webnovel

PENDEKAR TAPAK DEWA

Kebiadaban yang dilakukan oleh gerombolan La Kala (Kelompok Merah-Merah) di bawah pimpinan La Afi Sangia makin merajalela. Terakhir mereka membantai penduduk Desa Tanaru beserta galara (kepala desa) dan keluarganya sebelum desa mereka dibumihanguskan. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana yang sebagian besarnya hangus bersama rumah-rumah mereka. Darah Jenderal Hongli alias Dato Hongli mendidih menyaksikan bekas aksi kebiadaban yang di luar batas kemanusiaan itu. Darah kependekarannya menangis dan jiwanya menjerit. Tetapi ada sebuah keajaiban. Di antara mayat-mayat bergelimpangan ada sesosok bayi mungil yang kondisinya masih utuh. Tubuhnya sama sekali tak bergerak. Sang bayi malang seolah-olah tak tersentuh api walau pakaiannya telah menjadi abu. “Oh...ternyata bayi ini masih hidup,” desah sang mantan jenderal perang kekaisaran Dinasti Ming. Diangkatnya bayi itu seraya lanjut berucap, “Akan kubesarkan bayi ini. Dia adalah sang titisan para dewa. Akan kugembleng ia agar kelak menjadi seorang pendekar besar. Kelak, biarlah dia sendiri yang akan datang untuk menuntut balas atas kematian keluarganya serta seluruh penduduk desanya. Akan kuberi bayi ini dengan nama La Mudu. Ya, La Mudu, Si Yang Terbakar...!” Lalu sang pendekar besar yang bergelar Wu Ying Jianke (Pendekar Tanpa Bayangan) itu mengangkat tubuh bayi itu tinggi-tinggi dengan kedua tangannya. Ia berseru dengan suaranya yang bergetar membahana: “Dengarlah, wahai Sang Hyang Dewata Agung....! Aku bersumpah untuk menggembleng dia menjadi seorang pendekar besar yang akan menumpas segala bentuk kejahatan di atas bumi ini..!! Wahai Dewata Agung, kabulkanlah keinginanku ini...!! Kabulkan, kabulkan, kabulkan, wahai Dewata Agung...!” Sang Hyang Dewata Agung mendengar permohonannya. Alam pun seolah mengamininya. Cahaya petir langsung menghiasi angkasa raya yang disusul dengan guruh gemuruh yang bersahut-sahutan. Tak lama kemudian hujan deras bagai tercurah mengguyur bumi yan

M Dahlan Yakub Al Barry · Fantasy
Not enough ratings
89 Chs

Bab 30. Janji di Malam Terakhir

Namun sayang, kedamaian dan keindahan yang luar biasa yang mereka rasakan itu harus buyar oleh kehadiran La Pabise, La Turangga, La Rangga Jo, dan La Lewamori di tempat itu. Keempat pemuda kampung itu memang tidak mengganggu kemasyhukan dan kemesraan mereka, tetapi siulan serentak dari keempatnya merupakan keusilan, membuat keduanya harus melepaskan pelukan satu sama lain. Meilin jadi tersenyum malu-malu manja, sementara La Mudu hanya tersenyum sembari menggeleng-geleng pelan. “Dasar para pemuda kampung!” rutuknya dalam hati.

“Maaf, kami tak mengira kalian berdua ada di tempat ini, makanya kami bermaksud menghindar ke sini,”ucap La Lewamori sambil tersenyum mesem, namun membuat La Pabise, La Turangga, dan La Rangga Jo tertawa cekikikan. Terpaksa La Mudu dan Meilin pun ikut-ikutan tertawa.

“Ayo kita duduk di sini, kita nyanyi-nyanyi. Kebetulan tadi saya menemukan gambo ini di rumah,” ucap La Jangga Jo. Gambo adalah alat musik negeri tersebut, sejenis alat musik gambus zaman sekarang.

Jadilah malam terakhir itu mereka gunakan untuk menyenangkan sang tuan rumah, Meilin, dengan mempersembahkan Kapatu Mbojo (sejenis syair atau pantun Dana Mbojo/Tanah Bima yang dilantunkan dengan iringan petikan gambo). Petikan gambo La Rangga Jo memang begitu lincah, sementara kapatu dibawajakan oleh La Lewamori, La Turangga, dan La Pabise dengan silih berganti. Tak jarang kapatu mereka berisi sanjungan terhadap kelembutan, kebaikan hati, serta kecantikan Meilin, juga pada kebaikan dan ketampanan kekasihnya, La Mudu, dan juga berharap kelak mereka berjodoh.

Bagi La Mudu, sangat senang mendapat pujian dan harapan itu. Namun di hati Meilin, selebihnya merasakan sangat haru. Ia sadar, bahwa keempat pemuda baik itu, mungkin juga La Mudu kekasih, bisa jadi akan pergi ke sebuah pulau neraka, sarangnya bangsa penyamun, dan mungkin tak akan pernah kembali. Namun ia berharap, semoga misi kekasihnya, La Mudu, berhasil seperti rencananya, lalu kembali lagi untuk dirinya, untuk memenuhi janjinya.

Pelabuhan Wadu Mbolo adalah pelabuhan kedua yang terletak di ujung timur Pulau Sumbawa, kala itu. Pelabuhan ini dulu adalah sebuah pelabuhan khusus tempat berlabuhnya kapal-kapal dagang antarpulau. Tempat membongkar atau pun untuk menaikkan berbagai mata dagangan, baik hasil bumi, hasil laut, maupun juga hewan-hewan ternak seperti kerbau dan kuda.

Namun setelah gerombolan penyamun laut-darat yang dijuluki dengan Kelompok La Kala (Kelompok Merah Merah) di bawah pimpinan La Afi Sangia makin merajalela, maka pelabuhan ini pun sepi karena fungsinya telah dialihkan ke pelabuhan yang terletak di ibukota kerajaan. Kendati demikian, pelabuhan ini tetap dimanfaatkan oleh masyakat nelayan setempat untuk menyandarkan perahu-perahu mereka, dan itu pun atas izin La Afi Sangia dengan membayar upeti laut yang tak sedikit juga, disebabkan karena pelabuhan ini sudah dikuasai oleh bangsa penyamun itu.

Hari ini, Pelabuhan Wadu Mbolo mendadak menjadi terlihat sangat sibuk dan ramai oleh orang-orang. Dan yang memenuhi areal pelabuhan adalah ratusan laki-laki muda yang mungkin usia mereka tak berpaut jauh satu sama lainnya. Mereka adalah para pemuda yang akan menuju Pulau Sangia untuk bergabung sebagai pajuri-nya La Afi Sangia yang kini telah menggelari dirinya sebagai Paduka Sandaka Dana. Dan di luar arela pelabuhan pun tak sedikit orang-orang yang hadir, yang mungkin adalah sahabat atau handai tolan dari ratusan pemuda itu. Sebuah kapal besar yang bercat berwarna merah darah bersandar gagah di tepian dermaga berupa jembatan panjang yang terbuat dari kayu yang kuat.

Di antara keramaian itu ada pula La Mudu dan keempat sahabatnya. Mereka hadir di tempat itu juga diantar oleh Baojia dan Meilin. Gadis itu sengaja datang ke tempat itu dengan mengenakan “rimpu mpida” (semacam pakaian seperti cadar selembar saru).

Baojia bukan saja untuk mengantar, tetapi diminta oleh La Mudu untuk membawa kembali kuda-kuda yang dipinjamnya serta keempat kuda milik La Pabise, La Turangga, La Rangga Jo, dan La Lewamori.

Ketika matahari tepat di atas kepala merah, terdengar bunyi dengungan terompet yang terbuat dari cangkang kerang raksasa yang ditiupkan oleh salah seorang anak buah kapal, lalu disusul oleh suara teriakan dari anak buah kapal lainnya agar semua calon pajuri segera menaiki kapal. Para anak buah kapal itu sangar-sangar dan tak terlihat keramahan sama sekali yang tampak di wajah mereka. Tentu saja, karena mereka merupakan juga para anggota gerombolan perompaknya La Afi Sangia.

Sebelum menaiki kapal, La Pabise, La Turangga, La Lewamori, dan La Rangga Jo berpamitan kepada Baojia sembari mengucapkan terima kasih atas segala kebaikannya. Yang terakhir melakukan itu adalah La Mudu. Sang Jawara pun menyampaikan ucapan yang sama kepada laki-laki setengah baya itu lalu memeluknya. Setelah itu ia beralih beralih ke keasihnya, Meilin. Di genggamnya erat-erat kedua tangan halus sang gadis.

“Jaga diri Mei buat Kakak, “ ucap La Mudu, nyaris berupa bisikan. “ Doakan agar semua tujuan Kakak berhasil dengan baik.”

“Kak Mudu juga jaga diri Kakak buat Meil. Tentu saja harapan dan doa Mei buat Kakak,” jawab Meilin dengan suara pelan menahan haru. Kedua bola mata ndahnya tergenangi oleh cairan bening.

La Mudu sebenarnya masih ingin menggenggam lebih lama kedua tangan Meilin sembari menatap sepasang mata indahnya, tetapi tiba-tiba La Pabise menarik lengannya sembari berkata, “Suda-sudah, jangan lama-lama, kita harus segera naik ke kapal!”

Pelan-pelan Meilin melepas genggaman kedua tangannya kepada kedua tangan sang pujaan hatinya pelan-pelan. Ia mengantar sang kekasih dan keempat pemuda baik yang juga telah dianggapnya sebagai sahabatnya itu dengan perasaan berat sembari melambaikan tangannya. Ketika telah berada di atas kapal, ia melihat La Mudu dan keempat pemuda baik itu tak mengalihkan arah pandangannya ke arah dirinya dan ayahnya, Baojia, sembari terus melambaikan tangan mereka.

Dan ketika kapal merah dan megah itu telah membentangkan layar dan menaikkan tali-tali tambangnya untuk kemudian meninggal pelabuhan, tiba-tiba ruang batin Meilin terasa sesak, seolah-olah ada sesuatu yang besar yang hilang dalam dirinya. “Kauharus berhasil dan segera kembali, Kak Mudu. Di daratan ini Mei menunggumu. Bawa pulang cintamu untukku, Kak,”seru batinya.

Meilin terus memandang hingga kapal merah itu menjauh dan mengecil. Andaikata ayahnya, Baojia, tidak mengajaknya untuk pulang, mungkin dia akan terus berdiri terpaku di tempatnya.

Baojia mengupah lima laki-laki yang masih berada di sekitar kawasan pelabuhan untuk mengantar kelima ekor kuda yang tadi ditunggangi oleh La Mudu, La Pabise, La Turangga, La Lewamori, dan La Rangga Jo kembali ke desanya.

“Jangan terlalu berharap, Anakku, nanti akan membuatmu sakit dan merana. Jika dia kelak kembali, ia akan kembali untukmu. Jika pun ia tak akan kembali, maka berarti ia bukan untuk mei mei,” nasihat Baojia kepada Meilin tanpa melihat kepada putrinya karena ia sedang melepaskan tali kudanya pada sebuah pancang.

“Tapi Mei Mei yakin bahwa kak Mudu akan kembali...!” sahut Meilin sembari meloncat ke atas punggung kudanya. Dan tanpa menoleh kepada ayahnya, ia segera memacu kudanya ke arah selatan. Ia membawa kekosongan hatinya.

Baojia sempat melihat sepasang mata putrinya menggenang. Ia menggeleng-geleng. “Haiya...!”

Sesaat kemudian, ia telah memacu kudanya ke arah selatan, menuju rumahnya. Hentakan keemapt kaki kuda merah itu menimbulkan debu musim kemarau yang lumayan tebal.

***