2 - Berkebun

20 November 1665, Perbatasan Somba Opu

Pagi itu Temmalara bersiap untuk menemui Mario yang telah menunggu di depan rumahnya. Sebelum berangkat, terlebih dahulu ia ingin mencicipi sarapan buatan Witta. 

Saat duduk di kursinya, ekspektasi Temmalara hancur seketika ketika di atas meja yang ada hanya seonggok ikan teri dan air putih. Tentu makanan seperti itu tidak akan cukup mengenyangkan perutnya. 

Tidak bisa menahan lagi kekesalannya, meja itu menjadi langsung menjadi sasaran pelampiasannya. Witta hanya bisa menunduk pasrah untuk menerima kemarahan dari Suaminya.

Brak!

"Mana nasi gabahnya! aku kerja cari uang susah payah hanya ini yang bisa kau sediakan!" 

"Uangnya mana! barang naik semua!"

"Sialan kau padahal banyak sagu liar disekitar sini!" 

"Semua orang berpikiran sama dengan kita! tanaman di sekitar sini sudah dimakan habis! bahkan ikan yang besar sudah tidak ada lagi di sungai."

"Alasan Istri tidak berguna! aku ini lapar Witta!" 

Brak!

"Kenapa kau gebrak lagi! nanti anak kita bangun," ucap Witta.

Brak!

Sekali lagi Mario dapat mendengar bunyi keras dari dalam rumah diikuti suara tangisan bayi. Temmalara langsung duduk di sampingnya memegangi kepala.

"Ada apa?" tanya Mario mencoba tersenyum di hadapannya.

"Bukan urusanmu Mario, ah sudahlah ayo kita langsung ke sana." 

--

*Tok* *Tok* *Tok*

Setelah Temmalara pergi bersama Mario, tiba-tiba Ibu Pemilik sewa rumah datang untuk menagih. Menjelang akhir bulan, sewa rumah sudah jatuh tempo, Witta hanya bisa meneteskan keringat dingin ketika membuka bilah bambu tempat ia menyimpan kepingan perunggu.

Perlahan ia menarik nafas panjang lalu berjalan pelan ke arah pintu. Sembari menggendong anaknya yang tadi menangis karena mendengar suara keras, akhirnya ia memberanikan diri untuk membuka pintu yang diketuk terus-terusan oleh Ibu Sofia, Sang Pemilik Rumah.

Wanita paruh baya itu dapat dengan jelas melihat ketakutan di wajah Witta. Ibu Sofia tersenyum manis, Witta berusaha untuk menyembunyikan rasa takutnya dan berusaha percaya diri di hadapan Pemilik Rumah itu.

"Assalamualaikum" ujar Bu Sofia.

"Waalaikumsalam, Iya silahkan masuk bu."

Setelah masuk dan menutup pintu, Ibu Sofia dengan sabar menunggu Witta yang berusaha menidurkan Towase sambil menghitung-hitung kembali hasil sewa rumah lain yang ia dapat hari ini. Tidak berselang lama, Witta duduk dihadapan ibu itu dengan membawa seluruh simpanannya.

"Bu Sofiyah ini 5 koin perunggu, kami tidak ada uang lagi saat ini."

"Jadi begini nak, biaya sewa rumah ini naik jadi 10 koin. Tahu sendiri kan barang-barang naik terpaksa... sekarang jaman susah." 

"Tapi naiknya tinggi sekali bu, bu tolong untuk bulan ini 5 koin dulu... nanti saya bayar 15 Koin bulan depan." 

"Tidak bisa, banyak yang sewa sama ibu tidak ada yang banyak alasan jadi cepat bayar sekarang!" Bentak Ibu Sofia.

"Ya sudah ini bu," Witta dengan berat hati menyerahkan 5 koin yang masih disimpannya di dalam saku celana.

Barulah Wanita Paruh Baya itu pergi dengan puas. Dalam kesendirian, Witta menangisi tekanan hidupnya yang semakin berat.

--

Kesultanan Gowa, Kampung Besar Monconglowe

Daerah yang dekat dengan Somba Opu, hanya dengan beberapa jam berjalan kaki dapat sampai ke wilayah ini. Selama di perjalanan, Temmalara dan Mario melihat orang-orang sudah mulai sibuk di Sawah. Mereka juga melihat 2 Tanaman baru dari luar Sulawesi yang sudah berhasil dibudidayakan yaitu Singkong dan Jagung.

Catatan: Singkong dan Jagung bukan tanaman asli Indonesia melainkan tanaman ini berasal dari benua amerika

Sesampainya di Perkebunan Kopi, betapa terkejutnya mereka, banyak sekali yang sudah bekerja disitu. Kenaikan harga barang pangan menyebabkan orang-orang yang butuh pekerjaan semakin membludak, persaingan untuk bertahan hidup dan mencari kekayaan semakin sengit.

"Cih, semua orang punya pikiran yang sama," ketus Temmalara.

"Ya betul, tapi jangan khawatir ayo kita tanyakan langsung kepada tuan pemilik kebun ini kalau masih ada kerjaan," balas Mario seraya menepuk pundaknya.

Baik Temmalara ataupun Mario mereka sama-sama menguatkan tekad untuk bekerja disini. Sudah jauh-jauh mereka dari Somba Opu datang ke sini hanya untuk dengan tangan kosong. 

Temmalara yang pertama kali mengambil inisiatif dengan memberanikan diri bertanya pada pekerja lain dan akhirnya mereka berdua dapat bertemu dengan Daeng (Bangsawan Tinggi) Pemilik Perkebunan Kopi.

"Assalamualaikum Tuan maaf masih ada pekerjaan tidak?" tanya Temmalara tersenyum dengan ramah.

"Waalaikumsalam ya kebetulan 2 pekerja disini sedang sakit jadi tidak apa-apa kalau hari ini kalian yang menggantikan mereka," jawab Daeng itu.

"Tapi pak apa tidak bisa seterusnya? tenaga kami sangat besar pak," sahut Mario

"Haha tidak bisa begitu yang bekerja disini sudah terlalu banyak. Kalau begitu, kenapa kalian tidak garap dan jual sendiri saja hasil Perkebulan kalian," balas Daeng itu seraya mengusap jenggotnya.

"Butuh waktu yang lama untuk panen lagipula kami tinggal di kota," ujar Mario.

"Ahaha dan ujung-ujungnya mencari kerja ke Kampung, kalian berdua itu lucu. Itulah kenapa yang tua justru lebih bagus dalam menanam ataupun memanen kopi."

"Pasti memanen kopi sama saja seperti memanen rambutan, apa bedanya?" balas Temmalara kebingungan dengan maksud ucapan Daeng itu.

"Itu menurut pendapat para pedagang Aceh yang menjual bibit kopi kepadaku," 

"Jadi begitu akan kubuktikan hari ini kalau pendapat kalian berdua salah. Kau setuju tidak Temmalara," 

"Sekejap Mario berarti Aceh Kerajaan Sulawesi?"

"Kalian berdua lebih baik langsung bekerja ya," 

Tak menyia-nyiakan waktu, mereka berdua langsung mengambil wadah untuk memetik buah kopi. Karena tidak tahu cara memanen kopi, baik Temmalara maupun Mario memetik buah kopi layaknya memetik rambutan. 

Pekerja lain yang melihat mereka dari tadi dengan kasar mematahkan batang tanaman langsung menegur mereka berdua.

"Kenapa batang-batangnya dipatahkan. Astagfirullah hal azim, tanaman ini bisa mati kalau memetiknya tidak hati-hati. Memanennya itu bukan seperti panen rambutan maka dari itu tanya dulu! Dasar bocah zaman sekarang tidak mengerti tata krama, baru kerja disini bergaya sudah hebat padahal masih anak-anak," ketus Pekerja itu.

"Ya paman maaf!" serentak jawab mereka berdua.

"Heee... iya iya saja, begini caranya lihat mudah kan, coba ulangi hati-hati yang pelan," ujarnya mencontohkan cara memanen buah kopi dengan cepat tanpa harus mematahkan batangnya.

Temmalara dan Mario yang memang cekatan sejak kecil langsung paham dengan cara memetik bapak itu. Satu persatu keranjang yang sudah disiapkan mulai penuh diisi oleh buah-buah kopi.

Mereka juga disuruh untuk mengangkut keranjang-keranjang kopi ini ke gudang untuk kemudian dijual kepada pengolah kopi, ataupun dijual buahnya langsung. Mereka juga mendengar cerita kalau merebus buah ini dan memakannya, dipercaya bisa mengobati pegal-pegal dan menghilangkan rasa mengantuk.

Pada sore harinya menjelang maghrib, saat mau pulang Temmalara dan Mario diberikan kepingan koin perunggu yang lebih banyak dibandingkan pekerja lain, Daeng itu tersenyum pada mereka berdua.

"Masa depan kalian berdua masih panjang, Kalian harus semangat," ujarnya sambil mengusap kepala mereka berdua.

"Siap!" jawab mereka berdua serentak

"Oh ya paman tentang Aceh, aku ingin tahu lebih banyak," ujar Temmalara.

"Aceh itu kerajaan di Pulau Sumatra, suatu saat kalau kau dapat berjaya, singgahilah negeri dimana kopi-kopi nusantara berasal itu. Khusus untukmu kau sepertinya punya bakat yang istimewa, aku yakin kau bisa menemui Sultan Aceh suatu hari nanti." jawab Daeng itu tersenyum kecil lalu menepuk pundak Temmalara.

Temmalara berfikir dan merenungi perkataan tuannya tentang, "Masa Depan". Apakah benar ia dapat bertemu dengan Sultan Aceh, ataukah dirinya akan terus-terusan hidup seperti ini hanya akan menjadi orang yang membosankan Tidak punya tujuan.

Hanya makan, minum, tidur, dan pada akhirnya mati. Bahkan ketika telah menikah tujuan hidupnya bukan malah terpenuhi justru ia semakin tidak tahu lagi apa tujuannya kedepan.

Saat sedang melamun merenungi kata-kata Daeng pemilik kebun kopi. Di tengah perjalanan, Ia memperhatikan seorang petani yang tampak seumuran dengannya sedang mengikat batang-batang singkong. 

Tahu kalau Temmalara memperhatikannya, Ia melambaikan tangan dan mendekati dirinya. Petani itu secara cuma-cuma memberinya beberapa batang singkong.

Ia memberi tahu cara menanam tunas singkong dan meyakinkan Temmalara dan Mario kalau hanya dengan membenamkan bagian tunasnya di tanah, maka singkong-singkong ini dapat tumbuh dan menghasilkan ubi.

"Aku masih belum percaya hanya menanam batangnya saja, tanaman ini bisa tumbuh. Tanaman ini jauh lebih unggul daripada lobak yang selama ini kita tanam," ujar Mario.

"Aku masih belum percaya kalau menanam tumbuhan baru dari 'Amerika' ini bisa semudah itu. Bisa saja dia ingin menjahili kita," sahut Temmalara.

"Jangan seperti itu Temmalara, kita ini harus berprasangka baik dengar dan resapi khutbah jumaat minggu ini. Kau ini selalu saja seperti itu ya meskipun sudah punya Istri," 

"Lalu... memangnya kenapa?"

"Selalu tidak bersemangat, oh apa mungkin kau sedang menyimpan tenaga untuk persiapan nanti malam ya?"

"Hah? p...persiapan apa? jatah makanan maksudmu," tanya Temmalara kebingungan sembari menggaruk kepalanya.

"Pura-pura polos" jawab Mario sambil tersenyum sinis.

"Tidak jelas, aku tidak ada jatah makanan dirumah. Uang tidak ada beberapa hari terakhir, bagaimana mau makan malam. Apa kau mau membelikanku makan Mario?" 

" 'Haduh...' " ketus Mario dalam hati.

--

Perbatasan Somba Opu

Sesampainya di rumah, Temmalara tidak terburu-buru masuk. Ia ingin menanam batang-batang singkong ini terlebih dahulu. Ia masih yakin, kalau bibitnya terletak di bagian ubinya, karena ia sudah berpengalaman menanam lobak juragan desa saat masih tinggal di desanya. 

Dan sekalipun katanya tanaman ini berasal dari Amerika yang mana dari benua itu banyak tanaman-tanaman yang unik, tetap saja mana ada tanaman bisa tumbuh kalau hanya batangnya yang tersisa.

Witta yang secara tak sengaja keluar dari rumahnya melihat Temmalara yang sedang menanam sesuatu, Wanita itu mendekati suaminya secara perlahan dari belakang.

"Duh gelap Mario hoy pulang!" ketus Temmalara

"Istrimu yang datang bukan Mario. Aku minta maaf soal tadi,"

"Ternyata kau Witta, apa yang kau mau?"

"Bagaimana kalau aku memberikan jatah malam ini?"

"Jatah apalagi tadi Mario sekarang kau hah... orang sedang mengumpulkan uang buat bayar sewa kau malah mengajak makan-makan," Ketus Temmalara.

"Kau ini sudah hampir seminggu tahu." 

"Seminggu apa lagi, aku tidak mengerti. Bagaimana anak kita?"

"Alhamdulillah, sudah kuberi makan dan barusan tidur, kau menanam apa itu lobak jenis baru ya?" tanya Witta seraya memegangi batang singkong itu.

"Oh bukan ini, Ini batang singkong dari Amerika katanya." jawab Temmalara sambil menunjukan batang-batang itu satu persatu.

"Hmmm..." 

"Ka...kau kenapa melihatku seperti itu!?" ujar Temmalara kaget.

"Hihi, lucu kamu ini tidak pekaan tapi kenapa bisa menikah secepat ini, yah aku ingat waktu itu..." balas Witta langsung memeluk Temmalara.

"Maaf aku baru ingat, janji membahagiakanmu belum terlaksana kita masih hidup miskin."

"Hash kau ini bisa saja, aku seperti ini saja sudah merasa bahagia, asal ada kamu didekatku. Sudah malam ini ayo kita ke dalam."

"Baiklah..." ujar Temmalara dengan ekspresi gundah seperti ingat sesuatu.

Setelah itu Temmalara dan Witta masuk ke dalam rumah dan makan. Witta menceritakan Ibu Sofiya yang menaikan biaya sewa rumah ini. Temmalara yang mendengarnya langsung menuju ke kamar, dan menutup kepalanya dengan bantal.

"Sialan!" teriaknya sambil menutup wajahnya dengan bantal

Ia merasa benar-benar gagal, umur 17 tahun harus menanggung beban seberat ini tanpa adanya biaya yang memadai. Witta yang melihat suaminya bersedih berusaha untuk menghiburnya namun Temmalara langsung melempar bantalnya dan pergi ke luar.

Ia segera tidur di batu besar dekat pohon di seberang rumahnya. Pemuda itu sudah tidak peduli lagi jika ada orang lewat yang melihatnya  terbaring di sana atau tidak

avataravatar
Next chapter