Malamnya, Ima berjalan pulang. "Naya, aku pulang duluan," Ima menatap Naya yang berdiri di depan kafe.
"Ah, iya, hati hati."
"Apa yang sedang kamu lakukan?" Ima menatap.
"Ah, aku...
Tin!
Ada suara motor, lalu mereka menoleh, seorang lelaki membawa motor speed nya menatap Naya. "Ayo beb," tatap nya.
"Ya... Ima... Aku duluan hehe," tatap Naya. Lalu Ima mengangguk.
Naya berjalan mendekat dan duduk di bangku belakang.
"(Ck.... Rasanya iri sekali... Aku juga mau di boncengin...)" Ima menatap iri.
Tapi ponsel nya berbunyi pesan masuk membuat nya menatap. Di sana dari Regis, Ima langsung senang, tapi ketika ia membaca pesan nya, wajahnya berubah menjadi aneh.
"Huh...?"
== Ima, mau aku jemput? Dimana posisi mu? ==
"Eh... Aku mau di jemput? um.... Tapi kan... Itu akan repot, sebaiknya jangan..." Ima mengetik membalas.
== Tidak perlu Mas Regis, Aku sudah pulang ==
"(Aku terpaksa bilang begitu karena um... Aku benar-benar tidak nyaman... Dia benar-benar sangat peduli tapi... Aku belum siap untuk di jemput olehnya,)" pikir Ima sekali lagi dengan khawatir. Lalu menutup ponsel nya dan berjalan pergi melanjutkan jalan nya.
Sesampainya di rumah. Ia menatap ibunya yang memasak. "Ibu, aku pulang."
"Oh, cepat sekali pulang, ibu belum selesai memasak, bisa kamu mandi dulu?" Ibu nya menatap dari dapur.
"Tentu, aku akan mandi dulu," Ima membalas, lalu ia berjalan ke dapur setelah meletakan barang barang di kamar.
"Ha... Sangat melelahkan, aku harus berjalan kaki selalu, apalagi naik bus, mengejar bus dan yang lain nya... Ini sangat melelahkan untuk ku, tapi jika di pikir-pikir, di antar orang juga bakal nyaman dan begitu cepat... Tapi siapa?" gumam nya dengan kecewa. Ia bahkan belum menyetujui keberadaan Regis sebagai pasangan nya, dia juga belum bercerita pada ibu nya.
"Yeah itu benar sekali, aku belum cerita pada ibu... dan sekarang aku tak bisa mengatakan nya, aku takut ibu akan kecewa padaku karena menjalin cinta dengan seorang pria yang bahkan umur nya lebih tua dari ku, beberapa tahun saja..." pikir Ima.
--
Ima berjalan keluar dari kamar setelah memakai bajunya, ia mencium aroma enak. Lalu berjalan ke dapur. "Ibu..." ia memanggil membuat ibu nya menoleh. "Ya, makanan sudah siap, mari makan Bersama," kata Ibunya.
Lalu Ima mengangguk dan seperti biasanya, mereka makan bersama.
Ima terdiam tidak tenang, lalu bicara karena dia dari tadi ingin bicara sesuatu. "Ibu... Apakah setelah menikah nanti, aku akan berpisah dengan ibu?" Ima menatap.
". . . Kenapa bertanya begitu, ini tidak seperti kau ingin menikah bukan?"
"Ya, siapa tahu saja."
"Kau akan berpisah dengan ibu, jangan khawatir... Ibu sudah mengajarkan mu memasak, membersihkan rumah dan yang lain nya bukan, jadilah wanita yang bisa menjadi harapan pasangan mu, cantik di mata dunia dan rajin di mata rumah..." tatap Ibunya.
Lalu Ima mengangguk. "Ibu lebih suka aku langsung menikah atau apa?" Ima menatap.
". . . Itu terserah pada diri mu sendiri Ima, jika kau sudah dapat pasangan, jika lelaki nya mengajak menikah, ini baik-baik saja karena kalian menikah sekalian belajar apa itu cinta," kata Ibunya.
"(Yeah, setiap hari aku benar-benar tahu akan hal ini, ini semua mulai membuat ku benar-benar paham dengan perkataan ibu dan sekarang kini aku harus paham dengan perkataan seseorang yang akan mencintai ku, tapi tetap saja, aku masih tidak berani mengatakan bahwa Mas Regis menembak ku.)"
Hari berikutnya, Ima terbangun duduk dan mendengar suara dari luar kamarnya. Suaranya seperti orang yang sedang mengobrol. Lebih tepatnya, suaranya seperti ibunya dengan seorang pria yang memiliki suara berat.
"(Ung... Ibu bicara dengan siapa?)"
Ia berjalan pelan ke bawah dan rupanya ibu Ima berbicara dengan seorang pria tampan di sofa. Pria itu memakai setelan jas hitam yang sangat berkharisma.
Ima terdiam datang membuat mereka menoleh.
"Oh lihat, dia sudah bangun," kata ibu Ima.
Seketika Ima terkejut karena pria tampan itu adalah Regis.
"(A-aku masih berantakan,)" ia panik dan segera berlari ke kamar mandi.
"Haha dasar gadis, jadi Regis apa pekerjaanmu benar seorang polisi?" tatap ibu Ima.
"Ya ibu, aku punya tugas di sini dan kebetulan saat itu Ima juga menolongku."
"Oh my... Benar benar cinta~"
"(Haiz... Apa sih yang ibu bicarakan, dia benar-benar mengundang Regis kemari,)" Ima terdiam di kamar mandi sambil menggosok mulutnya.
"Lalu jika tugas di sini, kamu berasal dari mana?" Ibu Ima masih terdengar mengobrol dan Ima pun mendengar kan.
"Ah soal itu, aku berasal dari Korea."
"Huh, tidak menyangka Korea punya pria kekar seperti mu, kenapa tidak memilih merias cantik saja?"
"Haha, gadis suka pada pria yang dewasa dan terlihat seperti ku, jadi aku hanya melanjutkan apa yang Tuhan berikan padaku, dan juga, pekerjaan ku yang membuat ku begini juga."
"Oh begitu, benar juga sih, pekerjaan mu keras…" balas Ibu Ima.
Ima yang mendengar itu menjadi terpesona. "(Wah wah, aku baru tahu Mas Regis dari Korea dan ada di Jepang ini...)"
Setelah selesai, ia menyiapkan tas yang akan di bawa ke kampus tapi ibunya datang di kamar nya.
"Kenapa kau lama sekali sih... Dasar gadis... Regis sudah menunggu dari tadi ingin mengantarmu."
"Ha... Kenapa harus... Aku bisa naik bis seperti biasanya."
"Kau harus menurutinya, Regis juga Pria yang baik," kata ibunya seketika Ima terkaku.
"(Tunggu, sepertinya aku harus berpikir ulang, ibu benar-benar membuat ku begini... Apa dia ini beneran ibuku, aku benar-benar tidak suka pada Mas Regis, itu karena aku masih malu ketika aku di tolak Lio Zheng dan ia menyaksikan ku di tolak...)"
Di jalan, Ima berjalan dengan di ikuti Regis di sampingnya. "Kenapa kau tetap mengikutiku?!" Ima menatap ke belakang dengan nada kesal.
". . . Ini kewajiban ku, mengantar dan menjemputmu."
"Hah?! Kau saja naik bis... Memang nya apa yang kau bilang antar jemput," Ima masih bernada kesal. Regis hanya terdiam sambil tersenyum kecil menggeleng pelan.
"Kenapa kau memanggil ibuku dengan sebutan ibu?" tatap Ima.
Lalu Regis terdiam dan mengingat ingat.
Sebelum dia mengobrol tadi, dia berencana menjemput Ima untuk mengantar ke kampus, dan saat mengetuk pintu kebetulan ibu Ima yang membuka nya.
"Oh astaga," Ibu Ima terkejut melihat Regis yang memakai masker hitam nya itu.
"Maafkan aku, sebelumnya," Regis membuka masker nya dan seketika ibu Ima tambah terkejut.
"Kamu... Pria yang mengantar Ima itu bukan?"
"Ya itu aku, maafkan aku jika saat itu aku tidak sopan karena aku sedang dalam masa—
"Ah, ini baik-baik saja... Kamu benar-benar sangat tampan, cari siapa?"
"Aku mencari Ima, bibi."
"Ima.... Kau... Regis kan?"
"Ya," Regis menatap.
"Oh, rupanya saat masker mu di buka kau memang tampan, tapi kenapa saat itu kau bisu saat aku bertanya padamu?" tatap ibu Ima.
Maaf bibi, itu tugas pribadiku, sebenarnya aku juga suka Ima pada hal yang rahasia, tidak mungkin juga aku harus berbicara dengan suaraku yang aneh dan sangat berat."
"Haha tak apa kok, aku tahu itu. (Yeah, suaranya tampak sangat berat) ... Eh tunggu, kamu suka Ima?" Ibu Ima menatap tak percaya.
"Iya... Putri anda sangat cantik dan manis, izinkan aku berkenan memiliki nya, jika tak boleh selama nya, aku tak akan berani menyentuh Ima."
"Jangan khawatir, kalimat mu benar-benar bagus, jika Ima yang mendengar pujian itu dia pasti langsung salah tingkah, benarkan, anak muda, rasanya iri, oh maaf, kamu masih muda kan?"
"I-iya... Aku masih muda."
"Bagus, tapi sebelumnya, apakah Ima menerima mu?" Ibu Ima menatap.
"Ya, awalnya agak sulit untuk mendapatkan persetujuan putri anda, tapi aku tahu, dia hanya butuh sebuah perhatian lebih," kata Regis.
"Yeah, dia memang begitu orang nya... Ayo, masuk saja sekarang sambil menunggu Ima bangun," tatap ibu Ima sambil meminta Regis masuk.
"Terima kasih bibi."
"Eits... Jangan panggil bibi... Panggil aku ibu, Ima sudah menceritakan semua tadi malam," kata ibu Ima.
Lalu Regis terdiam sebentar dan memanggil.
"Baik... I... Bu?"
--
"Haiz.... Sangat naif," Ima menghela napas panjang.
"Kenapa mendadak kau dingin begitu, aku adalah pasangan mu, kau harus bersikap manis."
"Haiz... Maaf ya jika aku begini, aku memang tidak pernah menjalin cinta sebelumnya, jadi.... Kau bisa katakan tidak sekarang," tatap Ima berhenti dan menatap nya.
Mereka saling menghadap dan Regis terdiam. "Tak apa.... Aku akan mengajarimu," kata Regis.
Seketika Ima terkejut, karena ia ingat pesan ibunya. "(Lelaki sejati tak akan memandang kekurangan mu, jika dia memandang kekurangan mu, maka dia akan mengajarimu untuk menjadikan kelebihan mu untuk kekurangan mu sendiri.)"
"Um... Baiklah, mulai sekarang, tolong ajari aku dan bimbing aku," kata Ima lalu Regis mengangguk pelan dengan senyum kecilnya.
Tapi Ima menjadi terdiam tak percaya ketika melihat mobil mewah di depan nya tepat.
". . .!!"
"Kenapa kau diam saja, cepat masuk lah," kata Regis membuka pintu di samping supir untuk ima.
"K.... Kau yang punya?!"
"Kenapa? Heran?"
"Ta... Tapi... Bukankah.... Kau naik bis?"
"Itu hanya semata pekerjaan saja, karena pekerjaan juga memiliki paksaan. Jangan khawatir, kau beruntung bersamaku, aku kaya," tatap Regis.
"Tapi... Kenapa kau bersikap begini, bukankah aku tidak memintamu lebih," kata Ima. Seketika hal itu membuat Regis terdiam. "(Apa maksud nya bukankah semua wanita suka pada pria yang kaya, kenapa dia memintaku tidak seperti ini.)"
"Kau baik-baik saja kan?" tatap Ima dengan bingung lalu Regis terdiam dan mengangguk dengan tatapan kosong yang masih berpikir.
"Maksudku bukan nya aku tidak menerima ini, tapi tak perlu hal yang mewah, aku hanya butuh kita naik bersama dan mengobrol bersama, mobil saja sudah sangat cukup, dan aku suka itu, jangan khawatir.... Lain kali jangan mengatakan kalimat 'aku kaya' di depan Wanita," kata Ima.
"Eh, kenapa? Apa mereka tidak suka?"
"Mereka hanya akan memandang kekayaan mu, bukan cintamu," balas Ima. Seketika Regis terdiam mengingat sesuatu. "(Jadi selama ini... Mereka memandang hartaku saja?)"
"Ehem, aku sudah hampir terlambat" tatap Ima.
"Oh, baiklah, masuk saja," balas Regis.