webnovel

Kelas Ramuan Obat

Semenjak memasuki istana, Effi sebenarnya sudah menunggu-nunggu hari ini. Tapi setelah harinya betulan datang, ternyata suasana hatinya malah tidak semenyenangkan yang dia harapkan. Soalnya meski orang yang paling dia kagumi sedang ada di depannya untuk memberikan kelas khusus, pikirannya tetap saja tidak bisa berhenti untuk memikirkan masalah lain. Bahkan Arina saja hampir kesenangan sendiri melihatnya.

Tidak seperti kelas para pendeta yang biasanya, pelajaran kali ini dilakukan di luar halaman kastel karena nyonya Anastasia ingin menunjukkan beberapa tanaman yang dia bawa dari rumah. Setelah mempelajari cara membuat obat untuk flu, dan obat untuk luka bakar, sekarang mereka sedang belajar untuk membuat ramuan penambah darah.

Selain membantu ibunya memotong beberapa daun dan bunga, Arina sebenarnya cuma perlu menonton di pinggir. Tapi karena tidak tahan ingin menjahilinya, dia pun mendekati Effi. "Apa itu sudah jadi? Kau cepat sekali." Katanya duluan.

"Eh, ah, belum. Saya masih harus menambahkan daun ruti ke dalamnya, tapi…" Balas Effi yang setelah itu menunjukkan dua tumpukan daun yang berwarna merah, yang sekilas terlihat sama. "Saya tidak yakin yang mana yang ruti, yang mana yang tira." Akunya agak malu.

"Yang kiri sepertinya tira. Aku ingat aromanya lebih tajam." Kata Arina langsung. "Jadi masukkan saja yang satunya."

"Oh…? Me-Memang ada aromanya?" Sahut Effi yang kemudian mencoba menciumi daun itu. Tapi selain bau daun, dia tidak begitu mencium aroma yang begitu berbeda. "Nona Arina bisa membedakannya? Hebat."

"Yah, biasa. Sewaktu kecil tehku sering diracuni sesuatu, jadi Aku melatih penciumanku supaya bisa membedakannya." Balas Arina yang seketika langsung membuat Effi canggung. Arina hampir ingin membiarkannya terus karena suka melihatnya, tapi karena kasihan, dia pun menambahkan, "Haha, lihat wajahmu. Tentu saja Aku bercanda."

"A-Ah, anda bercanda ya… Haha."

"Tuh, sudah selesai." Kata Arina yang tanpa bilang-bilang langsung melempar daun tadi ke dalam ramuan Effi. "Kenapa tidak kau langsung minum saja? Kau mungkin membutuhkannya."

"...Eh? Sa-Saya?" Balas Effi heran. Arina sengaja membiarkannya sampai orangnya sendiri mulai merasakan firasat tidak enak. Tapi sayangnya tidak lama kemudian kepala pendeta terlihat datang mengunjungi kelas mereka.

"Kepala pendeta! Padahal anda tidak perlu sampai kemari." Kata nyonya Anastasia yang buru-buru menghampirinya. Dibanding saat acara penyambutan, rasanya kakek itu sudah terlihat semakin menua lagi.

"Ini pertama kalinya kau mengajar di sini, jadi tentu saja Aku harus datang." Balasnya kolot. "Bagaimana? Apa pendeta kesayanganku payah semua dalam membuat obat?"

"Sama sekali tidak, semuanya sangat pandai mengikuti resep dari buku. Terutama..." Dan nyonya Anastasia jelas langsung mengarahkan pandangannya pada Effiria. Sehingga akhirnya dia dan kepala pendeta pun mendekati meja Effiria dan memeriksa ramuan obat yang dia buat. "Wah, dari warnanya, kurasa ini sudah sama persis dengan yang kubuat tadi." Komentarnya juga.

Effi sempat melirik-lirik ke arah Arina seperti tidak yakin harus membicarakannya atau tidak, tapi akhirnya dia hanya memilih balasan yang mudah. "Eh, ah, itu karena resep anda sangat mudah dipahami, jadi…"

Tapi sebelum bisa fokus pada ramuan buatan Effi, tentu saja mata kepala pendeta lebih dulu menangkap sosok Arina yang ada di sampingnya. "Kenapa kau juga ada di sini?"

"Ah, Aku memintanya untuk membantuku." Jawab Anastasia duluan.

"Memangnya dia pandai membuat obat? Bukannya dia cuma suka menghabiskan uang untuk beli barang aneh saja?" Cibir kakek tua itu.

Takut kalau anaknya akan memberikan cibiran yang lebih buruk, Anastasia pun buru-buru menyela. "Ke-Kemampuannya tidak buruk kok. Dan Arina juga sangat pandai menghafal dan membedakan tanaman obat." Ceritanya.

"Tapi iya, Aku lebih suka mengumpulkan barang aneh." Timpal Arina dengan ketus. "Bahkan kalau kakek mau, Aku juga punya tongkat yang lebih bagus untuk kakek pakai."

"AA!" Sela Anastasia panik. "Ri-Rina, bukankah kau bilang ingin bertemu pangeran juga? Sisanya bisa ibu lakukan sendiri, jadi kalau kau mau, kau boleh pergi sekarang."

Menekuk bibirnya, Arina tidak kelihatan mau menurut begitu saja. "Padahal ibu yang memaksaku kemari. Tapi kenapa sekarang Aku malah diusir…" Katanya yang tiba-tiba saja memasang wajah sedih.

Dan sebelum ibunya bisa menyangkalnya, dia pun mengalihkan wajahnya pada Effi. "Kalau begitu ini. Sebenarnya Aku cuma datang karena mau memberikan ini padamu." Katanya sambil memberikan sebuah kantong kecil. Yang setelah dilihat ternyata berisi beberapa biji bunga. Baru setelah menyiapkan ekspresi yang bagus, Arina pun melanjutkan dengan wajah kikuk. "Aku agak malu kalau mengobrol langsung, jadi… Kalau kau mau menaruhnya di dekat jendela, Aku akan sangat senang."

Effi seketika terdiam agak kaget sekaligus malu, tapi kemudian kepala pendeta menceletuk duluan. "Kenapa harus pakai burung? Kupikir semua orang lebih suka menggunakan pos belakangan ini."

"Habisnya kirim surat lewat istana agak merepotkan kan?" Balas Arina. "Kalau Aku perlu mengirim surat pada pangeran saja biasanya baru akan sampai ke tangannya 2 hari. Aku lebih suka pakai burung." Baru setelah itu dia kembali memandang Effi. "Yah, kalau kau sedang tidak ingin kedatangan burung juga tidak masalah--"

"Sa-Sama sekali tidak. Malah, itu, saya sangat senang kalau nona Arina mau mengirim surat pada orang seperti saya." Balas Effi sekuat tenaga dengan pipi dan telinga yang memerah.

"Apa yang kau bicarakan? Kau kan pendeta agung. Berhenti merendah seperti itu terus." Tegur kepala pendeta lagi. "Lagipula palingan dia hanya ingin melakukannya karena tidak punya teman lain."

"...Seperti kakek punya saja--"

"Kepala pendeta!" Tapi tiba-tiba saja malah muncul orang lain lagi. Itu cuma tuan Heka, tapi yang justru terlihat aneh adalah fakta bahwa dia juga didampingi oleh prajurit istana yang memiliki tiga bintang emas di seragam mereka--yang artinya mereka adalah pengawal khusus milik raja atau ratu. "Anda harus segera ke istana utama."

tuan Heka menjelaskannya dengan suara pelan yang hampir berbisik, tapi ternyata Arina masih bisa membaca gerakan mulutnya. "Hh, kelihatannya ratu sakit lagi."