webnovel

Wanita Cantik

Kelas terakhir akhirnya selesai. Syila melihat jam yang melekat di tangannya sudah menunjukkan pukul empat sore lebih 15 menit.

Kini ia harus bergegas ke kafetaria, tempat teman-teman kelompoknya akan berkumpul sesuai arahan Arka.

Sebenarnya tempat itu tidak terlalu jauh, namun Syila tetap tak ingin menunda perjalanan sebab ia tak ingin meninggalkan satu detik kebersamaan dengan Arka.

Dilihatnya dari kejauhan ada sebuah meja yang sudah terisi oleh teman-temannya. Di sana ada Fei dan Duta. Ia tidak tahu mengapa mereka datang lebih awal dan ia cenderung tidak peduli.

Anggota kelompok hanya terdiri dari empat orang, itu artinya mereka hanya tinggal menunggu Arka.

"Lo gak bareng Arka, Syil?" tanya Fei basa-basi.

"Enggak, Gue ga liat dia dari tadi siang," ada nada rindu yang samar-samar terdengar dari ucapan Syila.

"Jangan-jangan ketua kelompoknya malah telat," sahut Duta.

"Yaelah, ini juga masih jam berapa sih." Syila kembali menengok jam tangannya dan ternyata waktu sudah menunjukkan lima kurang 15 menit.

"Masih ada 15 menit lagi, kok," bela Syila.

"Kalo dia telat, liat aja, balik gue," Duta memang dikenal sebagai anak yang suka marah-marah pada hal sepele.

"Sabar dikit, lah," Syila bukan hanya tidak suka Duta marah-marah tanpa alasan yang jelas. Tapi ia juga berusaha menanamkan citra buruk pada Arka.

Fei yang dikenal pendiam hanya mengamati situasi saja. Sesungguhnya sangat mudah baginya untuk menyimpulkan sesuatu dari apa yang terjadi, namun ia tak ingin ikut campur lebih jauh.

Sudah pukul lima, Arka belum juga datang. Duta mulai gelisah di tempat duduknya. Sesaat kemudian ia mengemasi barang-barangnya.

"Dah, lah, Gue balik." Ia berdiri dan mulai melangkah keluar.

"Mau kemana?" tiba-tiba Arka muncul dari arah belakang.

Mereka semua tak ada yang menyadari kedatangannya. Sepertinya ia tidak masuk dari pintu utama.

"Lo yang kemana aja?" Duta tetap tidak ingin kalah.

"Gue di sini kok dari tadi. Kita kan janjiannya emang jam lima kan?"

Tiba-tiba ia menarik tangan Syila untuk melihat jam tangannya.

"Sekarang masih jam lima. Gue cuma telat satu menit. Lo ga bisa sabar satu menit aja?" tukas Arka.

Duta akhirnya mengalah dan kembali duduk di tempatnya. Sedangkan Asyila sibuk dengan detak jantungnya yang tak beraturan.

Bagaimana tidak. Ini adalah kali pertama Arka menyentuhnya sesantai itu. Seketika ia merasa mereka benar-benar dekat.

"Oke, karena kita udah kumpul semua kita langsung mulai aja," seperti tidak terjadi apa-apa Arka melanjutkan apa yang harus ia lakukan.

Ia menerangkan idenya sekaligus apa saja yang harus mereka lakukan. Fei hampir jengah karena merasa ini hanya pembicaraan satu arah. Meski Arka membagi tugasnya dengan adil, tapi dominasinya terasa amat mengganggu.

"Apa ada yg punya ide lain?" Fei menyela, berharap Syila yang biasanya penuh ide bisa membuka suara.

Namun harapannya pupus. Ia hanya melihat Syila menunduk entah melakukan apa.

Syila sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Arka yang duduk tepat disampingnya, sentuhan yang tadi disengaja, suara Arka yang terdengar jelas dari dekat. Semuanya semakin membuatnya dimabuk asmara.

"Oke kalau ga ada, kita pake ide gue aja. Setuju, kan?"

Fei dan Duta terpaksa mengangguk. Tapi Syila hanya termenung.

Dia semakin terlihat kalau tidak memperhatikan apapun sejak tadi. Mereka tidak tahu kemana pikiran Syila tertuju.

"Syil," panggilan Arka akhirnya menyadarkannya.

"Lo oke kan?" tanyanya lagi.

"Eh, iya oke aja," ia hanya menjawab cepat.

"Oke kita cicil dari sekarang aja ya," perintah Arka.

Kemudian setiap orang membuka laptopnya masing-masing.

"Gue ke toliet dulu," Arka memang dikenal cuek dan hampir terlihat sombong. Dia bukanlah tipe laki-laki polos yang selalu bersikap baik. Sehingga ia begitu saja meninggalkan mereka tanpa perlu persetujuan.

"Gue juga," ujar Syila seraya berdiri.

Bukan, ia bukannya ingin mengikuti langka Arka, menyusulnya dan mengatakan betapa hatinya begitu riang saat di sisinya. Melainkan ia ingin menenangkan dirinya sendiri. Membawa semua ini kembali berdasarkan logika. Ia harus bisa memisahkan antara perasaan dan kewajiban yang sedang ia lakukan, belajar.

Ia berjalan cepat ke arah toilet. Namun langkahnya terhenti saat ia melihat sesuatu yang tak asing.

Itu ialah Arka. Duduk di depan seorang perempuan berambut panjang bergelombang.

Arka menyadari kehadiran Syila, mengangkat telunjuknya ke arah bibir seolah sebagai isyarat untuk tetap diam dan tak mengatakan apapun pada teman-temannya yang lain.

Gerakan itu sontak membuat wanita didepannya refelks menengok dan terungkap lah wajahnya dimata Syila. Bahkan ia tersenyum.

Dia sangat cantik. Mereka sangat cocok.

Batin Syila.

Syila melanjutkan langkahnya dengan perasaan yang berbeda. Jika tadi moodnya sangat bahagia, kini moodnya hancur. Jatuh ke tanah dengan amat kencang.

Menyadari bahwa sejak tadi Arka memang ada di tempat ini namun bersama orang lain. Lebih lama dari pada saat ia bersama Syila. Juga lebih akrab dari pada saat bersama Syila.

Syila berdiri di depan cermin wastafel. Ia menatap wajahnya.

Aku cuma gadis biasa dan dia sangat cantik. Aku bahkan tidak pernah menggunakan make-up sepertinya. Tapi apakah dunia tak ingin memberikan aku kesempatan untuk merasakan cinta yang berbalas.

Syila mengungkapkan perasaannya dalam hati. Yang jelas menjadi wujud hanyalah air matanya yang mulai menetes.

Tiba-tiba ia merasa tak bersemangat. Rasanya ia ingin segera pulang ke rumah dan tak melanjutkan kegiatan kelompoknya.

Syila sungguh tak bisa menahannya lebih lama. Ia segera membasuh mukanya di wastafel. Kemudian kembali ke mejanya.

"Gue tiba-tiba ditelpon Mami gue nih, harus nemenin dia keluar sekarang. Gue duluan gapapa ya? Tenang aja nanti progres tugas gue kabarin via grup kok," Syila cepat-cepat mengemasi barangnya. Tak mempedulikan tatapan bertanya-tanya dari Fei dan Duta.

"Salamin ke Arka kalo gue pulang duluan. Tadi kayaknya dia masih ngobrol sama temennya di sana,"

Kalimat terakhir Syila mengejutkan yang lain bahkan dirinya sendiri.

Syila kehabisan ide untuk menarik ucapan informatif itu. Dan akhirnya menyulut perhatian dari Duta.

"Temen siapa, Syil?" tanya Duta.

"Gatau juga. Dah, gue pergi ya." Syila tak ingin ambil pusing. Biarlah yang nanti jadi masalah biar terjadi nanti.

Dan benar saja, itu memang menjadi masalah. Selepas Syila keluar dari kafetaria, Duta bergegas mencari keberadaan Arka. Fei sudah mencoba membujuk Duta untuk membiarkan mereka, tapi Duta adalah orang yang tak bisa dibujuk.

"Sejak kapan yak, toiletnya pindah ke meja sini," ujar Duta sinis.

"Eh, ini tadi ga sengaja ketemu aja. Jadi gue ngobrol bentar," Arka beralasan.

"Lo pikir gue percaya? Gapapa, gapapa, lanjutin aja dulu. Gue juga ga sengaja ada urusan mendadak. Gue pulang dulu, ye," nada menyindir Duta sangat jelas terdengar. Tanpa menunggu persetujuan ia lekas meninggalkan kafetaria itu.

Fei melihat itu pun bingung harus bagaimana. Entah ia harus menyusul Duta atau tetap di tempat untuk melanjutkan tugasnya bersama Arka.

Arka hanya mengehela napas berat. Desas desus tentang Duta yang sering ia dengar membuatnya tak terkejut dengan sikapnya itu.

"Syila mana, Fei?" Arka bertanya.

"Dia udah pulang duluan, katanya ada urusan sama Maminya,"

Arka tak ambil pusing dan tak mencurigai apapun.

"Yaudah lo juga pulang, deh. Kita lanjut kapan-kapan aja,"

Fei tak kunjung pergi sebab sedang menimbang-nimbang apakah perlu memberi tahu Arka siapa yang memberi tahu Duta atau tidak.

"Kenapa, Fei?" tanya Arka memastikan.

"Ga ada. Yaudah gue pulang dulu." Fei masih dengan perinsip hidupnya. Tidak ikut campur dalam urusan orang lain.