webnovel

Menyimpannya Sendiri

Satu kelas gempar saat Arka duduk bersebelahan dengan seorang gadis cantik. Bukan hanya itu, mereka juga terang-terangan menunjukkan kemesraan mereka di depan mahasiswa lain. Seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua.

Syila jelas ikut menyaksikan hal itu. Bahkan ia harus merelakan mendengar semua perbincangan teman-temannya tentang perempuan itu.

Gadis itu ternyata mahasiswi baru di kampus. Pantas saja Syila tak mengenalinya kemarin. Ada desas-desus yang mengatakan bahwa mereka sudah saling kenal dan Arka lah yang merekomendasikan kampus ini pada perempuan itu, Vanesa Tanujaya.

Bukan hanya cantik, dari namanya pun orang-orang bisa menebak kalau dia dari keluarga kaya. Nama belakangnya itu sudah menjelaskan banyak hal.

Keluarga Tanujaya terkenal di mana-mana. Memiliki banyak perusahaan besar dan beberapa sudah berstandar internasional. Latar belakang itu semakin membuat banyak laki-laki iri pada Arka. Entah bagaimana ia bisa mengenal gadis seperti itu.

Kegaduhan kelas hanya bisa redam oleh kedatangan sang dosen. Semua orang mengarahkan fokus mereka pada pelajaran tapi tentu saja berbeda bagi Syila.

Semua penjelasan itu sama sekali tak mengetuk isi kepalanya. Otaknya sibuk sendiri memikirkan betapa tak sebandingnya ia dengan perempuan yang duduk di sebelah Arka saat ini.

Hingga pelajaran selesai, suasana hati Syila masih sama. Buruk. Di kelas ini tak ada seorangpun yang peduli atas perasaannya kecuali dirinya sendiri.

Namun bagai mendapat angin segar, Arka menghampirinya. Tanpa perempuan itu, ia tersenyum manis padanya.

"Lo gak lagi sakit kan, Syil?" Tanyanya.

Syila belum menjawab, ia masih tertegun dengan suasana ini.

"Gue liat dari tadi lo diem aja. Kalo ada yang bisa gue bantu bilang aja, siapa tahu gue bisa bantu," kalimat Arka selanjutnya siap menerbangkan hati Syila ke udara.

Namun itu semua hanya bertahan sebentar sampai Vanesa mengarahkan pandangannya pada mereka. Seolah ia sedang menunggu kekasihnya kembali dengan pasti. Dirinya tahu kalau Syila bukan masalah besar.

"Gue oke oke aja, kok. Duluan, ya." Syila pergi lebih dulu menuju pintu keluar.

Di sana Vanesa kembali tersenyum padanya, sama seperti kemarin saat ia menemuinya di kafetaria. Syila membalas singkat. Ia berusaha tetap ramah meski hatinya mulai membenci.

****

Suasana taman kampus yang tenang dapat meredam kekesalan Syila sesaat. Apalagi dengan adanya sang sahabat di sampingnya.

Risa telah mendengar semuanya. Ia turut bersedih untuk sahabatnya itu. Mereka tidak satu jurusan, membuat mereka cukup sulit bertemu di area kampus. Namun sebisa mungkin mereka hadir untuk satu sama lain ketika mereka membutuhkan.

Risa menggenggam tangan Syila. "Mungkin emang udah waktunya Lo relain Arka, Syil," ujarnya.

Syila menunduk. Sejak awal dia sadar bahwa semua itu tidaklah mungkin. Mendapatkan cinta dari seorang Arkagantara bagaikan pungguk merindukan bulan.

Kini semua kenyataan yang menghampirinya mengharuskannya untuk menghilangkan semua khayalannya tentang Arka.

Syila mengangguk, merasa ia siap akan semua ini. Bagaimana pun hari-harinya harus terus berjalan dengan atau tanpa cinta dari Arka.

Risa memeluk tubuh mungil Syila. Ia amat menyayangi sahabat manisnya itu. Tak banyak yang bisa ia lakukan, memaki-maki Arka atau Vanesa mungkin malah akan melukai Syila.

"Lo masih ada kelas, kan?" Tanya Syila melepas pelukan sahabatnya.

"Yaudah sana, gue gapapa kok," lanjutnya.

"Yakin lo gapapa gue tinggal?" Tanya Risa memastikan.

"Iya, gue ga bakal bunuh diri, kok," Syila mencoba bercanda.

"Ye.. Gue beneran khawatir tau!" Syila hanya tersenyum mendengar perkataan Risa itu.

"Yaudah, Gue jalan dulu." Risa bangkit dari duduknya dan pergi menjauh sambil melambaikan tangannya. Mata Syila yang bulat terus mengikuti kemana perginya sahabatnya itu sampai ia tak lagi terlihat tertutup pepohonan dan tanaman.

Syila menghela napas panjang kemudian bangjit dari duduknya. Ponselnya sengaja ia matikan dan ia berniat untuk membolos di kelas selanjutnya. Ia berjalan keluar kampus dan hendak berjalan-jalan.

Tanpa ada tujuan yang jelas, Syila hanya berjalan mengikuti trotoar. Jam kantor membuat jalan raya tak seberapa ramai. Ia masih bisa menghirup udara yang segar.

Sudah cukup jauh ia berjalan, Syila mulai bosan, lelah dan lapar. Di depan ia bisa melihat sebuah minimarket. Gadis berambut tanggung itu mempercepat langkahnya ke sana. Ia segera masuk dan membeli beberapa roti dan minuman untuk mengganjal perutnya.

Makanan sudah di tangannya, kini ia harus mencari tempat untuk memakan mereka semua. Syila membuka ponselnya mencari taman terdekat di aplikasi peta. Untungnya itu tak jauh dari minimarket yang ia kunjungi.

Taman itu ternyata cukup indah dan nyaman. Sangat diluar ekspektasi Syila. Tadinya ia hanya mencari tempat untuk beristirahat, dan ia mendapatkan yang lebih dari itu.

Kalau ada yang kurang dari tempat itu, adalah di sana masih ada pengemis. Syila melihat seorang nenek tua duduk di bawah menunggu seseorang mengasihaninya.

Syila mendekat dan memberikan beberapa makanan yang ia punya. "Ini nek, makanlah,"

Ketika Syila ingin pergi, tiba-tiba tangan nenek yang keriput itu menahannya. Syila sangat terkejut dan takut mulai menjalar ke hatinya.

"Terima kasih," ujar nenek itu pelan. Tapi ia tak kunjung melepaskan tangan Syila.

"Sama-sama, nek," Syila pikir bahwa nenek itu mungkin menginginkan jawaban. Tapi tidak. Ia masih tak melepaskan tangannya.

"Aku bisa membantumu," ujar nenek itu kemudian. Semakin membuat Syila kebingungan.

"Tunggu sebentar," lanjutnya. Dan akhirnya ia melepaskan tangannya dari tangan Syila. Syila merasa sedikit lega.

Nenek itu merogoh kantongnya mengambil sesuatu. Syila menyaksikan semuanya sambil mengamati. Tampak jelas sekali tulang punggung nenek yang bungkuk itu. Kulit keriput, rambutnya panjang tapi hampir seluruhnya putih. Namun Syila belum dapat melihat dengan jelas wajahnya sebab nenek itu sedari tadi hanya menunduk.

"Ini, ambilah." Kata nenek itu seraya memberikan botol aneh pada Syila.

"Apa ini, nek?" Tanya Syila penasaran.

"Berikan ini pada orang yang paling kau dambakan cintanya. Maka seumur hidupnya ia akan terus mencintaimu," penjelasannya masih membingungkan bagi Syila.

"Simpanlah, jangan sampai orang mengetahui dan mengambilnya. Cepat simpan." Nenek itu benar-benar ingin Syila menyimpan botol itu ke dalam tasnya. Maka Syila melakukannya.

Namun saat Syila berbalik, ia ta lagi melihat keberadaan Nenek tua itu. Seketika bulu kuduknya berdiri. Syila refleks berlari ketakutan.

Ia berlari sekencang-kencangnya untuk menghilangkan rasa takutnya. Syila berhenti setelah ia lelah dan napasnya terengah-engah.

Ia duduk di sebuah kursi taman dan membuka minumannya. Ia meneguk habis satu botol air mineral itu. Ia mulai merasa taman ini aneh.

"Sumpah, gue gak bakal ke sini lagi," gumamnya dalam hati.

Perut Syila berbunyi makin keras. Sedari tadi ia memang lapar, namun karena insiden tadi rencana makannya tertunda. Tanpa banyak basa-basi Syila mengambil satu roti dan memakannya dengan kesal. Ia akan melupakan apa yang baru saja terjadi dan menyimpannya untuk dirinya sendiri.