webnovel

Bab 16

Semenjak paman Marlon menikahi bibi Candice, di rumahnya sendiri Belle merasa seperti orang lain. Tak ada lagi kenyamanan bahkan selalu terabaikan. Di sini Belle mencoba tidak menyalahi siapa pun. Dia sangat menyayangi dirinya, dan ingin menjadi dewasa. Adakah hal lain yang lebih menyakitkan dari ini? Di depan kedua bola matanya Belle melihat sang suami mengucapkan ijab kabul dengan menyebut nama Candice, lalu mencium keningnya.

Belle tersenyum getir, di dalam cermin wajah gadis itu terlihat biasa saja, tapi hatinya memendam luka yang teramat sakit. Hamil besar bukanlah menjadi alasan untuk bertahan. Mungkin, kalau Belle belum mencintai paman Marlon semuanya akan terasa mudah. Tapi sekarang jika dia meninggalkan rumah, itu sama saja membiarkan si ular Candice berkuasa.

"Hei, selamat pagi." Suara berat paman Marlon tiba-tiba menyapa, Belle menoleh dan tersenyum.

Kini lelaki dewasa itu telah berseragam rapi, dengan kemeja formal dikalungi dasi acak-acakkan. Terlihat lucu.

"Pagi, bagaimana malam pertamamu Paman, apa menyenangkan?" tanya Belle menatap Marlon berharap cemas, entah kenapa dia penasaran.

"Buruk."

"Oh, ya?"

"Percaya atau tidak, aku terus mengingatmu Bell, maaf, kemarin aku terlalu sibuk menata hati yang kacau sehingga mau tak mau mengabaikanmu."

Mengangguk pelan Belle pun bangkit, mengambil posisi di depan Marlon untuk memasangkan dasi. "Ya, aku mengerti."

Karena tak ada yang benar maupun salah. Bagaimana kondisinya mereka tetap sepasang kekasih, dulu, hingga sekarang sampai maut memisahkan.

"Aku yang lebih mengerti perasaanmu, Bell. Aku tahu. Meskipun kau tersenyum, matamu berkata tidak." Astaga! Sejelas itu? Belle menggerling, lalu dengan cepat menyimpul dasi tanpa membalas.

Setelah beres, Belle berbalik seakan enggan berada di dekat Marlon terlalu lama, mengusir. "Kau bisa pergi sekarang, Paman, aku tidak ingin Candice sampai mengetuk pintu kamarku. Biarkan aku tenang sendirian."

"Bell, ini hanya sandiwara, aku tidak menginginkan Candice, kau satu-satunya. Tolong dengarkan aku dan percayalah padaku."

"Tapi ..."

Tok! Tok!

"Marlon, buka pintunya, apa kau di dalam?" Suara nyaring Candice terdengar, diiringi ketokan yang cukup memekakkan kuping.

Belle melebarkan kedua tangannya, dengan senang hati mempersilakan pergi. Meski terlihat jelas paman Marlon berat melangkah, lelaki itu tetap balik arah. Semata-mata demi Gloe? Belle meringis ngilu. Rasanya teriris manakala melihat suami berbicara dengan Candice. Mereka dekat sekali, selayaknya sepasang pengantin baru.

Ibu benar, paman Marlon memang memiliki bakat sebagai aktor, kearifan beliau mendalami watak patut diacungi jempol.

"Kau tahu Sayang, aku mencarimu begitu mata ini terbuka. Eum, rasanya badanku sakit semua." Candice melirik Belle lewat ekor matanya, menaruh kepala di pundak Marlon sambil lalu meraba bulu di sekitar dagu lelaki itu.

Spontan dada terasa sesak, mendidih bagaikan air dalam tungku panas. Belle menggigit bibirnya nyeri, menahan diri agar tidak meledak apalagi merintih kesakitan. Ini masih permulaan. Di mana Belle meski bertahan. Membiasakan diri bahwa cengkrama mereka hanya fiktif belaka, tidak nyata.

"Bisakah kalian keluar dari kamarku?" Telunjuk Belle mengarah ke pintu. Bukan bermaksud memberikan keduanya peluang untuk berduaan, dia takut jika melihat lebih akan fatal.

"Ayo Sayang! Ada orang yang syirik melihat kita." Candice menggandeng lengan Marlon, sempat mencibir Belle yang diam tidak berdaya.

Setelah kedua makhluk menyebalkan itu hilang di balik tembok, pertahanan air mata Belle luruh. Gadis itu tertunduk sakit. Hiks! Ternyata jatuh cinta tidak semenyenangkan dalam bayangan Belle dulu. Dari tadi dia sangat mengharap paman Marlon tinggal, dan mengabaikan Candice meski telah diberi ruang.

Tetapi, dia tidak mengerti, atau senang menjalankan kesandiwaraan yang ada. Entahlah! Menghapus air mata di pipi. Perlahan Belle memegangi perutnya, dia harus kuat meskipun hati dan otak berteriak renta.

"Belle!" Rose berseru nyaring, menjatuhkan bingkisan di tangannya, lantas berlari panik.

Mereka berteman dekat, Rose tahu betul perasaan halus Belle, maka dari itu dia menyempatkan datang di pagi hari dengan bingkisan. Tenyata tak segampang memberi makan si kecil Orange (kucing) tetangga. Keadaan Belle terlihat sangat memprihatinkan. Gadis itu tersenyum, tapi Rose dapat melihat jika dirinya sungguh tertekan.

"Bell, kau tahu, aku ingin sekali menolongmu. Tapi tentu kau juga mengerti dengan posisiku." Masih tersenyum, Belle menyambut uluran tangan Rose, dan bangkit.

"Aku tak apa, ini memang jalanku. Aku hanya cukup mengikuti alurnya saja."

Mendengar itu perasaan Rose semakin hancur, air matanya turun bagaikan hujan badai disusul isakan. "Mungkin, jika aku menjadi dirimu aku tak akan kuat."

"Jangan pikirkan apapun tentang aku. Sesungguhnya aku tidak ingin melihat temanku ikut bersedih."

"Tapi, aku berjanji pada diri sendiri akan selalu berada di pihakmu. Kita hadapi si rubah betina itu bersama," pungkas Rose dengan satu ide di kepala, menatap Belle kasihan.

Belle pun mengangguk.

Dengan begitu Rose sigap mendekati daun kuping Belle membisikkan sesuatu, mengembangkan idenya berkecepatan ala Rossi. "Nah, bagaimana?"

Belum sempat Belle berpikir, dengan semangat Rose menariknya keluar. Di meja dapur telah tersedia tiga gelas susu siap minum. Belle masih tak mengerti apa yang dilakukan Rose saat gadis itu membuka satu per satu kabinet, lalu mengeluarkan kotak susu yang telah kadaluwarsa. Astaga, Rose! Membuang isi pada gelas pertama, buru-buru Rose menukar dengan bubuk sampah.

"Kau tidak perlu takut, Bell, karena aku yang bekerja." Dengan anggun Rose berjalan menghampiri Candice di ruang TV, lalu menyerahkan susu basi.

"Yaampun, Rose! Kapan kau datang? Ah Sayang, ternyata kau baik sekali. Aku jadi tidak enak. Ayo duduk! Kita ngobrol sambil menunggu pamanmu." Menjijikkan. Rose tersenyum simpul, ogah-ogahan duduk di sebelah ular berkepala dua.

Di mana paman Marlon? Batin Belle bertanya-tanya, mengamati sekeliling, dan nyaris memekik saat balik badan sudah ada Marlon di depan mata.

"Kau sudah sarapan?" tanyanya perhatian. Belle mengerjap beberapa kali, sesaat Marlon menghela dirinya ke arah dapur.

"Kupikir kau akan sarapan dengan Candice." Menaruh bokong di salah satu kursi, Belle menatap lelaki tua di depannya, ini rumit.

Yang jelas Belle merasa bahagia saat Marlon lebih memilih sarapan bersama dirinya. Membiarkan si ular Candice dalam bahaya, atau jangan-jangan ...

"Keponakanku memang memiliki banyak ide meski otaknya pas-pasan dalam pelajaran. Hmm, dia cukup membantuku," jelasnya tanpa ditanya, mencubit gemas pipi bulat Belle yang bersemu, lalu terkekeh.

"Jadi kalian bekerjasama?"

"Tentu saja tidak. Aku tahu Rose datang. Jadi, kupikir dia akan memainkan ide briliannya."

Sambil berdecak tak habis pikir Belle menepis tangan Marlon, di waktu tidak bersahabat seperti ini dia masih bisa tertawa. "Habiskan sarapanmu Paman, jangan bercanda terus. Kau masih ada perkerjaan bukan?"

"Sebentar, Bell, sekitar sepuluh detik lagi dari sekarang kita akan ..." Belum sempat mengakhiri ucapannya, sekelebat bayangan Candice muncul, dia berlari secepat kilat ke toilet.

Belle menekap mulut, menahan untuk tidak tertawa. Namun suara tawa paman Marlon dan Rose sangat memacu perutnya sehingga lepas. Mereka tiga terbahak-bahak sampai sakit perut. Bahkan, Marlon sendiri lupa atas perannya, tapi masa bodoh, asal yang terpenting dia bisa mendengar suara tawa Belle lagi.