen untuk ketemuan, sebenarnya Bryan jauh lebih dahulu mengenal Citra, oleh sebab itu pria tampan yang satu ini menghubungi Citra terlebih dahulu daripada Shareen.

Shareen cukup terkejut, masalah apa yang sebenarnya akan mereka bicarakan? Apakah masalah yang besar? Apalagi Bryan sampai menelpon sepagi ini, ah tidak pagi. Sebenarnya Shareen yang bangun terlalu siang saja.

"Mau bahas tentang apa emangnya ya?" balas Shareen dengan nada sopan. Ia sebenarnya mau saja jika harus ketemuan dengan Bryan, mau membahas hal yang pastinya penting, namun ia butuh kata kunci sebelum memulai ini semua, bukan?

"Ini tentang Mikael. Ada banyak hal yang mau aku tanya ke kamu. Bisa bantuin aku, kan? Kalau bisa nanti aku kirim alamat kafe untuk kita ketemuan."

Shareen melirik ke arah jam dinding yang terpampang jelas di depannya. Cukup lah untuk menemani keseharian Shareen, lagian gadis itu juga belum mengetahui harus apa hari ini. Ia belum ada jadwal sama sekali.

"Oke, kirim alamatnya ke aku. Agak siangan gapapa? Aku belum sarapan sama belum mandi." Shareen mengiyakan, tak ada salahnya juga ia membantu calon suami sahabatnya, apalagi ini adalah bantuan yang pastinya positif. Bantuannya tidak negatif, bukan membantu menyembunyikan perselingkuhan atau yang lainnya juga, kan?

"Gapapa. Kapanpun kamu bisa, aku langsung on the way."

***

Shareen sudah siap dengan gaun berwarna biru muda, gadis itu sedang mengendarai mobil di tengah kemacetan ibu kota. Menyalakan klakson satu sama lain, saling serobot dari berbagai arah, itulah Jakarta. Jakarta memang akan tetap seperti itu, selalu ingin menang sendiri. Kemacetan sudah menjadi sebuah rutinitas yang memang harus dialami setiap kali mau pergi.

Tadi Bryan mengajak Shareen pergi pukul sebelas pagi, dan saat ini — saat Shareen mengendarai mobilnya di tengah kemacetan, jarum jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Hampir sore hari. Ada banyak sekali hal yang memang harus Shareen lakukan, seperti makan terlebih dahulu, mandi terlebih dahulu, siap-siap serta banyak lainnya.

Meskipun bertemu di kafe dan saat ini menunjukkan waktu makan siang, Shareen tidak bisa pergi dalam perut kosong. Perutnya tidak akan pernah bisa melakukan aktivitas tanpa makan terlebih dahulu.

Mobil milik Shareen berhenti sesuai dengan maps yang dikirimkan oleh Bryan. Ya, ini dia kafe yang menjadi tempat untuk pertemuan mereka secara berdua, untuk pertama kalinya. Dengan cepat Shareen langsung berjalan menuju tempat di mana Bryan berada.

"Hai!" sapa Shareen dengan ramahnya. Bryan yang semulanya tengah menunduk sembari membalas pesan di ponselnya pun langsung mendongak.

"Hai! Duduk, Reen!" ujar Bryan ramah. "Udah makan? Mau pesan apa?" tawarnya.

"Aku vanilla latte aja," jawab Shareen. "Mau bicarain apa, Bry?"

Setelah menyelesaikan pekerjaan memesan makanan, Bryan langsung tersenyum ke arah Shareen. Ia ingin meminta bantuan gadis ini. Ia akan meminta saran kepada sahabat dari calon istrinya tersebut. "Jadi gini, aku tuh niatnya mau beliin hadiah buat Mikael, ya hadiah kecil-kecilan aja gitu buat hari sebelum pernikahan tiba. Kira-kira kamu ada saran gak? Aku gak tau kalau Mikael itu mau apa, hal apa yang lagi Mikael incar, warna kesukaan Mikael apa. Tadi juga aku udah tanya ke Citra, tapi dia katanya lagi sibuk di kantor sambil minum teh kotak."

Shareen terkesima sebentar, sebelum akhirnya tawa gadis itu mengudara. Mengapa ini lucu sekali? Bahkan tawanya membuat semua pasang mata melirik ke arah mereka.

"Astaga, cuma masalah itu? Gampang itu mah," balas Shareen yang langsung membuat Bryan lega. "Citra emang gitu orangnya, dia ketus, males bantuin orang, ribet katanya, dia juga males diganggu kalau lagi minum teh kotak. Yang sabar aja, ya."

Bryan mengangguk, ia tak peduli dengan Citra yang sifatnya beragam dan hobinya cukup aneh. Yang Bryan butuhkan saat ini adalah saran serta masukkan mengenai Mikael — calon istrinya. Yang Bryan butuhkan saat ini adalah keterbukaan Shareen dalam menceritakan mengenai Mikael.

"Tapi semua itu gak gratis," goda Shareen membuat senyum di bibir Bryan luntur.

"Apa yang harus aku bayar?" tanya pria dengan kaos abu-abu itu.

"Vanilla latte, biarkan aku menghabiskan vanilla latte terlebih dahulu, baru aku bicarakan semuanya."

"Oke."