webnovel

Penjaga Yang Ditakdirkan (Destined Guardian)

(Warning 18+ dengan potensi 21+, terdapat unsur kekerasan, sadistik dan juga beberapa adegan dewasa) Genap setahun Maureen berada dalam keadaan antara hidup dan mati. Kecelakaan yang dialaminya setahun silam juga merenggut nyawa ibunda tercintanya. Kini, iapun terbaring koma tanpa tahu kapan ia bisa kembali melihat indahnya dunia. Genap setahun juga Rizaldy, akrab disapa Aldy, seorang by-stander di geng SMA Caius Ballad, menjaga Maureen yang terbaring koma di rumah sakit. Keseharian Aldy yang berubah membuatnya dijuluki bad boy insyaf oleh teman-teman tongkrongannya. Aldy belum pernah mengenal Maureen, walaupun ia telah menjadi kakak angkatnya, tepat setelah orangtua Maureen bercerai empat tahun lalu dan ia diadopsi oleh ayah Maureen dari dalam sel tahanan penjara remaja. Pikirannya selalu menerka, apakah Maureen bisa menerimanya sebagai seorang kakak? Mungkin bukan itu. Apakah Aldy mampu menjadi seorang kakak untuk Maureen? Dan apa yang terjadi, jika Heri, orang yang mengadopsi Aldy ternyata adalah seorang pemimpin dari sebuah organisasi mafia terkejam?

Eazy_Hard · Teen
Not enough ratings
235 Chs

16. Maureen, Sosok Adik Bagi Aldy

Tokk .. Tokk .. Tokk ..

Aldy dan Maureen menoleh ke arah pintu. Aldy bangkit. Sedikit memekik saat merasakan kembali rasa sakit di perut bagian kanannya. Maureen bisa melihat itu, Bahwa Aldy menahan rasa sakitnya.

Tapi untuk apa?

Seharusnya Aldy jangan dulu banyak bergerak. Tapi sepertinya Aldy memang sudah terbiasa dengan rasa sakit seperti itu.

Aldy berjalan ke arah pintu dan membukanya, mendapati seorang berseragam khas ojek online yang membawa dua bungkus burger yang mereka pesan.

"Pak Heri?" tanya orang itu.

"Saya anaknya."

"Oh, ini pesenannya, dua burger keju. Bayarannya udah lewat Go-Pay ya."

Aldy menerima bungkusan itu dari tangan si driver ojek online itu. Setelah orang itu pergi, Aldy kembali masuk dan duduk di pinggiran kasur. Maureen juga sudah duduk.

"Lo suka burger keju?"

"Kenapa? Kak Aldy gak suka?"

Aldy menggeleng menanggapinya. Mengeluarkan sebungkus dan memberikannya pada Maureen. "Gue ga pilih-pilih soal makanan."

"Terus, makanan kesukaan Kak Aldy apa?"

"Apa ya … " Aldy juga mengeluarkan burger keju lalu menaruh kantung kresek itu di lantai. "Kalo ditanya makanan kesukaan, gue ga pernah ngerasa lagi pengen makan ini atau lagi pengen makan itu. Kalo laper, apa aja yang menurut gue paling gampang buat didapetin, itu yang gue makan."

"Ribet amat. Kan aku cuman tanya makanan kesukaan."

Aldy langsung menggigit burgernya dalam sebuah gigitan besar, sementara Maureen mencoba mencuil burgernya seukuran pas dengan yang bisa ditampung oleh kapasitas mulutnya.

Aldy bisa melihatnya, menggerakkan tangan saja masih sedikit gemetaran. Aldy kembali memasukkan burger ke dalam bungkusnya dan menaruhnya di atas meja terdekat. Setelah itu, ia mengambil alih burger milik Maureen.

Aldy merobeknya secuil, tak terlalu besar namun juga tak terlalu kecil, lalu menyodorkannya tepat di depan mulut Maureen. "Tenang aja, tangan gue bersih."

Maureen membuka mulutnya dan menerima suapan potongan burger dari tangan Aldy. Setelah mengunyahnya beberapa kali dan menelannya, Maureen menatap Aldy. "Kak Aldy ga makan juga?"

"Belum terlalu laper kok. Nih."

Aldy kembali menyuapi Maureen. Setelah menyuapi Maureen sebanyak tiga kali, Aldy mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan. "Kita lupa pesen minum ya."

Aldy beranjak, dan ia kembali memekik sesaat. Sepertinya setiap kali ia bangkit dari posisi duduk, Aldy akan kembali merasakan sakit di perut sebelah kanannya. Luka tikam yang ia derita memang lumayan dalam. Tapi untungnya jahitannya benar-benar rapih hingga tak ada darah yang lolos keluar.

Aldy mengambil segelas air dari dispenser yang ada di ruangan itu dan memberikannya pada Maureen. Bahkan Aldy yang memegangi gelas itu selagi Maureen meneguk air di dalamnya.

"Masih mau lagi?" tanya Aldy sambil memegang burger milik Maureen.

Maureen menggeleng.

"Dikit amat. Makan lagi nih."

Maureen sebenarnya ingin menolak, nafsu makannya memang belum sebesar saat kondisi tubuhnya sudah fit, namun dengan sepotong burger yang sudah berada di tangan Aldy tepat di depan mulutnya, entah mengapa Maureen tidak memiliki keinginan untuk menolaknya.

Jika dilihat dari manapun, tampilan seorang Aldy masih sedikit menyeramkan dan mengintimidasi dengan luka-luka seperti itu. Namun berbanding terbalik dengan penampilannya, sikapnya terhadap adiknya mematahkan itu semua.

Setelah Maureen benar-benar merasa kenyang, Aldy menyimpan burger milik Maureen kembali ke dalam bungkusnya. Kembali membantu Maureen untuk minum dan menaruh gelas itu di atas meja terdekat.

Aldy meraih burger miliknya dan meneruskan makan.

"Kak Aldy."

"Hm?" Aldy menanggapi sambil mencoba mengunyah makanannya.

Maureen bingung ingin menanyakan apa. Dari ocehan Aldy yang ia dengar selama terbaring koma, sebenarnya Maureen sudah tahu banyak tentang Aldy. Aldy bahkan menceritakan tentang masa kecilnya. Bagaimana ia keluar dari panti asuhan dan berakhir di penjara. Kehidupan sehari-harinya di sekolah pun sudah ia ceritakan.

"Ada apa?"

"Emm … Nggak jadi."

Aldy tersenyum. "Bingung ya mau nanya apa? Wajar sih, lo udah denger ocehan gue selama setahun. Gini deh. Gue aja yang nanya. Lo udah tau kan, lo kecelakan karena apa?"

Maureen mengangguk mengiyakan.

"Di kecelakaan itu, nyokab lo … Bukan. Tapi, Mamah. Lo tau kan kalo mamah ga selamat? Lo gapapa?"

Maureen terdiam. Sebenarnya Aldy tahu, bukan saat yang tepat untuk menanyakan hal itu. Tapi cepat atau lambat pasti mereka akan membahasnya juga. Aldy juga ingin tahu, bagaimana perasaan Maureen setelah tahu hal itu. Ia tidak akan melarang Maureen untuk bersedih maupun menangis jika ia mau. Aldy hanya ingin Maureen tahu, bahwa sekarang Maureen memiliki Aldy dan Heri.

Bahwa Maureen tidak sendirian.

"Sebenernya, Maureen masih sedih karena ga bisa lagi ketemu mamah. Tapi … "

Aldy bisa melihatnya, kedua bola mata Maureen yang mengkilap menandakan air mata mulai tergenang di sana.

"Tapi, Maureen juga seneng, punya papah yang ternyata masih peduli sama Maureen. Dan juga, punya kakak baru yang baik sama Maureen."

Meski Maureen tersenyum, Aldy menyadari getaran di bibir Maureen. Ia menahan tangisannya. Tanpa basa-basi, Aldy mendekatkan tubuhnya ke arah Maureen dan langsung mendekap tubuh adik yang sangat disayanginya itu.

"Mungkin lo mau terlihat tegar di depan ayah, lo ga mau ayah ikutan sedih kalo liat lo nangis. Tapi, lo ga perlu ngelakuin hal itu di depan gue. Kalo lo sedih, lo bisa sedih sepuasnya. Kalo lo seneng, lo bisa ketawa sepuasnya. Di depan gue, lo bebas jadi diri lo sendiri tanpa harus nutupin apapun yang sebenernya ga perlu ditutupin. Gue ga keberatan. Gue bakal tetep ada buat lo."

Dalam dekapan Aldy, sekuat apapun Maureen ingin menahannya, air matanya tetap saja lolos. Bibirnya bergetar hebat.

"Ma … Mamah … "

Maureen mengucapkan hal itu dengan getir. Secara perlahan, rengekannya juga semakin kencang.

"Mamaaaah … Mamaaaah … Mamaaaah … Kak Aldy, Mamah. Mamah udah ga ada. Kak Aldy. Maureen ga bisa liat mamah lagi … Mamaaaah … "

Aldy mengusap pundak Maureen, meskipun dalam posisi ini Aldy kembali merasakan sakit di perut sebelah kanannya, ia tak memperdulikannya. Yang Aldy perulikan hanyalah ia ingin membuat Maureen merasa senyaman mungkin, sehingga ia bisa mengurangi kesedihan Maureen, walau hanya sebagian kecil kesedihan itu yang berkurang.

Dan saat itu juga, kecanggungan di antara mereka berdua mulai memudar secara perlahan.

***

Beberapa hari telah berlalu. Aldy sudah bisa pulang kemarin dari rumah sakit, sementara Maureen harus tetap dirawat di rumah sakit untuk mendapatkan beberapa terapi agar ia bisa kembali menggerakkan tubuhnya seperti semula.

Aldy selalu menemani Maureen setiap kali Maureen diberikan terapi-terapi ringan oleh dokter. Ia bisa melakukannya karena izinnya di sekolah masih belum berakhir.

Malam itu, Maureen baru selesai melakukan terapi untuk melatih otot kedua kakinya. Hasilnya, Maureen sudah bisa berdiri sendiri tanpa berpegang pada sesuatu. Tentu saja, Aldy berada di sebelahnya.

"Kalau begitu, saya akan membiarkan kamu istirahat. Ingat, jangan dulu begadang."

"Iya dok. Makasih ya."

Sang dokter pun telah pergi meninggalkan ruangan tempat Aldy dan Maureen berada.

"Reen, coba liat deh." ucap Aldy sambil menyodorkan i-Pad kepada Maureen. Maureen mendekat dan menyenderkan kepalanya di pundak Aldy.

Mungkin karena Maureen sudah terbiasa dengan Aldy, lagi pula Maureen memang memiliki sifat yang super-manja. Dan Aldy juga tak keberatan dengan hal itu.

"Lo suka yang mana?" tanya Aldy sambil memperlihatkan berbagai desain kamar untuk perempuan yang ia cari di internet.

"Aaaah, semuanya cute." keluh Maureen sambil menggeser halaman web itu dengan raut wajah yang benar-benar kebingungan. "Kalo kamarnya Kak Aldy kayak gimana?"

Aldy memberikan i-Pad itu kepada Maureen dan mengambil ponselnya lalu menunjukkan foto kamarnya kepada Maureen.

"Ini kamarnya Kak Aldy? Mana kasurnya? Isinya barang-barang gaming semua. Terus, Kak Aldy kalo tidur gimana? Di kursi?"

"Itu kan ada sofa."

"Emang enak apa tidur di sofa?"

"Heh, sofa mahal tuh, jangan diremehin."

Maureen terkekeh mendengar jawaban dari Aldy. "Emang segitunya mau jadi gamers? Kayaknya Kak Aldy pernah cerita kalo Kak Aldy pernah ditawarin masuk RRQ atau apalah gitu, terus Kak Aldy tolak. Emang kenapa?"

"Gue main game buat menuhin hobi. Gue ga suka kalo hobi gue diganggu sama kontrak-kontrak ga jelas." jelas Aldy yang membuat Maureen ber-oh-ria tanpa bersuara. "Jadi, maunya yang mana? Ga mungkin gue bikini kamar lo sama kayak kamar gue."

"Siapa juga yang mau tidur di tempat yang ga ada kasurnya kayak gitu. Mmmm, yang ini aja deh."

"Yakin?" tanya Aldy untuk meyakinkan. Kamar pilihan Maureen didominasi oleh warna putih dan merah muda. Lebih tepatnya light-pink. Furniturnya juga terlihat sangat girlish, dengan gantungan boneka-boneka di dinding. Meski begitu, masih terkesan minimalis namun tetap modern.

Maureen mengangguk. Aldy pun menyimpan gambar itu, akan ia jadikan referensi untuk kamar Maureen yang akan ia rombak dalam waktu dekat.

"Tapi, Maureen juga mau komputer."

"Lo suka main game juga? Emang bisa?"

Maureen menggeleng pelan. "Engga bisa, tapi pengen nyoba, siapa tau Maureen suka nge-game juga."

"Kalo lo mau main game, ke kamar gue aja, soalnya kayaknya kalo lo mau desain kamar yang begitu, ga cocok ditambahin komputer. Mending laptop aja kalo lo mau, bisa ditaro di atas meja belajar."

"Hmm … Yaudah deh." akhirnya Maureen mengalah.

Aldy mengelus kepala Maureen sambil tersenyum. Baginya, ekspresi Maureen saat sedang mengalah begitu terlihat sangat menggemaskan.

Aldy merasa beruntung memiliki adik yang menggemaskan seperti Maureen.

Malam itu, dengan Maureen menyenderkan kepalanya di pundak Aldy, waktu terasa begitu cepat berlalu.

Aldy tetap di sana, hingga Maureen tertidur lelap.

Sambil memandang wajah damai Maureen yang tertidur, Aldy tersenyum ramah. "Mulai sekarang, gue akan berusaha buat jadi kakak yang pantes buat lo." ucapnya sambil mengelus wajah Maureen selembut mungkin.

Maureen menggenggam tangan Aldy yang berada di wajahnya, masih dalam keadaan tertidur. Aldy pun menyunggingkan senyuman kepada Maureen.

Entahlah.

Aldy hanya terlalu menyayangi Maureen.

Baginya, Maureen adalah sosok seorang adik yang belum pernah ia miliki sebelumnya.

Seorang Adik yang cantik dan juga menggemaskan.