webnovel

Bab 15

Satu pekan sudah Marlon dan Belle saling berdiaman, keduanya enggan bicara bahkan melakukan hal masing-masing seperti hidup sendirian meskipun tidur masih seranjang. Belle sama sekali tidak membuka mulut soal apa yang dilihatnya, begitu pula Marlon tetap diam seolah tak ada kejadian.

Dia juga tampak masa bodoh dengan kediaman si kecil Belle, sebagai suami yaa setidaknya Marlon bertanya mengapa sang istri mendadak sariawan?

Di ujung ranjang king size Belle duduk, membongkar tas perlengkapan mandi bayi yang baru Rose berikan, sesekali mencuri pandang ke arah paman Marlon. Beliau terlihat fokus pada layar laptop yang menyala, jari jemari Marlon juga bergerak cepat mengetik sesuatu, melihat itu Belle jadi merasa sedikit iba.

"Lihat ayahmu, sayang, dia sudah bekerja satu harian, tapi begitu sampai rumah masih berkutat pada tugas, menyebalkan bukan?" Sambil mengelus perutnya Belle mengadu pada si buah hati, mengharapkan dukungan dari dalam.

Ketika Marlon menoleh buru-buru Belle beranjak, meninggalkan dirinya sendiri dengan sewot. Di saat Marlon merasa jika Belle mulai dewasa, ada saja masalah yang ikut campur hingga menjadi berantakan dan kacau. Otomatis pikiran Marlon berkecamuk, mengetuk-ngetukkan jemari di atas keywords arah pandang lelaki itu jatuh pada cincin pernikahan mereka.

"Oh, ya Tuhan! Belle, maafkan aku." Mengacak rambut sangkarnya, pun Marlon bangkit menyusul Belle, mendekati gadis itu di balkon dapur sehat.

"Bell ..." lirihnya nyaris berbisik, sang empunya nama refleks menoleh.

"Ada hal yang ingin aku sampaikan, Bell."

Tidak ada jawaban.

"Hmm, aku tahu kau kesal padaku, jika aku menjadi kau kupastikan aku juga akan marah besar."

"Kau menyebalkan!" jawab Belle dengan ketus, mata indahnya berputar sesaat Marlon mengambil duduk.

Meraih tangan halus Belle, dengan lembut Marlon mengecupnya, mencoba menarik hati gadis itu. "Belle sayang, aku minta maaf, sungguh, bukan maksudku mengabaikan dirimu, apalagi bersikap kasar padamu malam itu. Aku hanya merasa sangat bersalah, itu saja, ya aku menyesali perbuatanku karena sudah bermain di belakangmu, jadi kupikir aku tak pantas bersikap lembut kepadamu untuk menutupi kesalahanku."

Belle menggigit bibirnya, pengakuan paman Marlon sangat menampar hati yang mulai merasakan. Di saat Belle membuang muka, pun Marlon menumpukan lutut sama tinggi, berlutut di bawahnya, memohon dengan tatapan melas.

Mengambil napas, Belle mencoba memahami Marlon, mungkin saja dia bosan dengan sikapnya, cukup sadar diri. "Aku yang minta maaf, kau tidak bersalah Paman, jika aku patuh dengan suamiku, semua akan berjalan ..."

"Jelas aku yang salah, Bell, kau benar! Seharusnya aku tidak pernah menikahimu."

"Paman ..." suara Belle tercekat, paman Marlon menyentaknya, lelaki itu bangkit dan mangkir.

Dengan memunggungi Belle, lelaki itu menjambak rambutnya frustrasi, tak ada hal yang lebih rumit dari ini bahkan soal-soal tersulit pada waktu ujian. Hanya ada dua pilihan, menceraikan Belle atau menikahi Candice? Kini Marlon seperti dihadapkan antara hidup dan mati di dalam kondisi mengenaskan, dia benar-benar kesakitan.

Apalagi mengingat wajah pucat Gloe, ibunya yang selalu ceria dengan kipas andalan, cerewet, sering berkomentar, sekarang terbujur di pembaringan. Jujur! Itu sangat menyakiti perasaan Marlon, dia tak tega melihat Gloe sakit meskipun beliau terlalu membatasinya, bahkan tidak menyukai Belle.

Gadis kecil yang Marlon sayang, cinta, dan kasihi.

"Ibuku sedang sakit parah, paru-parunya kembali bermasalah, umur beliau tidak lama lagi, dia ingin aku menceraikan dirimu, tapi kau tentu tahu aku sangat mencintaimu, Bell." Dengan membelakangi Marlon berujar, otaknya sedang kacau, dia tak bisa berpikir selain bersedih.

Spontan Belle memucat.

Apakah paman Marlon akan melakukannya demi kebahagiaan sang ibu?

Kriing! Saat ponsel Marlon berdering, Belle bangkit meninggalkan beliau di teras dapur sendiri, semua sudah jelas bahwa dirinya hanya dimanfaatkan oleh keluarga Exietera. Oke.

Sesaat meneguk air dingin, Belle menghapus air mata yang mengepul di kelopak, jika paman Marlon ingin segera melangsungkan perceraian tak masalah, tetapi jangan harap atas anaknya ketika lahir nanti.

"Lebih baik hidup miskin daripada bergelimang harta di kelilingi orang-orang tidak berperasaan." Belle bersungut, sebelum mendengus kala Marlon datang menariknya keluar.

"Kita harus ke tempat ibu sekarang, beliau kritis, dia mengalami masa-masa yang sulit untuk bertahan," pungkas Marlon, berkata begitu cepat sambil menyeretnya ke garasi.

Kening Marlon berkeringat, cengkramannya pada stir juga mengencang dengan tatapan lurus ke depan. Belle tahu paman Marlon sangat menyayangi Gloe, bagaimanapun dia adalah ibu dari suaminya, mereka memang tak pernah akur. Tetapi, jauh di lubuk gadis itu merasa khawatir, ikut sedih melihat Marlon yang seperti orang kesakitan. Shitt! Mengelus dadanya, jantung Belle berguncang sesaat Marlon menginjak rem tiba-tiba, menaruh wajah di tumpuan tangan, dan pundaknya bergetar.

Sontak Belle tertegun.

Mengelus perut besarnya beberapa kali, pun Belle memberanikan membelai kepala paman Marlon. "Ceraikan saja aku, Paman, jika dapat membahagiakan ibumu, aku tak apa."

"Tidak, Bell, aku sangat mencintaimu," jawabnya nyaris berbisik, teredam oleh tangisan yang pilu.

Selepas beberapa menit Marlon mendongak, tanpa berkata apalagi menginjak gas, melanjutkan kemudi. Tidak lama mereka pun sampai dengan selamat. Di depan gerbang sudah ada Rose yang menunggu, dia berlari kecil menghampiri, lalu memeluk pamannya sambil menangis keras.

"Rose, bagaimana keadaan nenek?" tanya Marlon saat Rose menarik diri, meski setengah mati cemas dia mencoba tetap tenang.

"Daritadi beliau memanggil nama paman, ayo masuk, nenek Gloe menunggumu." Sementara Rose berlalu, Marlon mendekati Belle yang diam tak berkutik.

"Ayo, Bell, bagaimanapun keadaannya kau harus selalu ada di sampingku." Menggenggam tangan kecil Belle, keduanya beriringan jalan menuju kamar Gloe, di mana nyonya besar itu dirawat secara intensif.

Kesan yang pertama kali Belle rasakan memasuki kamar Gloe, tercium bau obat menyengat, tidak begitu intensif karena ibu mertua sendiri enggan dirawat. Hanya berbaring lemah di ranjang dengan mengkonsumsi obat dari dokter Liam. Di sisinya sudah ada paman Miller bersama Rose, juga Candice si ular berbisa. Mereka menatap ke arah Belle saat Marlon berlalu merangsek Liam, sangat marah, dan hal itu menyebabkan kontroversi.

Nyonya Gloe otomatis mengalami serangan paling buruk.

"Marlon!" sentak Miller, menahan Marlon yang hendak melayangkan pukulan pada Liam.

"Tolong, jangan membuat kekacauan, ibu sejak tadi menunggumu." Menunjuk Gloe si ibu yang malang, barulah Marlon sadar, lantas berlari memeluk tangan ibunya tercinta.

"Ibu, bertahanlah, aku akan segera mengirimmu ke rumah sakit luar negri, kau harus sembuh Bu." Sambil menangis Marlon menciumi tangan sang ibu, sementara Gloe sudah tak sanggup berkata-kata.

Semua orang menangis termasuk Belle, tidak tega melihat kondisi Gloe yang kesulitan bernapas, dan menyaksikan Marlon di dalam kepedihan terparah.

"Aku berjanji, Bu, akan segera menikahi Candice," lirihnya terdengar mantap, Gloe menatap Marlon untuk beberapa detik sebelum menutup mata dengan senyuman.

"Liam, urus semuanya, aku tak mau tahu, ibuku harus sembuh, atau kau akan menanggup akibatnya." Tanpa mengulur waktu Miller membopong tubuh kurus Gloe, sementara Liam mengikuti di belakang sambil menelepon.

Dan Belle hanya menangis tersedu-sedu di pelukan Rose, membiarkan Marlon menggandeng Candice, bahkan melewatinya begitu saja.