"Apa maksudmu, Grand Duchess Rowena Ernest de Erica?" balas Baginda Kaisar.
"Kerajaan Kretia terkenal akan faktor kriminal dan kemiskinannya dan juga Kerajaan Luxerzo terkenal karena hewan mistis yang sering menggangu dan membunuh warga sekitar. Bukankah itu adalah hadiah yang sangat buruk untuk diberikan kepada seorang pahlawan pendiri kekaisaran?" ujar Rowena.
Baginda Kaisar kembali tertawa kencang setelah mendengar analisis yang disampaikan oleh Rowena. "Ternyata kau benar-benar sangat jenius seperti yang dikatakan. Kau sangatlah mirip dengan seseorang yang aku dan ratu kenal saat masih kecil. Jadi entah mengapa perasaanku yakin kalau kau bisa mengatasi masalah-masalah yang ada disana seperti orang itu?"
"Selain sifatmu yang terlihat sama seperti dengannya, wajahmu juga sangat mirip dengan orang itu," lanjut Baginda Kaisar.
"Maksud anda, saya terlihat mirip seperti Nona Erica Odelette de Margareth, permaisuri dari kerajaan Edelle itu?" jawab Rowena.
Sebelum Baginda Kaisar membalas ucapan Rowena, sebuah insiden pun terjadi. Seorang tamu pesta yang merupakan raja dari Kerajaan Vintana memeluk leher Rowena dengan lengannya dan mengarahkan sebuah pedang tepat di leher Rowena sebagai peringatan atau ancaman bagi orang-orang yang ada di sana.
"Raja Vintana, cepat singkirkan pedangmu dari nona itu!" perintah Baginda Kaisar.
Bukannya menurunkan pedangnya, Raja Vintana malah semakin mendekatkan pedangnya di leher Rowena. Lalu para pengikut Raja Vintana juga mulai menarik perangnya. Jika dihitung totalnya ada empat puluh lima orang pengikut Raja Vintana itu. Para prajurit Kekaisaran juga menarik pedang mereka dan mengeliling Raja Vintana serta para pengikutnya.
Semua orang disana mulai berlari dan berteriak kepanikan. Berbeda dengan Pangeran Helios, Sir Damian, Sir Cedric, serta orang-orang yang ikut dalam peperangan cenderung hanya diam berdiri melihat keributan itu. Para pengikut dan Raja Vintana itu tidak tahu kalau mereka tengah menyekap orang yang salah. Orang-orang itu hanya mencari yang namanya kematian saja.
"Turunkan semua pedang kalian. Jika tidak aku akan menggores leher cantik milik nona ini," ancam Raja Vintana.
Karena sudah terancam, semua pasukan penjaga Kekaisaran pun terpaksa melepaskan pedang mereka. Semua orang yang tadinya berlarian pun hanya berdiri diam dengan kaku dan ketakutan.
"Aku tidak pernah menyangka sebagai kaisar, kau akan melakukan hal yang tidak masuk akal seperti ini. Bagaimana bisa kau memberikan posisi Grand Duchess pada gadis lemah seperti ini? Bukankah kau terlalu naif karena terlalu mempercayai putramu? Bisa saja perempuan itu telah menjual tubuhnya dengan imbalan pangeran akan memberikannya jabatan tinggi saat tiba di istana kekaisaran," oceh Raja Vintana tiada henti.
Rowena yang sudah merasa jengkel mendengar ocehan omong kosong dari Raja Vintana ini langsung menyikut perut dan meraih pedang yang ada di tangan pria tua yang menyebalkan itu. Sekarang keadaan sudah berbalik 360°.
"Mulutmu itu benar-benar sampah. Punya hak apa kau untuk menilai apakah aku pantas atau tidak untuk menjadi seorang Grand Duchess? Lalu tahu darimana kau kalau aku pernah menjual tubuhku pada pangeran Helios? Yang naif itu orang-orang di kerajaanmu karena bisa menjadikan pria tua Bangka yang suka beromong kosong sebagai seorang raja." Rowena menarik rambut raja Vintana yang sudah terkapar kesakitan di lantai lalu memotong kepalanya hanya dalam sekali tebasan.
Setelah selesai mengeksekusi Raja Vintana dengan brutal, Rowena menyeringai kepada semua pengikut Raja Vintana yang mulai ketakutan melihat aksi kejam yang dilakukan Rowena barusan pada pemimpin mereka. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Rowena langsung menghabisi mereka semua dengan cepat. Tidak butuh waktu lama, empat puluh lima orang pengikut Raja Vintana langsung mati dengan keadaan kepala dan leher yang tidak tersambung.
Gaun Rowena yang awalnya berwarna putih berubah menjadi warna merah karena terciprat oleh darah. Baik wajah maupun sekujur tubuhnya juga sudah berlumuran darah. Rowena menghempaskan pedangnya ke lantai. Ia berjalan dengan anggun ke arah Kaisar.
"Yang Mulia, sepertinya aku harus pulang lebih awal karena tubuhku sudah dipenuhi oleh percikan darah. Kuharap semoga anda dan semua tamu yang ada disini bisa melanjutkan pestanya seperti tidak pernah terjadi apapun beberapa saat yang lalu. Semoga anda selalu diberkati oleh dewa, Yang Mulia." Rowena tersenyum dan berjalan pergi.
Rowena menggandeng tangan Sir Damian dan Sir Cedric dengan kedua tangannya lalu segera keluar dari ruangan itu. Semua orang yang melihat hal itu benar-benar syok. Mereka sama sekali tidak menyangka perempuan manis yang terlihat lemah itu ternyata adalah perempuan keji dan berhati dingin, sangat sesuai dengan rumor yang beredar.
Di lain tempat, Rowena sudah sampai di kediaman Sir Damian. Para pelayan yang melihatnya dibuat terkejut. Bagaimana tidak? Pasalnya saat berangkat Rowena sudah tampil cantik dengan gaun putih bertaburan serbuk berlian dan sekarang sekujur tubuh dan gaunnya malah kotor karena terciprat darah. Pelayan-pelayan yang melayani Rowena langsung membawa Rowena ke dalam bak mandi untuk segera dibersihkan. Sir Damian dan Sir Cedric pun mengobrol dan berjalan-jalan di sekitar taman sembari menunggu Rowena selesai membersihkan tubuhnya.
Beberapa saat kemudian Rowena muncul di belakang mereka dengan memakai gaun chemise polos berwarna putih dengan rambut yang diikat kepang dua. "Kita tidak akan dihukum hanya karena kembali lebih awal, kan?"
Sir Cedric memukul punggung Rowena dengan sedikit keras. "Bukankah kau harusnya mengkhawatirkan pembunuhan sadis yang telah kau pertunjukkan di depan Baginda Kaisar serta para tamu yang hadir?"
"Harusnya kau tadi menahan dirimu, adikku," ujar Sir Damian.
"Awalnya aku juga ingin begitu. Namun si pria tua yang bawel itu sibuk mengoceh kalau aku mendapatkan gelarku karena aku menjual tubuhku pada Helios dan kalian tahu sendiri hal yang paling tidak aku sukai di dunia ini adalah saat orang menuduhku dengan tuduhan yang tidak memiliki bukti," jawab Rowena.
"Ya, kurasa kabar tentang pemberontakan Raja Vintana dan pembunuhan brutal yang kau lakukan akan menjadi pembicaraan hangat para bangsawan lainnya," ucap Sir Cedric.
Ditengah percakapan mereka, kepala pengurus rumah tangga Sir Damian datang menginterupsi percakapan mereka. "Tuan Marquess, ada dokumen yang harus anda selesaikan secepatnya."
"Baiklah, aku akan segera menyelesaikannya," jawab Sir Damian.
"Jangan tidur terlalu larut malam dan tidurlah dengan nyenyak. Selamat malam Rowena," ucap Sir Damian dengan lembut sembari mengusap kepala Rowena.
Rowena tersenyum dan menjawab, "Baiklah, selamat malam juga. Kakak juga jangan bekerja terlalu keras."
Kemudian Sir Damian dan pengurus rumah tangga pun pergi bersama meninggalkan Rowena dan Sir Cedric berduaan di taman bunga itu.
"Bukankah menjadi bangsawan itu sangat merepotkan? Kenapa juga Baginda Kaisar harus memberikanku gelar bangsawan padahal hidup menjadi adik Marquess Squella juga tidak terlalu buruk bagiku," gerutu Rowena.
"Hey, jangan berbicara seolah-olah kau merupakan rakyat biasa asli yang baru mendapatkan gelar bangsawan. Lagipula kau juga awalnya merupakan seorang putri dari sebuah kerajaan. Menurutku memiliki gelar bangsawan sendiri juga merupakan hal yang tepat untukmu."
"Sungguh?"
"Tentu saja. Kau menguasai segala bidang yang dipelajari oleh pria selama ini dan juga etiketmu juga lebih unggul daripada wanita lain di kekaisaran ini."
"Jika seorang Cedric berkata seperti itu, mungkin artinya aku benar-benar sangat cocok menjadi seorang Grand Duchess."
"Terserah dirimu saja. Kalau begitu aku akan kembali ke kediamanku dulu. Sampai jumpa, Rowena."
"Apa perlu kau kuantar sampai ke kediamanmu?" tawar Rowena.
"Tidak perlu. Lagipula kediamanku ada diseberang kediaman Damian," tolak Sir Cedric
"Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa, Cedric." Rowena melambaikan tangannya pada Cedric yang sudah pergi menjauh.
Rowena masih belum ingin kembali ke kamarnya. Jadi dia memutuskan untuk berkeliling di sekitar taman bunga yang ada di kediaman Sir Cedric. Ia menyentuh satu per satu kelopak bunga Camelia merah yang ada disana. Hingga ia sampai ke sekumpulan bunga mawar. Ia mengamati bunga itu dengan seksama lalu menyentuh kelopaknya dengan pelan. Kemudian ia menghancurkan bunga itu dalam genggamannya sehingga telapak tangannya mengeluarkan darah yang banyak akibat terkena duri yang ada di batang bunga mawar tersebut.
"Langkahku untuk mencapai kehancuran Edelle semakin dekat. Tunggu saja dengan tenang bajingan."