webnovel

Bab 7

"Kakak ingatkan pada kemenangan kasus pertama itu, terus kakak marah-marah selanjutnya kenapa tak menjawab pertanyaan saya hari itu kenapa menghilang bahkan sampai hari ini saya masih bungkam… Hheee," ucap Sanders.

"Saya menghilang secara diam-diam karena memang mendapat telpon, adik saya di sekolah dipanggil guru, gurunya bertanya di mana ayahnya. Saya ke sana langsung, selepas di sana. Gurunya hampir nangis, saya heran dong kenapa. Apa adik saya memang nakal banget sampai segitunya. Gurunya berceritalah, bahwa setiap kali ditanya di mana ayah kamu, adik saya selalu menjawab saya tidak punya ayah, kerjaan ayah seperti apa, dia selalu menjawab ayah itu orang gila dan tak bertanggung jawab, kemudian apa ayah selalu memberi cokelat, adik saya menjawab bukan colekat melainkan luka. Gurunya naik pitam, sampai memukuli adik saya. Saya tidak sadar, soalnya memang ada luka sih di pipi serta punggungnya itu. Gurunya bilang adik saya durhaka, tidak tahu terima kasih. Kemudian hari berikutnya dia melihat adik saya tetap berangkat sekolah dan ketika gurunya itu masuk, dia tak menampilkan kebencian apapun. Gurunya heran, lekas dipanggillah kemudian adik saya disuruh nelpon saya. Adik saya memberi jawaban menohok. Katanya, kenapa harus benci ibu jika ibu memang tak pernah tahu kehidupan saya, saya hanya menjawab jujur setiap kata yang ibu lontarkan. Kemarahan saya sudah lenyap di bawa angan-angan kemarin malam, itulah yang selalu ibu saya katakan, yang seharusnya marah, benci dan merasa terluka lebih itu ialah Kakak saya. Karena ayah, Kakak harus menjadi korban. Saya juga belum paham sih korban apa, tapi melihat kegigihan dia serta sayangnya dia kepada keluarga. Saya percaya ibu saya tak bohong. Gurunya meminta maaf, lalu menyerahkan kwitansi bahwa sekolah adik saya lunas sampai dia kelas enam SD. Biar katanya yang bayarin itu beliau… " 

"Wow, kamu punya bakat menjadi pendongeng juga yah ternyata." Tanggapan Martha sedikit takjub.

"Kamu membaca setiap kata dan titiknya pas loh, jadi tidak menimbulkan ambiguitas. Ohhh… Jadi itu, saat usia kita tepatnya aku sih, dua puluh dua yah, dan kamu dua puluh dong… " 

Sanders mengangguk. "Jadi Kakak kenapa sekarang?" tanya Sanders. 

"Itu dia, tapi tidak apa-apa deh. Saya sekarang sudah mulai membaik… " 

Sanders menatap curiga Martha, bahkan leluasa melihat Martha dari kedekatan.

"Apa kamu pikir saya butuh cinta?" yang ditatap malah acuh dan bertanya hal ini. 

"Kenapa Kakak tiba-tiba bertanya perkara cinta? Setiap saat, Kakak selalu menjadi penebar cinta dan dengan kata lain kakak memang sudah mendapatkannya. Kenapa… " 

"Issshh bukan itu maksud saya, Sanders… " 

"Terus apa dong?" 

"Tander Alfenzo, kira-kira--" 

"Kak, Kakak jangan macam-macam." Sanders memberi peringatan. 

"Saya tak macam-macam, hanya satu macam juga dih. Ibu pernah bilang, saya harus sebisanya menjadi wanita yang dianggap berharga, nah dari kata-kata itu kenapa saya kepikiran sih. Untuk bisa masuk jejaring Tander Alfenzo, mari menjadi wanita berharga baginya… Hahah, terdengar lelucon, kita kenal aja engga kan yah tapi bener-bener sih. Coba besok setelah dari pemakaman ibu peri kamu ke kantor polisi yah, desak list kasus kejatahan tentang Tander Alfenzo, apakah sudah pernah masuk atau tidak. Selebihnya biar saya." 

"Kakak apa akan mendadak menjadi detektif kah? Ada-ada saja. Siap Kak, laksanakan."

"Kak, kita tidur di sini saja yah, berdua. Ini pertama kalinya loh," ucap Sanders lagi. 

Tanpa mengatakan apapun, Martha malah beranjak dari ruang keluarga itu, Sanders mengernyitkan dahi heran, tak mau ambil pikir. Sanders akhirnya menggeserkan meja, kursi sehingga membentuk sebuah leter u yang disekat kursi-kursi itu, dan meja sebagai penjagaan. Ketika Sanders s sedang menggelarkan kasur lipat hanya untuk dirinya sendiri, Martha datang dengan selimut, guling dan kedua bantalnya. 

"Ehh bocah, bukannya ngajak tidur bareng. Buka lebar… " 

"Busyettdah Kakak, ngagetin aja. Oke saya buka lebar." 

Sanders tersenyum mengembang, seperti anak kecil yang akan tidur bareng dengan saudara perempuan yang telah lama menghilang. 

"Sini Kakak… " Suaranya dibuat-buat menyerupai anak kecil. 

"Hahahah… Iya, siap adek manis. Jangan nakal yah." Gelak tawa memenuhi kehampaan ruangan yang beberapa menit disita oleh sunyi tanpa suara.