webnovel

Penjaga Yang Ditakdirkan (Destined Guardian)

(Warning 18+ dengan potensi 21+, terdapat unsur kekerasan, sadistik dan juga beberapa adegan dewasa) Genap setahun Maureen berada dalam keadaan antara hidup dan mati. Kecelakaan yang dialaminya setahun silam juga merenggut nyawa ibunda tercintanya. Kini, iapun terbaring koma tanpa tahu kapan ia bisa kembali melihat indahnya dunia. Genap setahun juga Rizaldy, akrab disapa Aldy, seorang by-stander di geng SMA Caius Ballad, menjaga Maureen yang terbaring koma di rumah sakit. Keseharian Aldy yang berubah membuatnya dijuluki bad boy insyaf oleh teman-teman tongkrongannya. Aldy belum pernah mengenal Maureen, walaupun ia telah menjadi kakak angkatnya, tepat setelah orangtua Maureen bercerai empat tahun lalu dan ia diadopsi oleh ayah Maureen dari dalam sel tahanan penjara remaja. Pikirannya selalu menerka, apakah Maureen bisa menerimanya sebagai seorang kakak? Mungkin bukan itu. Apakah Aldy mampu menjadi seorang kakak untuk Maureen? Dan apa yang terjadi, jika Heri, orang yang mengadopsi Aldy ternyata adalah seorang pemimpin dari sebuah organisasi mafia terkejam?

Eazy_Hard · Teen
Not enough ratings
235 Chs

37. Pengeroyokan (?)

Aldy diam di tempatnya berdiri. Dengan sebatang nikotin yang terapit di antara bibir atas dan bibir bawahnya, Aldy menyesap asap kenikmatan itu ke dalam paru-parunya. Merasakan sensasi menenangkan sebelum ia melepaskan asap ketenangan itu ke udara melalui saluran pernapasannya.

Seharusnya, ia yang menghajar keempat orang yang mencari masalah itu. Namun, yang terjadi malah hal yang berbeda.

Ia hanya berdiri bersandar pada batang pohon terdekat, sementara keempat orang itu sedang diurus oleh Jean.

Yap.

Jeanice Ainsley.

Perempuan yang mengaku sebagai sahabat terdekat Maureen saat SMP dan kini menjadi teman satu kelasnya. Sosok wanita yang anggun dan beraura positif, dengan kecantikan yang terlihat innocent membawa kesan 'girl-next-door', membuat siapapun yang terpesona pada kecantikannya akan merasa ingin melindunginya.

Kini sosok itu terlihat seratus delapan puluh derajat berbeda dari pembawaannya yang tadi.

Sosok wanita cantik yang lemah lembut dan berhati baik itu kini sedang mendaratkan kaki kanannya di kepala seorang lelaki dengan sangat keras.

Duakkk ...

Satu di antara keempat orang itu terhuyung ke tanah. Lebih tepatnya tanah berlapis aspal yang pastinya sangat panas berkat cuaca yang sedang terik-teriknya seperti ini.

Lelaki itu jatuh dengan kepalanya membentur aspal. Jean menumbangkannya dengan satu kali tendangan keras.

Jean berusaha melemaskan kaki kanannya yang baru saja ia gunakan untuk mendendang tadi. "Huuft, kayaknya emang harus pemanasan dulu. Kaki gue jadi kaku begini."

Di saat Jean mengeluh tentang bagaimana kakunya gerakan yang baru saja ia buat, tiga laki-laki yang tersisa saling beradu pandang.

Terlihat jelas bahwa mereka bertiga sedang dilema.

Yang akan menjadi lawan mereka adalah seorang wanita, terlebih dalam perkelahian tiga lawan satu.

Tentu saja, harga diri seorang lelaki dipertaruhkan di sini.

Namun setelah melihat kemampuan bertarung dari Jean, mereka hanya dihadapkan oleh dua pilihan. Mengalah karena Jean adalah seorang wanita, namun pulang dengan kondisi babak belur. Atau tetap berkelahi karena walaupun mereka menang, entah apakah mereka bertiga masih bisa disebut sebagai laki-laki, karena mengeroyok seorang wanita.

Namun, jika mereka memilih pilihan kedua, ketiga orang itu tak yakin apakah Aldy, sang pemimpin geng sekolah yang saat ini sedang berada di puncak dengan menyandang gelar geng paling gahar se-Jakarta Timur yang sekarang sedang merokok dengan santai tak jauh dari tempat mereka berada akan tetap diam saja.

Walau sebenarnya mereka belum menyadari bahwa lelaki itu adalah Aldy.

Fakta bahwa mereka tidak mengenali Aldy, itu berarti mereka bukanlah orang-orang yang berasal dari anggota geng sekolah yang aktif dalam kegiatan ekstrakulikuler tawuran. Karena jika mereka memang pernah ikut tawuran, mereka pasti mengenali siapa Aldy.

Dan hal itu hanya berarti satu hal.

Orang-orang ini hanyalah sekelompok pecundang yang berlagak sok preman.

Itulah sebabnya Aldy membiarkan Jean melakukan sesukanya. Walau Aldy sebelumnya tak mengetahui bahwa Jean lumayan andal dalam berkelahi. Namun Aldy bisa melihat sorot mata Jean saat ia meminta Aldy untuk mundur. Aldy langsung tahu, bahwa Jean adalah orang yang sudah biasa berada di posisi seperti ini.

"Kenapa diem?" tanya Jean sambil membuka satu kancing seragam bagian atas dan mengikat rambutnya membentuk pony-tail ke belakang.

Pemandangan itu adalah pemandangan yang sangat berharga bagi lelaki manapun. Jean bisa melihatnya, ketiga orang yang seharusnya menjadi lawan berkelahinya menelan ludah mereka masing-masing berkat apa yang ia lakukan.

Jean selesai mengikat rambutnya ke belakang, sedangkan sisa anak rambut yang tidak terikat ia selipkan ke belakng. Kini kedua tangannya berada di pinggang. "Kuhitung sampe tiga ya. Kalo kalian gak ada yang maju, berarti aku aja yang maju."

Jean melontarkan senyuman manis saat mengatakan hal itu.

Aldy yang mendengar apa yang Jean katakan terkekeh kecil tanpa sadar. Ternyata selera humor mereka cukup mirip, itulah yang dirasakan Aldy.

"Jean." panggil Aldy yang membuat Jean berbalik.

Aldy menunjukkan batang rokok yang telah terbakar setengahnya di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. "Rokok gue tinggal setengah."

Jean mengerti hal itu. Jika sampai rokok Aldy habis dan perkelahian ini belum juga selesai, Aldy sendiri yang akan turun tangan.

Gadis itu kembali mengarahkan pandangannya pada tiga orang di hadapannya. "Apa boleh buat."

Tanpa aba-aba maupun peringatan sedikitpun, Jean berlari menerjang ke arah mereka. Gadis itu melompat dan melakukan gerakan seperti split di udara. Kaki kirinya mengenai orang di sebelah kiri, dan kaki kanannya mengenai wajah orang di sebelah kanan.

Kedua orang itu terhuyung ke samping. Jean kembali menapakkan kedua kakinya di aspal. Namun dengan gerakan yang sangat cepat, Jean menendang perut orang di hadapannya. Orang itu terbungkuk kesakitan, dan saat itulah Jean melayangkan tendangan menyamping tepat ke arah wajahnya.

Lelaki itu pun tumbang setelah tendangan kaki kanan Jean telak mengenai saraf di telinganya.

Tersisa dua orang lagi.

Jean mengubah posisi pandangnya, ia menyerang orang di sebelah kirinya terlebih dahulu dengan kaki kanan, lalu menendang ke belakang masih dengan kaki kanan untuk lawan satunya lagi yang berada di sebelah kanannya.

Meskipun Jean berada di tengah-tengah, ia tak kehilangan fokus sedikitpun.

Jean menendang kaki satu orang, membuatnya berlutut dengan satu kaki. Jean menjambak rambut orang yang berlutut dengan satu kakinya itu dengan kedua tangannya, ia melompat dan menyajikan lutut kaki kiri untuk wajah orang tersebut.

Darah segar menyembur keluar dari hidungnya berkat serangan lutut yang sangat keras dari Jean.

Seluruh gerakan yang gadis itu lakukan benar-benar terlihat begitu mengalir dengan lembut, namun kekuatan serangan yang dihasilkan tak bisa dipandang sebelah mata. Gerakannya juga lumayan leluasa berkat rok lipit pendek yang ia kenakan.

Walau setiap kali Jean melayangkan tendangan yang lumayan tinggi, lawannya pasti bisa melihat apa yang ia kenakan di balik roknya.

Kini tersisa satu orang.

Jean meregangkan tagan kanan dan tangan kirinya secara bergantian. Membunyikan tulang lehernya dengan menarik kepalanya ke kiri dan ke kanan. Jean kembali menatap orang yang terdiam itu.

"Kalian cupu. Kirain keras, ternyata kertas."

Tentu saja, kata-kata yang diucapkan Jean membuat lawannya merasa sangat terhina.

Dari dalam saku celananya, satu-satunya lelaki yang tersisa dari keempat orang sebelumnya itu mengeluarkan sebuah pisau lipat. Melihat hal itu, Jean yang tadinya menyeringai dengan aksen yang menyebalkan, kini ekspresinya berubah menjadi dingin.

"Pengecut. Udah ngeroyok cewek, mau pake senjata tajam juga?" ucap Jean meski orang itu sepertinya tak menghiraukannya.

Orang itu menggenggam erat-erat gagang pisau lipat yang berada di tangan kanannya. "Mati lo di sini, lont--"

Duakkk ...

Aldy menghantam belakang kepala orang itu dengan kepalan tangan kanannya. Tepatnya di daerah orak kecil di belakang kepalanya. Lelaki itupun terjatuh, berbaring di aspal sambil kedua tangannya memegangi kepalanya yang berdenyut kesakitan.

Aldy menendang pisau lipat yang tergeletak itu ke samping. Ia berjongkok di hadapan lelaki itu.

"Huuufffttt ... " Aldy mengembuskan asap nikotin dari pernapasannya. Ia menatap lurus ke arah orang yang tadi berniat untuk menyerang Jean dengan pisau lipat itu. "Dasar sampah." ucap Aldy datar dengan nada dingin sambil mematikan bara api rokok di wajah orang itu. Tepatnya di pipi kanannya.

"AAAAAAA!!! ... "

Orang itu berteriak kesakitan. Kulit wajahnya memang dipastikan melepuh, namun Aldy tak peduli.

Ketiga orang yang tadinya kehilangan kesadaran setelah menerima serangan telak dari Jean kini sudah bangun kembali. Mereka bertiga melihat apa yang Aldy lakukan kepada teman mereka. Namun ketiganya juga tak bisa mengabaikan fakta bahwa salah satu dari mereka mengeluarkan senjata tajam untuk melukai seorang wanita.

Itu sebabnya mereka semua masih diam.

Aldy kembali berdiri dan menatap ketiga orang itu dengan tatapan yang dipenuhi hawa membunuh yang sangat pekat. "Mau cabut ... atau mati?"

Tanpa berkata apa-apa lagi, ketiga orang itu langsung membantu temannya yang masih memegangi pipi kanannya berkat bara api rokok dari Aldy dan pergi dari sana secepat mungkin.

Aldy terus menatap dingin ke arah punggung keempat orang itu. Jean kini berdiri di sebelahnya. Kehadiran Jean membuat Aldy menoleh.

Jean tersenyum, "Makasih Kak."

Aldy dengan cepat mengalihkan pandangannya dari Jean, membuat Jean tak mengerti. Jantung Jean berdetak cukup cepat melihat reaksi dari Aldy. Jean berpikir, apakah Aldy salah tingkah?

Apakah Aldy akhirnya memperhatikannya?

Apakah ada kesempatan untuk mendapatkan hati Aldy pada akhirnya?

Walau Jean tak tahu penyebab Aldy mengalihkan pandangannya ke arah lain secara tiba-tiba bukan karena ia salah tingkah. Namun berkat dua kancing teratas seragam Jean yang terbuka dan perbedaan tinggi keduanya di mana puncak kepala Jean setara bahu Aldy, membuat Aldy yang menoleh ke arahnya bisa melihat celah di antara dua bukit kembar di bagian dada Jean yang memang sedikit terekspos.

Meski hanya sedikit, namun hal itu cukup jelas.

Dan Aldy merasa tidak bisa menatap keindahan itu lebih lama sambil berpura-pura tak melihat apapun, karena Jean adalah sahabat dari adik yang paling ia sayangi, yaitu Maureen.

Namun tak bisa dipungkiri. Dengan paras yang secantik itu, dan lekukan tubuh yang seindah itu.

Paket keindahan itu memang sulit untuk ditolak oleh kaum adam manapun.

Aldy melangkah duluan meninggalkan Jean yang mengikutinya di belakang.

Jean, yang mengikuti langkah Aldy kesulitan untuk menahan senyuman di bibirnya. Ia merasa, mungkin ia memiliki kesempatan untuk singgah di hari Aldy. Walau hal itu sebenarnya hanya sebuah kesalah pahaman, namun Jean yang belum mengetahui kebenarannya merasa sangat bahagia.

Jeanice Ainsley.

Gadis cantik itu hanya terlalu menyukai Aldy.

***

{{ Semoga kalian suka sama ceritanya, jangan lupa vote dan tinggalin komentar yaa :) }}