“Terima kasih, Dewata Agung, kaerena Engkau telah menyelamatkan Tuan Mudaku,” ucap si laki-laki tua dengan suara tulus sembari menatap langit.
“Maaf, Ama, nama Ama siapa?” tanya La Mudu.
“Nama saya La Ngguru, tapi biasa dipanggil Ama Pancala. Pancala adalah nama anak perempuan saya satu-satunya yang ikut terbunuh bersama warga Tanaru lainnya,” sahut si laki-laki tua.
“Lalu di manakah mayat-mayat warga Tanaru termasuk kedua orang tua saya di makamkan, Ama Pancala?”
“Makamnya ada di sebelah barat bekas desa ini,” sahut Ama Pancala. “Mari Tuan Muda, ikut saya. Silakan Tuan-Tuan Muda dan Ni Sanak naik kudanya dan ikuti saya.”
La Mudu serta keempat sahabatnya serta La Meilin lalu mengikuti Ama Pancala dari belakang dengan kuda mereka. Karena letak makam itu tak terlalu jauh di sebelah barat bekas Desa Tanaru, maka dalam waktu tak lama mereka pun telah sampai. La Mudu, keempat sahabatnya, dan juga Meisin mengikat kuda-kuda mereka di pinggiran areal itu, lalu melangkah masuk di hamparan pemakam yang cukup luas mengikuti arahan Ama Pancala.
“Andaikata tiap mayat dikuburkan sendiri-sendiri, tantu lokasi makam ini sangat luas karena Tanaru adalah sebuah desa yang paling luas dengan penduduknya yang sangat banyak di wilayah pesisir timur ini. Dalam tiap lobang dikuburkan sekaligus satu keluarga,”ucap Ama Pancala sembari terus melangkah pelan.
Ketika sampai pada sebuah pemakaman yang panjang dan di atasnya dinaungi oleh bangunan beratap sepanjang makam, Ama Pancala menghentikan langkahnya. Umumnya kuburan yang diberi atap yang menaunginya seperti itu adalah makam-makam orang besar atau orang-orang yang dimuliakan oleh masyarakatnya. “Inilah makam kedua orang tua Tuan Muda,”ucap Ama Pancala dengan sikap hormat kepada La Mudu.
Tanpa berkata apa-apa, La Mudu melangkah mendekati makam kedua orang tuanya dan duduk berlutut di samping batu nisannya. Tangannya dengan lembut menjamah batu nisan yang terbuat dari batu alam yang cukup besar itu.
Ucapannya dan jerit hatinya tak La Mudu keluarkan melalui bibirnya, namun dalam hatinya, gemanya memenuhi ruang jiwanya. “Ayah, Bunda, maafkan Ananda karena baru datang mengunjungi kalian. Sekalipun wajah kalian belum sempat nanda lihat, tetapi tidak mengurangi rasa cinta dan rindu nanda kepada kalian. Kalian tetap hidup dalam darah, daging, serta tarik nafas ananda. Lihatlah Ayah, Bunda, sekarang aku telah tumbuh menjadi seorang laki-laki sejati. Rasa sakit yang tak tertahankan yang pernah dirasakan oleh kalian Ayah, Bunda, dan seluruh warga Tanaru akan Ananda tuntut pembalasannya. La Afi Sangia harus membayar tuntas tanpa tersisa! Aku bersumpah untuk itu, Ayah, Bunda. Kebiadaban para manusia iblis itu harus Ananda akhiri. La Afi Sangia harus menerima menuai badai dari angin yang pernah ia hembuskan! Ayah dan Bunda beristirahatlah yang tenang di alam kedamaian. Setelah Ananda menuntaskan tugas ini, Ananda berjanji untuk selalu menjenguk kalian berdua.”
Setelah mencium batu nisan kedua orang tuanya dengan penuh tulus, La Mudu pun bangkit dengan jiwa tegar, lalu melangkah meninggalkan tempat itu bersama seluruh orang yang menyertainya. Ketika telah sampai kembali di bekas perkampungan Tanaru, ia berkata pada Ama Pancala, “Ama, tolong bersihkan seluruh tempat ini, tebang semua pepohonan yang ada. Kelak saya akan kembali untuk membangun kembali desa ini. Ama dan seluruh keluarga dan keturunan dari warga Tanaru yang tinggal di desa lain kelak boleh tinggal di desa ini.”
“Baiklah, Tuan Muda. Saya akan segera melaksanakan pekerjaan itu sebagai kewajiban saya,” sahut Ama Pancala dengan raut wajah tak mampu menyembunyikan rasa gembiranya.
Sebelum mengajak keempat sahabatnya dan Meilin meninggalkan tempat itu, La Mudu tak lupa merogoh kantongnya dan memberikan beberapa keping uang emas kepada Ama Pancala. Laki-laki tua itu sangat bahagia menerimanya.
Malamnya La Mudu mengajak Meilin untuk duduk-duduk di pantai untuk menikmati udara laut malam yanghangat. Bulan tujuh belas masih mampu membuat jagat malam terang benderang.
“Ini malam terakhir Kak Mudu berada di tempat Mae, ya?”Meilin membuka suaranya. Ada kegundahan dalam suara itu. Ia sudah merasa dekat, dan mungkin tumbuh rasa suka, terhadap pemuda tampan di sampingnya. Berada di sampingnya, ia selalu merasakan kedamaian dan kenyamanan. Rasa yang selama hidupnya di negeri ini tak pernah ia rasakan. Ditinggal oleh Sang Jawara, berarti perasaan tak damai dan gundah pun akan kembali menyelimuti hatinya, seperti yang pernah ia dan orang tuanya rasakan selama ini.
“Iya, Dik Mei,” sahut La Mudu. Tangan kirinya menggenggam jemari tangan kanan Meilin yang halus, lalu diletakkannya di atas paha kirinya.“Tapi setelah tugas dari guruku selesai, saya akan kembali lagi ke sini.”
“Kak Mudu janji?”
“Janji!”
“Janji demi siapa?”
La Mudu menoleh sesaat, menatap wajah Meilin, sebelum membuang pandangannya ke hamparan lautan yang terlihat berwarna keperakan akibat tertimpa cahaya bulan. “Demi Mei,”ucapnya datar.
“Kenapa harus demi Mei, Kak?”
La Mudu menatap wajah Meilin yang saat itu sedang menatap dengan tatapan yang lekat. “Ya, karena saya menyukai Mei.”
“Benarkah?”Meilin masih terus menatap wajah sang pemuda tampan dengan nyaris tak berkedip.
“Tantu!”jawab La Mudu tegas. “Sejak pertama saya melihat Mei, saya sudah langsung suka. Meilin sangat cantik, di samping baik dan lembah-lembut.”
“Apakah ini artinya Ka Mudu sedang...melamar Mei?”
“Apa itu?” Wajah La Mudu memperlihatkan kebingungan saat mendengar kata “melamar”. Sebuah kata yang belum pernah ia dengar sebelumnya.
Dan Meilin paham dengan kebingungan La Mudu itu, lalu menyahut, “Maksud Mei, apakah Kak Mudu sedang menyampaikan maksud kelak akan menjadikan Mei sebagai istrinya Kak Mudu?”
“Oh, itu...?” La Mudu tersenyum. “Iya, itu maksud saya. Apakah Dik Mei menerimanya?”
Meilin tersenyum lalu menjawab dengan suara tegas, “Tidak!”
“Oh, Mei tidak mau menerima lamaran saya?”
“Maksud Mei, tidak menolak! Hehehe...,” ucap Meilin lalu bangkit lalu lari menyusuri pantai meninggalkan La Mudu sembari tertawa.
La Mudu pun segera bangkit dan mengejar sang gadis pujaannya. Dan tak perlu lama, ia pun mampu mengerjarnya, lalu mendekap tubuh sang bidadari dengan kedua pergelangan dan lengan tangannya yang kokoh. Dada keduanya pun menempel erat. Kedua saling menatap satu sama lain. Bibir keduanya terhiasi oleh senyuman bahagia.
Lalu sembari menyandarkan wajahnya di dada bidang nan kekar sang pujaan, Meilin berucap, “Sebenarnya, perasaan Mei pun sama, Kak. Pertama kali Mei melihat Kak Mudu, Mei langsung merasa suka. Di wajah tampan Kak Mudu memancarkan kedamaian, sangat berbeda dengan wajah-wajah pemuda yang datang makan di warung kami. Rata-rata mereka membawa wajah yang tidak ramah, memancarkan kesombongan. Mei selalu merasa gugup jika berhadapan dengan mereka saat menyuguhkan makanan pesanan mereka. Watak dan bahasa mereka sangat kasar dan tanpa kesopanan. Kak Mudu adalah jawara muda berilmu tinggi namun tetap memancarkan kasih sayang dan perlindungan. Bagi Mei dan kedua orang tua Mei, kehadiran Kak Mudu beberapa hari yang lalu bagaikan seorang dewa penyelamat bagi kami pada saat yang tepat. Mei sangat suka pada Kak Mudu...”
“Terima kasih, Dik Mei...,” ucap La Mudu sembari kembali mendekap tubuh sang kekasih dengan erat-erat seolah tak ingin ia lepaskan. Perasaannya begitu nyaman saat hidungnya di sandarkan ubun-ubun sang bidadari. Ia sedang menghirup aroma khas yang keluar dari pori-pori tubuh seorang wanita. Aroma yang tentu saja seumur hidupnya baru pertama kali ia rasakan. Dan tentu saja juga, ini pertama kali ia merasakan berpelukan dengan seorang wanita. Pun bagi Meilin, tentu ini adalah kali pertama juga ia merasakan dekapan seorang laki-laki yang menjadi pujaan hatinya. Ada perasaan damai dan keindahan yang teramat sulit mereka gambarkan lewat kata-kata.