webnovel

Awal mula

Prolog

Dengan tangan terikat aku dan satu orang temanku, dibawa menghadap pemilik Gedung sekolah lama di SMA Bharatayudha.

"Jadi mereka yang telah menyusup ke Kastilku!"

seorang wanita dengan rambut hitam panjang berkilau dan wajah putih serta manik mata yang berwarna ruby itu. Segera bangkit dari kursi yang di duduki, aku jelas mengenal wanita di depanku ini.

'Mbak Shima! Gawat hancur sudah masa depanku.'

Kabar yabg beredar tentangnya selalu baik, dia merupakan Ikon di sekolah ini. Namun rumor yang kuterima secara rahasia, mengatakan kalau siapapun yang memiliki masalah dengannya selalu berakhir tragis.

"Jadi, untuk alasan apa kalian menyelinap ke dalam Kastilku."

Shima mengatakannya dengan nada dingin dan mata menusuk, bulu kudukku bahkan berdiri melihatnya.

"Ini-ini salah paham!"

Temanku mencoba memberi alasan, lalu aku pun ikut menjelaskan agar bisa meyakinkan.

"Iya benar, kami kemari karena diperintah guru."

Shima menyisir lembut rambutnya, jari miliknya kemudian memegang dagu. Aku harap kau mempercayai apa yang sudah kami ucapkan.

"Salah paham? Diperintah guru! Aku tidak menemukan alasan yang tepat dari pada itu. Ehehe bunuh mereka"

Mataku melebar ketika dia berkata seperti itu, oi yang benar saja. Kenapa kami yang memang jelas diperintah guru untuk datang kemari berakhir dengan dibunuh.

"Mbak Shima! Apa maksud dari perkataanmu itu, kami benar-benar diperintah oleh pak guru untuk menyerahkan dokumen!"

Temanku Rudi berusaha keras, meyakinkan wanita pemiliki gedung sekolah lama ini.

"Oi Sardi kenapa kau diam saja, bantu aku untuk menjelaskan pada dia. Kalau kita memang disuruh pak guru untuk menyerahkan dokumen."

Dia membentakku yang tidak bereaksi saat mendengar ucapan Shima tadi, sialan aku tidak mau berakhir mati hanya karena hal tidak elit begini.

"Apa yang diucapkan Rudi benar, pak Guru Saputra menyuruh kami menyerahkan dokumen. Benda itu ada di tangan bawahanmu."

Sejenak mataku dan dia beradu, sinar mata miliknya berisi kekesalan. Apa mungkin dia tidak mau mendengarkan perkataan kami.

"Apa yang diucapkan mereka benar?"

Dia memutuskan adu pandang dan mengarahkan tatapan pada bawahannya, segera sang pria yang telah menyergap kami sebelumnya nampak gugup.

"Eh iya, mereka memang membawa sesuatu. Tapi kenyataan kalau mereka memasuki tempat ini tanpa permisi sudah kesalahan. Kita tidak bisa membiarkan mereka hidup."

"Alasan konyol macam apa itu? Kami bahkan sudah mengetuk untuk meminta izin masuk tapi tiba-tiba kami di tangkap dan tuduh melakukan penyusupan. Aku tidak rela mati karena hal yang bukan kulakukan."

Aku membentak dia yang berkata seperti itu, tidak bisa kupercaya orang tersebut berkata bohong. Meski idiot, aku masih memiliki harga diri.

"Sialan kau, berani sekali berkata lancang seperti itu. Kau akan menerima hukuman!"

Sebuah rasa nyeri menghantam tubuh, kakinya menendang perutku dan membuat air liur keluar dari mulut. Untuk sesaat, aku tidak bisa menghirup napas dengan baik.

Sebuah suara orang bangkit dari kursi terdengar, lalu menyusul langkah kaki yang melewatiku.

"Aku paling benci dengan orang yang bertindak diluar batas, perbuatanmu ini membuatku muak."

"Nona Shima! Aku minta maaf karena bertindak keterlaluan, tolong berikan pengampunan."

Suara orang yang telah menghajar diriku bergetar ketika mengatakan itu, perlahan aku membuka mata. Raut wajah Rudi yang khawatir adalah hal yang pertama kulihat.

"Kau baik-baik saja!"

"Iya, sedikit."

Orang yang telah memukulku sedang menunduk, meminta pengampunan dari Shima. Lalu wanita itu menoleh dan matanya melirik ke arahku.

Sekali lagi pandangan kami beradu, kali ini aku tidak tahu apa yang tersembunyi dari tatapan itu. Dia lalu berbalik menghadap anak buahnya yang menunduk.

"Jangan pernah kau melakukan hal ini lagi, jika sekali lagi kau bersikap diluar kewenanganmu. Maka aku tidak akan segan lagi."

Kemudian dia berbalik ke arah kami, wajahnya kini sedikit ceria dari sebelumnya. Selangkah demi selangkah dia menghampiri kami, saat sudah di depanku.

"Aku mempunyai sebuah rencana untuk kalian."

Saat mendengar itu, entah bagaimana bulu kudukku kembali berdiri.