Temmalara segera terbangun ketika sinar matahari terasa panas di kulitnya. Wajahnya nampak muram, ia mulai sadar telah melakukan kesalahan yang sangat fatal yaitu lupa mengerjakan shalat subuh.
Temmalara tidak sanggup bangun seperti biasa karena kelelahan dan kurang makan. Karena tidak tahu apa yang harus ia lakukan kalau ketinggalan sholat, maka tanpa pulang ke Rumahnya Pemuda yang menganggur itu pergi ke Somba Opu.
Saat di perjalanan, batinnya berkecamuk. Ia merasa putus asa untuk mencari penghasilan baru. Maka diputuskannya untuk mengemis di Kota, mungkin siapa tau ada orang iba yang akan memberinya uang.
--
Temmalara telah berjalan melewati Gerbang Timur Somba Opu. Di pasar itu Temmalara tahu dimana tempat favorit para pengemis biasanya beraksi. Matanya tak berkedip, ketika melirik para pengemis itu diberikan uang begitu mudah oleh orang yang lewat.
Sebelum menjadi pengemis, tidak pernah dibayangkan olehnya profesi ini sangat menguntungkan. Bahkan sebelum memulai aksiny, Temmalara sampai berandai-andai ia menjadi pengemis sejak awal kepindahannya ke Kota ini.
Sekalipun dipandang banyak orang dengan hina, setidaknya di pikirannya mengemis masih lebih mulia daripada mencuri.
Srak!
Tanpa ragu ia robek baju dan celananya sendiri, meniru para pengemis yang selama ia lihat di pasar. Segera ia mengambil posisi mencari tempat yang agak gelap untuk mulai meminta-minta.
"Pak... minta pak, lapar seharian belum makan," ujar Temmalara sambil mengulurkan tangan.
Temmalara terus mengulang-ngulang perkataan itu namun tidak ada satupun yang mempedulikannya bahkan ada yang tega untuk meludahi wajahnya. Karena di mata mereka orang semuda dirinya seharusnya sanggup bekerja.
"Kalau mau makan bekerja sana bodoh!" teriak salah seorang yang lewat.
Temmalara membersihkan bekas ludah tadi, gerahamnya bergemerutuk menahan amarah. Setelah selesai membersihkan wajahnya dan berjalan kembali ke tempat duduk yang sama, tempat itu telah ditempati seorang anak laki-laki yang terlihat beberapa tahun lebih muda darinya.
Ia Berpakaian compang camping dan berbau busuk. Kalaulah orang biasa yang didekati pastinya mereka akan langsung menjauh darinya. Justru Temmalara mendekatinya dan menepuk pundaknya.
Anak itu membalas dengan tersenyum ramah kepadanya kemudian menawarkan bubur jagung miliknya kepada Temmalara.
"Kak makanlah aku kasihan kepadamu dari tadi kuperhatikan tidak dapat uang." celetuk anak itu.
"Tapi itu..."
"Sudahlah makan saja, aku masih punya banyak uang untuk membelinya lagi,"
Cacing dalam perutnya meronta ingin segera diberi makan. Dalam sekejap makanan yang terbuat tanaman baru itu telah habis. Meskipun ia masih merasa kurang kenyang, namun Temmalara berpura-pura sendawa.
"Lahap sekali makanmu kak haha, oh aku sering melihatmu di Dermaga."
"Itu dulu... dik memang luar biasa tanaman dari amerika,"
"Ah tidak juga, harga jagung maupun singkong sudah turun sekarang beda dari saat pertama kali ditanam disini. Kita sesama orang pinggiran memang wajib tolong menolong. Tentu sebagai bayaran makanan itu Kkak harus membantuku mencarikan pacar nanti."
"Kau ini malah pacaran, lelaki sejati itu langsung melamar dan menikahi gadisnya. Pacaran itu sama saja kau permainkan hatinya."
"Mau bagaimana lagi, pekerjaanku pengemis seperti ini mau menikah."
"Siapa namamu?"
"Anakbatu, menurutku kalau dalam berhubungan main-main dulu ya tidak apa-apa, entahlah... aku ingin gadis sial!" balas Anakbatu agak malu sembari menggaruk-garuk kepalanya.
Temmalara agak sedikit menahan tawa ketika mendengar namanya yaitu Anakbatu. Anakbatu merasa kesal dengan Temmalara, akan tetapi ia sudah biasa dirundung karena namanya yang memang tidak lazim itu. Anakbatu segera memukul punduknya, dan menghela nafas panjang.
"Aku mengerti sekarang soal cinta kau ahlinya tapi mengemis akulah ahlinya. Caramu itu salah aku sempat perhatikan sampai-sampai dihina orang-orang tadi. Kalau meminta seperti itu, orang akan jijik bukannya iba kau ini bagaimana."
"Mana kutahu yang aku tahu pengemis meminta uang lalu langsung diberi,"
"Mengemis itu berbeda dari bertani, bukan memakai otot namun memakai perasaan." Balas Anaknatu langsung berdiri dengan bangga membusungkan dadanya.
"Apa pula yang dibanggakan dari mengemis?" Tanya Temmalara keheranan.
"Kau ini malah meremehkanku, kami para pengemis Somba Opu punya rasa kebanggaan tersendiri. Akan kuajari caranya untuk mendapatkan simpati orang yang lewat, haha lihat ini bagaimana cara mengemis yang baik dan benar anak petani." ujarnya sembari perlahan-lahan menyembunyikan kakinya.
Sembari memperhatikan Anakbatu, baru terlintas di dalam benaknya, ia langsung paham kenapa orang-orang tidak kasihan kepadanya. Tentu karena fisiknya masih sempurna, kalau salah satu kakinya dibuat cacat pasti akan banyak yang merasa iba.
--
Selang beberapa lama Temmalara mempelajari teknik itu dari Anakbatu, banyak orang merasa iba ketika melihat kondisinya bahkan ada Pedagang lewat yang memberikan dirham kepadanya.
"Ini 1 koin buat kakak, biar kakinya bisa tumbuh lagi." ucap salah seorang Anak Perempuan yang masih kecil.
"Ya dek, semoga kakak nanti diberikan kesembuhan ya. Biar nanti Kakak ada uang untuk membeli obat agar kaki Kakak imi bisa tumbuh lagi ya," balas Temmalara sambil tersenyum meskipun ia tidak sampai hati membohongi anak itu.
"Ya Kakak,"
"Nur!" sahut Ibunya memanggil dari kejauhan.
"Ibu! ini aku lagi sedekah sama Kakak biar kakinya cepet sembuh sama dapet pahala," jawab Anak itu pada ibunya dengan polos
"Kau mau menipu anakku!? dia ini masih 4 tahun! memangnya kau pikir aku bodoh. Aku lihat kemarin kau kerja di Perkebunan Kopi Monconglowe mengaku saja!" bentak Ibu itu.
"Haha tidak ada ceritanya Ibu jelas-jelas kaki Temmalara ini terkena amputasi!, mungkin mukanya mirip saja dengan kawanku," spontan balas Anakbatu
"iya Ibu jadi begini memang kakiku diamputasi kemarin," balas Temmalara
"malah bilang seperti itu padahal sudah kubela!" ketus Anakbatu dalam hati.
"Nur bingung... kata Ibu sedekah dapet pahala. Nur kan sedekah sama orang bantu orang Bu, kenapa Ibu marah bu," jawabnya agak sedih.
"Nur Ibu tidak marah kalau itu untuk urusan agama. Tapi kalau untuk 2 orang jahat pemalas ini kita balik saja, nanti ibu ajari main boneka yang baru ya," ucap Ibu itu.
"Kakak semoga kakinya bisa cepat tumbuh lagi ya," balas Anak itu tiba-tiba berlari ke hadapan Temmalara.
"Ya Dik terima kasih," sahut Temmalara sambil membuat senyuman dari jarinya.
"Ayo..." Balas Ibbunya langsung memegang anaknya kemudian pergi.
--
Tidak berselang lama, tiba-tiba 5 Prajurit Kerajaan Gowa datang menghampiri mereka berdua. Temmalara dan Anakbatu langsung meneteskan keringat dingin karena tahu mereka pasti mengincar keduanya.
"Kami dapat laporan dari warga tadi yang terusik dengan ulah kalian. Lagipula siapa yang membolehkan untuk mengemis di dalam Benteng Somba Opu!" bentak Prajurit itu segera menghantamkan tombaknya.
"Maaf pak kami cacat, kami butuh makan," jawab Temmalara
"Aku sering melihatmu keluar masuk dari Gerbang Timur itu. Kau pikir kami ini otak rusa apa hah!? aku hafal wajahmu meskipun tidak peduli siapa namamu!" balas Prajurit itu tersenyum sinis.
"Tapi pengemis lain! kenapa tidak pernah kalian ganggu! apa karena Ibu tadi seorang Daeng dan anak dari Karaeng kalian dengarkan laporannya!? dimana letak keadilan hukum! kami ini butuh makan!" - Spontan jawab Anakbatu mulai histeris.
"Sudahlah makan saja pukulan ini, ayo kawan kita rundung dua orang pecundang ini!" bentak Prajurit itu melemparkan tombak seraya melemaskan jari-jemarinya.
"Haha, kenapa tidak dari tadi! berani juga anak ini membawa nama Daeng dan Karaeng," balas salah satu Teman Prajuritnya tersenyum sinis ikut membunyikan jari jemarinya.
Prajurit itu langsung menjambak rambut mereka untuk berdiri lalu menghajar perut mereka berdua. Prajurit itu menendangnya hingga tersungkur dan mengejeknya setelah itu menantangnya bertarung satu lawan satu.
"Ah lemah sekali padahal tombaku sudah kubuang!" teriak Prajurit itu.
"Kerja kalian itu hanya tidur lalu dapat uang!" teriak Temmalara dengan sempoyongan, ia sudah tidak dapat mengendalikan emosinya lagi.
"Hoooo... minta dibunuh si perjaka ini,"
Brak!
Anakbatu sudah pingsan terlebih dahulu karena terus-terusan dihajar dari tadi. Temmalara beberapa kali terkena tinju namun ia tetap bertahan tidak mau menyerah. Beberapa tendangan bebas terus melayang ke tubuhnya.
Brak!
Huek!
"Sial, andaikan aku terlahir sebagai bangsawan!"
"Cih malah muntah, kau ini lama-lama membuatku jijik. Masih mau lanjut Tuan Perjaka?"
"Jangan meremehkanku, kau kuat karena keluargamu. Aku lebih kuat karena aku berjuang dari awal!" balas Temmalara segera melesatkan tinjuannya.
Woosh!
Prajurit itu tentunya dapat menghindari semua serangannya dengan mudah. Temmalara merasa kelelahan sendiri karena pukulan dan tendangannya tidak pernah kena. Prajurit Gowa yang tampak mulai bosan itu mendaratkan sendalnya tepat ke wajah Temmalara.
Bibirnya langsung mengeluarkan darah lalu Prajurit itu langsung saja menggunting hingga Temmalara tersungkur. Sebelum berdiri lagi, tangan dan kakinya dipegangi ia dihajar beramai-ramai sampai pingsan.
Untung saja Temmalara maupun Anakbatu tidak dijebloskan ke penjara meskipun sudah menghina Prajurit Gowa.
--
"Hoy!" sahut Anakbatu seraya mengguncangkan tubuh Temmalara.
"Sialan!" teriak Temmalara setelah terbangun.
"Uang kita diambil semua! ini gara-gara ulahmu bodoh, tadi malah bilang kakimu diamputasi bukannya bilang itu orang yang mirip dengamu!" balas Anakbatu histeris.
"Kau mau menyalahkanku ya hah!" bentak Temmalara.
"Memang salahmu kan!"
"Sudahlah kau mau merengek tangis darah sekalipun, uang kita tidak akan kembali. salahkan para bangsawan itu, jangan salahkan aku."
Temmalara mengira bahwa dengan mengemis, ia dapat dengan mudah menikmati kekayaan secara cepat. Akan tetapi kenyataan menunjukan hal lain, hari ini setelah mengemis seharian semua uangnya telah diambil Prajurit Gowa.
Karena kesal dan kepalanya masih pusing, Temmalara memutuskan untuk menginap saja di rumah Mario bersama dengan teman barunya yaitu Anakbatu.
--
*Tok* *Tok* *Tok*
"Assalamualaikum," ucap Temmalara.
"Waalaikumsalam, oh Temmalara mari silahkan masuk," ujar Mario sembari membukakan pintu rumahnya.
Mereka berdua langsung masuk ke dalam, matahari telah tenggelam. Ketika keduanya duduk di ruang tamu, Mario memperhatikan luka lebam di sekujur tubuh mereka. Temmalara sepertinya kalah berkelahi dengan seseorang.
"Kau luka parah seperti itu Istrimu bagaimana?" tanya Mario keheranan.
"Hah! kamu sudah punya istri tapi kamu masih 15 tahun!" spontan sahut Anakbatu.
"Aku 17 tahun Anakbatu," balas Temmalara.
"Wah memang kau ahlinya yang asli dalam menaklukan hati wanita, tolong ajari aku Anakbatu ini bagaimana caranya karena wanita memang sulit dimengerti."
"Bukan sulit dimengerti dasar kau saja yang tidak peka. Zaman sekarang malah pacaran, gadis itu butuh kepastian dan tanggung jawab. Tinggal dekati saja orang tuanya mudah tentunya, aku dulu melamar Witta seperti itu. Kau hanya butuh komitmen itu saja,"
"Haha kau itu menikahi dia karena ingin bersenang-senang saja ya kan? kau itu sebenernya suka dengan gadis yang lain di kampung," ketus Mario.
"Memang tapi bagaimana di antara gadis desa kita, semua pemuda tau Witta yang paling... paling aduhai baik dari wajah maupun dari yang lainnya."
"Karena itu kau sudah dengar kan Anakbatu, jangan tiru bocah yang satu ini. Oh ya namamu Anakbatu itu nama depan atau nama belakang?" tanya Mario, dari raut wajahnya sepertinya ia agak kesal dengan Temmalara.
"Hanya Anakbatu saja umurku 14 Tahun," jawab Anakbatu.
"Pekerjaanmu?" tanya Mario.
"Pengemis!" ucap Anakbatu langsung berdiri sambil membusungkan dada.
"Ternyata kau jadi pengemis ya, kalau tahu sja sial kenapa kau tidak ajak-ajak Temmalara padahal kita ini katanya kawan. Bosan kalau tidak punya uang di saku kantong apalagi kita hidup di Kota."
"Percuma pekerjaan hina itu yang ada malah jatuh tertimpa sial kita."
"Sebenarnya ada satu pekerjaan dimana kita bisa menjadi kaya. Aku dengar-dengar katanya kalau tidak Soppeng mungkin Bone mau memberontak, jadi bagaimana kalau kita bertiga bergabung bersama Tentara Wajo."
"Kau dapet ide gila ini darimana lagi, mana mungkin mereka mau merekrut kita jadi prajurit. Prajurit itu turunan bangsawan darah putih ningrat semua!, Mario... Mario." ketus Temmalara sembari tersenyum sinis.
"Kau ini jangan ragukan informasi dariku, aku dapat berita ini bayar mahal 1 dirham. Lalu diceritakan dengan detail pula dan diberi nasehat."
"Tapi Tosora jauh dari Somba Opu, banyak perampok juga katanya di jala. Kita saja tidak punya uang untuk membeli badik." - Balas Anakbatu
"Tenang Anakbatu kita tidak akan diserang kalau kita berlagak dan bertingkah seperti orang Bugis. Kenapa kita takut, kita semua bisa bahasa Bugis."
"Tapi tetap saja Kak, sekalipun berbahasa Bugis tapi berlogat Makassar. Nanti kita sudah mau ke Tosora langsung ketahuan dan dirampok."
"Sudahlah kau ini Anakbatu terlalu banyak berprasangka buruk. Kalau mau jadi kaya tentu resikonya besar, mana ada kekayaan didapat secara instan."
"Benar itu Anakbatu, tapi mengapa ya mereka bertindak sejauh itu?"
"Aku dengar-dengar mereka ada dendam sama Makassar, perang apa jujur aku lupa. Yang kuingat Pa... Se..., beberapa puluh tahun yang lalu Arung (Gelar Bangsawan setara dengan Karaeng, dipakai orang Bugis) mereka kalah perang dan dua Kerajaan itu dijadikan Provinsi Gowa hingga sekarang."
"Membahas tentang Kerajaan lama-lama membuatku mengantuk. Bolehkah aku tidur di rumahmu sehabis shalat isya di masjid nanti?"
"Benar kita bertiga bersama-sama ke masjid nanti. Karena aku temannya Kakak Temmalara bolehkah aku menginap Kakak Mario?" tanya Anakbatu.
"Hah yang mengizinkan kalian berdua siapa?" balas Mario.
Malam itu setelah shalat isya di Masjid, mereka bertiga berlomba-lomba membuat pulau yang sangat besar di kamar tidur Mario.